Judul Asli Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam Penulis Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi Judul Terjemahan Jawaban seputar Masalah-Maslah Fikih Jihad Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad Alih Bahasa Abu Jandl Al-Muhajir Al-Qaedoon Group Kelompok Simpatisan dan Pendukung Mujahidin [www.alqoidun.net] [qoidun@yahoo.co.id] Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi Semoga Alloh Jalla wa ‘Alaa membalas kebaikan orang yang menyebar buku ini tanpa merubah isinya dan tidak mempergunakannya untuk kepentingan komersil kecuali seijin Publisher, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin ! Al-Qaedoon Group Kelompok Simpatisan dan Pendukung Mujahidin “…Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian…” 1 MUKADDIMAH Segala puji hanya milik Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan serta meminta ampun kepada-Nya dan kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan nafsu serta keburukan perbuatan kami. Barangsiapa Alloh beri petunjuk, tidak ada satupun yang bisa menyesatkannya; dan siapa yang Dia sesatkan, tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. Aku berksaksi tidak ada ilâh (yang haq) selain Alloh; satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺴِﻠﻤ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬‫ﻭﺃﹶﻧﺘ‬ ‫ﻦ ِﺇ ﱠﻻ‬ ‫ﺗ‬‫ﻮ‬‫ﺗﻤ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺗﻘﹶﺎِﺗ ِﻪ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍ‬‫ﻮﺍ ﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﻬﹶﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬ “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh sebenarbenarnya takwa dan jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”1 ‫ﺮ‬ ‫ﻐ ِﻔ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎﹶﻟ ﹸﻜ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺢ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺼِﻠ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﺍ‬‫ﺳﺪِﻳﺪ‬ ‫ﻮ ﹰﻻ‬ ‫ﻭﻗﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ﹶﻗ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍ‬‫ﻮﺍ ﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻈِﻴﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﻮﺯ‬ ‫ﺯ ﹶﻓ‬ ‫ﺪ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻪ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ ِﻄ ِﻊ ﺍ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﻮ‬‫ﻢ ﹸﺫﻧ‬ ‫ﹶﻟ ﹸﻜ‬ “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yang lurus. Alloh akan perbaiki amalanamalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa taat kepada Alloh dan rosul-Nya maka sungguh ia telah berhasil dengan keberhasilan yang besar.”3 Sesungguhnya perkataan terbenar adalah kitab Alloh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek-jelek urusan adalah perkara yang baru, setiap yang baru adalah bid‘ah, setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka. ‫ﺎ‬‫ﺟﻬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺪ ٍﺓ‬ ‫ﺍ ِﺣ‬‫ﺲ ﻭ‬ ٍ ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸﻢ‬ ‫ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﺭ‬ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ‬‫ﺱ ﺍ‬  ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻡ ِﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﺎ‬‫ﺭﺣ‬ ‫ﻭﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺂ َﺀﻟﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑ ِﻪ‬‫ﺗﺴ‬ ‫ﷲ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬ َ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍ‬‫ﺍ‬‫ﺂ ًﺀ ﻭ‬‫ﻭِﻧﺴ‬ ‫ﺍ‬‫ﺎ ﹰﻻ ﹶﻛِﺜﲑ‬‫ﺎ ِﺭﺟ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﺚ ِﻣ‬ ‫ﺑ ﱠ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺭﻗِﻴﺒ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ َ‫ﺍ‬ “Wahai manusia, bertakwalah kepada robb kalian yang telah mencipatakan kalian diri jiwa yang satu, dan mencipatakan dari sana isterinya dan dari keduanya Alloh perkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungas silaturrohmi. Sesung-guhnya Alloh selalu mengawasi kamu.”2 1 2 Ali ‘Imron: 102. An-Nisa’: 1. 3 2 Al-Ahzab: 70-71. 3 ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ِﻬ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﷲ ِﺑﹶﺄ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭﺍ ﻓِﻲ‬‫ﻫﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻫ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﲔ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬  ‫ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ‬ ‫ﻢ‬‫ﺑﻬ‬‫ﺭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﺒ‬‫ﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟﻔﹶﺂِﺋﺰ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻭ ﹶﻻِﺋ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﺟ ﹰﺔ ﻋِﻨ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻋ ﹶﻈ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﺍ ِﺇ ﱠﻥ‬‫ﺑﺪ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻦ ﻓِﻴﻬ‬ ‫ﺎِﻟﺪِﻳ‬‫ﻢ ﺧ‬ ‫ﻣﻘِﻴ‬ ‫ﻢ‬ُ ‫ﻧﻌِﻴ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﻓِﻴﻬ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺕ ﱠﻟ‬ ٍ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺍ ٍﻥ‬‫ﺿﻮ‬  ‫ﻭ ِﺭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﻤ ٍﺔ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ِﺑ‬ ‫ﻢ‬ُ ‫ﻋﻈِﻴ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻩ ﹶﺃ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﷲ ﻋِﻨ‬ َ‫ﺍ‬ Kata Pengantar Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﺏ ﹶﺃﻟِﻴ ٍﻢ‬ ٍ ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﺠِﻴﻜﹸﻢ‬‫ﺭ ٍﺓ ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ِﺗﺠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺩﱡﻟﻜﹸ‬ ‫ﻫ ﹾﻞ ﹶﺃ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺴ ﹸﻜ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ﹸﻜ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﷲ ِﺑﹶﺄ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﺗﺠ‬‫ﻭ‬ ‫ﻮِﻟ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺕ‬ ٍ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺪ ِﺧ ﹾﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﻮ‬‫ﻢ ﹸﺫﻧ‬ ‫ﺮ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻐ ِﻔ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻢ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨ‬ ‫ﺮ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ُ ‫ﺧﻴ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺫِﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻚ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ‬  ‫ﺪ ٍﻥ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺕ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﺒ ﹰﺔ ﻓِﻲ‬‫ﻴ‬‫ﻦ ﹶﻃ‬ ‫ﺎ ِﻛ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻬ‬‫ﺎ ﹾﺍ َﻷ‬‫ﺤِﺘﻬ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺠﺮِﻱ ِﻣ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺸ ِﺮ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺐ‬ ُ ‫ﺢ ﹶﻗﺮِﻳ‬ُ ‫ﺘ‬‫ﻭﹶﻓ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ُ ‫ﺼ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻬ‬‫ﻮ‬‫ﺤﺒ‬ ِ ‫ﺗ‬ ‫ﻯ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﻈِﻴ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬ “Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim. Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Alloh. Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Robb mereka memberi kabar gembira kepada mereka dengan rahmat dan keridhoan dari-Nya serta surga, di sana mereka memiliki kesenangan yang kekal. Mereka abadi di sana buat selamanya, sesungguhnya Alloh memiliki pahala besar di sisi-Nya.”5 “Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosulNya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai serta tempat tinggal-tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang besar. Dan ada hal lain yang kalian sukai, yaitu pertolongan dari Alloh serta kemenangan yang dekat. Dan berilah kabar gembira orang-orang beriman.”4 Dan berfirman: ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻰ ﺍ‬‫ﻋﺴ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺴ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ ِﺇ ﱠﻻ‬‫ﺗ ﹶﻜﱠﻠﻒ‬ ‫ﷲ ﹶﻻ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎِﺗ ﹾﻞ ِﻓ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻴ ﹰ‬‫ﻨ ِﻜ‬‫ﺗ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻭﹶﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﺑ ﹾﺄﺳ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺱ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬  ‫ﺑ ﹾﺄ‬ ‫ﻒ‬  ‫ﻳ ﹸﻜ‬ ‫ﹶﺃ ﹾﻥ‬ “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”6 ‫ﻮ ِﻡ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬‫ﷲ ﻭ‬ ِ ‫ﻦ ﺑِﺎ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍ ِﻡ ﹶﻛ‬‫ﺤﺮ‬  ‫ﺠ ِﺪ ﺍﹾﻟ‬ ِ‫ﺴ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺭ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ِﻋﻤ‬ ‫ﺝ‬  ‫ﺂ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﻢ ِﺳﻘﹶﺎ‬ ‫ﺘ‬‫ﻌ ﹾﻠ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﹶﺃ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻬﺪِﻱ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﻳ‬‫ﷲ ﹶﻻ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﷲ ﻭ‬ ِ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﻮﻭ ﹶﻥ ﻋِﻨ‬ ‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬‫ﷲ ﹶﻻ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﺪ ﻓِﻲ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ 5 4 6 Ash-Shoff: 10-12 4 At-Taubah: 19-20 An-Nisa’: 84 5 ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﺮ ﹾﻛ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﻉ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻢ ِﺑﺎﻟ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺿ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺒ ﹶﻘ ِﺮ‬‫ﺏ ﹾﺍﻟ‬  ‫ﻧﺎ‬‫ﻢ ﹶﺃﺫﹾ‬ ‫ﺗ‬‫ﺧ ﹾﺬ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻨ ِﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻢ ِﺑﺎﹾﻟ ِﻌ‬ ‫ﺘ‬‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬‫ﺒﺎ‬‫ﺗ‬ ‫»ِﺇ ﹶﺫﺍ‬ «‫ﻢ‬ ‫ﻳِﻨ ﹸﻜ‬‫ﱃ ِﺩ‬ ‫ﻮﺍ ِﺇ ﹶ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺮ ِﺟ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﱴ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻨ ِﺰ‬‫ﻳ‬‫ﻟﺎ ﹶﻻ‬‫ﻢ ﹸﺫ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻂﺍ‬ ‫ﺳﱠﻠ ﹶ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻬﺎ‬ ‫ﳉ‬ ِ ‫ﹾﺍ‬ Benar, mengobarkan semangat perang (tahriidh) di jalan Alloh ‘azza wa jalla dalam rangka meninggikan kalimat-Nya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, khususnya di zaman sekarang; zaman kehinaan dan cinta dunia. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ‬،«‫ﻬﺎ‬ ‫ﻌِﺘ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﻋﻰ ﹾﺍ َﻷ ﹶﻛﹶﻠ ﹸﺔ ِﺇﹶﻟﻰ ﹶﻗ‬ ‫ﺪﺍ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻤﺎ‬ ‫ﻢ ﹶﻛ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻋﻰ‬ ‫ﺪﺍ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻚ ﹾﺍ ُﻷ‬  ‫ﻮ ِﺷ‬ ‫ﻳ‬» ‫ﻢ ﹸﻏﹶﺜﺎ ٌﺀ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻭﹶﻟ ِﻜ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻣِﺌ ٍﺬ ﹶﻛِﺜ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﺑ ﹾﻞ ﹶﺃ‬» :‫ﻣِﺌ ٍﺬ؟ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﻦ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ‬ ‫ﻭ ِﻣ‬ :‫ﹶﻗﺎِﺋ ﹲﻞ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﷲ ِﻓ‬ ُ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻴ ﹾﻘ ِﺬﹶﻓ‬‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﺑ ﹶﺔ ِﻣ‬‫ﻬﺎ‬ ‫ﻢ ﹾﺍ ﹶﳌ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ ِﺭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺻ‬  ‫ﻦ‬ ‫ﷲ ِﻣ‬ ُ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻨ ِﺰ‬‫ﻴ‬‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻴ ِﻞ‬‫ﺴ‬  ‫ﻐﹶﺜﺎ ِﺀ ﺍﻟ‬ ‫ﹶﻛ‬ ‫ﻴﺎ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬ ‫ﺐ ﺍﻟ‬  ‫ﺣ‬ » :‫ﻦ؟ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣﺎ ﹾﺍﻟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻳﺎ‬ :‫ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ ﹶﻗﺎِﺋ ﹲﻞ‬،«‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻢ ﹾﺍﻟ‬ ‫ﻮِﺑ ﹸﻜ‬ ‫ﹸﻗﹸﻠ‬ «‫ﺕ‬ ِ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻴ ﹸﺔ ﺍﹾﻟ‬‫ﺮﺍ ِﻫ‬ ‫ﻭ ﹶﻛ‬ “Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian sebagaimana orang yang makan mengeroyok nampannya.” Ada yang betanya, “Apakah karena kami sedikit waktu itu?” beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak, namun kalian adalah buih seperti buih air, dan Alloh benar-benar akan mencabut rasa takut musuh terhadap kalian dan benar-benar akan mencampakkan perasaan ‘wahn’ dalam hati kalian.” Ada yang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Cinta dunia dan benci mati.”7 Sesungguhnya pembantaian, pengusiran dan penghinaan yang terjadi terhadap kaum muslimin di mana-mana, sebabnya tidak lain karena mereka jauh dari Alloh, meninggalkan jihad di jalan-Nya, serta cinta dan ridho terhadap dunia. “Apabila kalian saling berjual beli dengan sistem ‘Inah, kalian mengambil ekor-ekor sapi, kalian senang dengan cocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, Alloh akan timpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.”8 Memperhatikan bahwa kita perlu menggerakkan akar jihad yang terpendam dalam hati kita, dalam rangka membantah syubhat-syubhat para mukhodzdziluun (orang-orang yang kerjanya memperlemah semangat orang) yang hanya berpangku tangan dari jihad dan orang-orang munafik, maka kami berusaha menyusun risalah ini segera. Harapan kami, tujuan kami itu terealisir tanpa ada kesalahan yang fatal. Risalah ini saya bagi kepada tiga pasal dan pembahasan. Kita memohon taufiq dan kelurusan kepada Alloh ‘azza wa jalla, agar menjadikan perkara ini bermanfaat bagi kaum muslimin, menjadikan amal usaha kita ikhlas karena wajahNya yang mulia, dan menerima amal sholeh kita serta mengampuni yang buruk, sesungguhnya Dialah yang mampu dan berkuasa atas hal itu. Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga serta para shahabatnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 7 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lain. Silsilah Shohîhah 958. 6 8 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lain. Silsilah Shohihah 11. 7 Definisi jihad • « ‫ﻴ ﹲﺔ‬‫ﻭِﻧ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻬﺎ‬ ‫ﻦ ِﺟ‬ ‫ﻭﹶﻟ ِﻜ‬ ‫ﺘ ِﺢ‬‫ﺪ ﹾﺍﻟ ﹶﻔ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ‬ ‫ﺠ‬  ‫» ﹶﻻ ِﻫ‬ Pasal Pertama “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tinggallah jihad dan niat.” PEMBAHASAN KEKE-I : Al-Jihad (di sini) artinya memerangi musuh; yaitu berusaha sekuat tenaga, mencurahkan segala potensi dan kemampuan berupa kata-kata maupun tindakan. DEFINISI JIHAD, KEUTAMAAN DAN Sedangkan yang dimaksud niat adalah: “Mengikhlaskan amal karena Alloh; artinya tidak ada hijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah, sebab sekarang kota itu telah berubah menjadi negara Islam, yang ada tinggal ikhlas dalam jihad dan memerangi orang-orang kafir. DORONGAN UNTUK MELAKSANAKANNYA Sedangkan jihad maknanya adalah berusaha keras dan mencurahkan segala kemampuan dalam rangka perang, bisa dilakukan juga dengan lisan atau apa saja yang ia mampu.” Selesai perkataan Ibnu Mandzûr. • 8 Ibnu Mandzur berkata: “Wa Jaahadal ‘Aduwwu mujaahadatan wa jihaadan, artinya: qootalahuu (memeranginya), dan berjihad di jalan Alloh. Di dalam hadits disebutkan: Adapun pengertian jihad secara syar‘i adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh dan bahu membahu dalam mengerjakannya, sebagaimana ditafsirkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada sebuah riwayat dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari ‘Amru bin ‘Abasah ia berkata: 9 “Seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rosululloh, apakah Islam itu?” beliau bersabda, “Hatimu pasrah kepada Alloh ‘azza wa jalla dan kaum muslimin selamat dari (gangguan) lidah dan tanganmu.” Ia berkata lagi, “Bagaimanakah Islam sempurna?” beliau bersabda, “Iman.” yang Dengan tafsiran tentang jihad seperti tertera dalam hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di atas inilah para ulama Islam menafsirkan jihad, di antaranya: - Ibnu Hajar rahimahullah berkata (mengenai definisi jihad): “Mencurahkan semua kemampuan dalam rangka memerangi orang-orang kafir.” - Al-Qosthalani rahimahullah berkata, “Memerangi orangorang kafir untuk membela Islam dan untuk meninggikan kalimat Alloh.” - Al-Kasani Rahimahullah berkata: “Dalam kebiasaan penggunaan istilah syara‘, jihad dipakai untuk makna mencurahkan semua potensi dan kekuatan dengan membunuh (perang) di jalan Alloh ‘azza wa jalla, baik dengan jiwa, harta, lisan dan lain sebagainya, ataupun mengerahkan tenaga dalam hal itu.” - Penulis Ad-Durrul Mukhtaar berkata, “Mengajak kepada agama yang benar serta memerangi orang yang tidak mau menerimanya.” paling Ia berkata, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari berbangkit setelah kematian.” Ia berkata lagi, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Hijroh.” Ia bertanya, “Apakah hijroh itu?” beliau bersabda, “Engkau jauhi keburukan.” Ia berkata, “Hijroh bagaimana yang paling utama?” beliau bersabda, “Jihad.” Ia bertanya, “Apakah jihad itu?” beliau bersabda, “Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau bertemu dengan mereka.” Ia berkata, “Jihad bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Siapa saja yang kuda terbaiknya terluka dan darahnya tertumpah.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kemudian dua amal yang keduanya merupakan amalan terbaik kecuali kalau ada yang melakukan yang semisal; hajji mabrur dan umroh.”9 9 Terkadang, jihad di dalam nash-nash syar‘i digunakan untuk selain makna memerangi orang-orang kafir. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mujahid adalah yang berjihad melawan nafsunya dalam rangka taat kepada Alloh, dan muhajir adalah yang meninggalkan semua yang Alloh larang.” Demikian juga sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang yang meminta izin kepada beliau ikut berjihad, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” ia berkata, “Masih.” Beliau bersabda, “Berjihadlah untuk keduanya.” HR.Ahmad dan Ibnu Majah. 10 11 Hanyasaja, lafadz jihad jika disebut secara mutlak, maka maksudnya adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh ta‘ala dan tidak dibawa kepada makna lainnya kecuali bila ada qorinah (bukti pendukung) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan itu, contohnya seperti dalam dua hadits tadi. - Ibnu Rusyd berkata di dalam Muqoddimat-nya (I/ 369): “Dan jihad pedang adalah memerangi orang-orang musyrik demi diin (agama). Maka, siapa saja yang melelahkan dirinya karena Alloh berarti ia telah berjihad di jalan-Nya. Hanya saja, jika kata jihad disebut secara mutlak, maka maknanya tidak dibawa kecuali kepada makna berjihad melawan orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam, atau memberikan jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina.” Di antara dalil yang menunjukkan bahwa jihad jika disebut secara mutlak tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir adalah sebagai berikut: 1. Dari Abu Huroiroh RA ia berkata: “Datang seorang lelaki kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyamai jihad.” Beliau bersabda, “Aku tidak menemukannya.” “Mampukah salah seorang dari kalian apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk ke masjidmu kemudian sholat dan tidak pernah berhenti dan puasa serta tidak berbuka?” lanjut beliau. Ia berkata, “Siapa yang mampu melakukannya.” 12 Abu Huroiroh berkata, “Sungguh kuda mujahid benarbenar akan terus ditulis kebaikan-kebaikan sepanjang hidupnya.” (HR. Bukhori – Muslim). Bukti petunjuk hadits ini terhadap makna jihad sangatlah jelas; sholat dan puasa termasuk jihad melawan hawa nafsu, meskipun demikian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku tidak temukan amalan yang menyamai jihad.” Sehingga ini menunjukkan bahwa yang dimaksud jihad apabila disebut secara mutlak adalah berjihad melawan orang-orang kafir, bukan melawan hawa nafsu. 2. Dari Abu Sa‘id Al-Khudhri RA berkata: “Dikatakan: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia terbaik?” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Para shahabat mengatakan, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Orang mukmin yang berada di lembah-lembah; bertakwa kepada Alloh dan menjauhi kejahatan manusia.” (HR. Bukhori dan Muslim) Orang yang bertakwa kepada Alloh di satu lembah itu berjihad terhadap nafsunya, bersamaan dengan itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membawa makna jihad kepada artian memerangi orang-orang kafir. 3. Dari Abu Huroiroh RA ia berkata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan rosul-Nya, menegakkan sholat dan berpuasa di bulan Romadhon, maka menjadi hak Alloh memasukkannya ke dalam surga; ia berjihad di jalan Alloh, atau duduk di tanah di mana ia dilahirkan.” 13 Para shahabat mengatakan, “Tidakkah kita beri kabar kembira kepada manusia wahai Rosululloh?” Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus derajat, Alloh siapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya, antara kedua derajat seperti antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Alloh, mintalah surga firdaus, sesungguhnya itulah tengah dan puncaknya surga, di atasnya ada ‘Arsy ArRohman, dan dari sanalah sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Ahmad dan Bukhori) Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebut orang yang duduk di tanah kelahirannya bukan sebagai mujahid, padahal ia berjihad terhadap hawa nafsunya dengan cara sholat dan berpuasa serta jihad nafs lainnya dalam rangka memikul beban-beban syar‘i. Semua ayat dan hadits yang menunjukkan keutamaankeutamaan jihad, maka arti jihad tersebut adalah jihad yang benar-benar jihad; yaitu memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh ta‘ala, tidak dibawa kepada makna jihad melawan hawa nafsu. Demikian juga para ulama Islam; para muhadditsin dan fuqoha, jika mereka meletakkan bab jihad dalam buku-buku mereka maka yang dimaksud adalah jihad melawan orangorang kafir dalam artian perang, bukan berjihad melawan hawa nafsu. Satu hal yang mesti diperhatikan: Jihad melawan nafsu bukanlah jihad terbesar secara mutlak sebagaimana klaim kaum Tasawwuf dan orang-orang yang mengaku berilmu yang mereka menarik-narik manusia untuk tidak berjihad sebenarnya. Mengenai hadits yang berbunyi: “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar…” ini adalah hadits dho‘if, tidak shohih; Al-Baihaqi, Al-Iroqi serta As-Suyuthi menilainya dho‘if, demikian juga Al-Albani di dalam Dho‘if Al-Jaami‘ AshShoghiir, juga ulama-ulama lainnya –rahimahumullah–. Amirul Mukminin fil Hadits, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam kitab Tasdiidul Qous bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan padahal sebebarnya itu berasal dari kata-kata Ibrohim bin ‘Ablah –seorang Tabi‘i `t-Tabi‘in—. Al-Iroqi berkata dalam takhrij hadits-hadits Al-Ihya’: “Dirawayatkan Al-Baihaqi dengan sanad dho‘if dari Jabir.” Bukti paling jelas yang menunjukan bahwa hadits ini tidak benar adalah bahwa yang mengucapkannya (kalau memang ini hadits) yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –di mana mereka menisbatkan hadits tadi kepada beliau— sama sekali tidak duduk berpangku tangan dari berperang. Namun beliau terjun berperang selama di Madinah sebanyak tiga kali tiap tahunnya, belum lagi berbicara sariyah-sariyah. Demikian juga dengan murid-murid beliau; mereka terdidik dengan jihad yang sambung menyambung. Seandainya yang mereka katakan benar, orang berakal itu akan memulai latihan menanggung yang kecil-kecil dulu, lalu yang besar, lalu yang lebih besar. Sehingga ia meningkat dari yang terendah hingga yang tertinggi. Maka, mulailah dari jihad terkecil –menurut kalian tadi— baru yang besar. Hanya saja, kami katakan: jihad pedang dan jihad melawan hawa nafsu tidaklah saling mengganggu, keduaduanya tetap bagian dari Islam, salah satu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sibuk dengan yang lain, sama halnya dengan belajar ilmu yang fardhu ain yang tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sibuk mentarbiyah diri. Hadits (dho‘îf) tadi juga menyelisihi firman Alloh ta‘ala: 14 15 ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺮ ِﺭ ﻭ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻭﻟِﻰ ﺍﻟ‬ ‫ﺮ ﹸﺃ‬ ‫ﲔ ﹶﻏﻴ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ِﻣ‬‫ﺘﻮِﻯ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﹶﻻ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ِﻬ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻦ ِﺑﹶﺄ‬ ‫ﺎ ِﻫﺪِﻳ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﷲ ﺍﹾﻟ‬ ُ ‫ﻀ ﹶﻞ ﺍ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ِﻬ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﷲ ِﺑﹶﺄ‬ ِ‫ﺍ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺎ ِﻫﺪِﻳ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﷲ ﺍﹾﻟ‬ ُ ‫ﻀ ﹶﻞ ﺍ‬  ‫ﻭﹶﻓ‬ ‫ﻰ‬‫ﺴﻨ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﷲ ﺍﹾﻟ‬ ُ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻼ‬  ‫ﻭ ﹸﻛ‬ ‫ﺟ ﹰﺔ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻈِﻴﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ “Tidaklah sama antara orang-orang yang hanya duduk dari kalangan mukminin yang tidak memiliki uzur dan orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwanya. Alloh lebih utamakan orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya di atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan pahala yang baik. Dan Alloh lebihkan para mujahid di atas orang-orang yang duduk berupa pahala besar.” (An-Nisa’: 95) Menyebut perang melawan orang-orang kafir sebagai jihad kecil juga tidak ditunjukkan oleh satu dalil pun dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lagi pula, orang yang berjihad terhadap hawa nafsu dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Alloh ‘azza wa jalla untuk memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut dalam memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya ia bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Alloh. Maka berdalih dengan jihad melawan nafsu untuk membenarkan sikap berpangku tangan termasuk kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin untuk berjihad melawan musuh-musuh mereka. Inilah Sayyidah Aisyah RA, ia pernah bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah wanita ada kewajiban jihad?” beliau bersabda, “Mereka ada kewajiban jihad yang tanpa perang: hajji dan umroh.” (Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah). 16 Sedangkan di dalam riwayat Bukhori disebutkan: Aisyah berkata: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?” Jadi, ‘Aisyah memahami bahwa jihad adalah perang. Dan, apakah maksud para shahabat yang mulia ketika mereka mengatakan kalimat yang cukup masyhur: ‫ﺪﹰﺍ‬‫ﺎ ﹶﺃﺑ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺑ ِﻘ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ِﺩ ﻣ‬‫ﺠﻬ‬ ِ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺪ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻌﻮ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻦ ﺑ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻧ‬ Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Muhammad… Untuk berjihad selama kami masih hidup… Apakah mereka memiliki maksud lain selain jihad bermakna perang?! Dengan kata lain: Orang yang meninggalkan hal-hal haram disebut orang berpuasa karena ia puasa dari perkara-perkara haram, akan tetapi apakah maknanya ia diperbolehkan tidak berpuasa dalam arti sebenarnya yaitu puasa Romadhon?! Padahal, Robb kita berfirman: ‫ﺎ ﹸﻝ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ ِﻘﺘ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﹸﻛِﺘ‬ “Diwajibkan atas kalian berperang…”10 Sebagaimana Dia berfirman: ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﺼﻴ‬  ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﹸﻛِﺘ‬ 10 QS. Al-Baqoroh: 216 17 “Diwajibkan atas kalian berpuasa…”11 mujahidin dan para syuhada, tidak ada ancaman keras, janji hukuman dan siksa pedih bagi orang yang tidak ikut berjihad. “…Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan mengkufuri sebagian yang lain.”?12 Sebagian orang bersikeras untuk mengkaburkan makna jihad ini dengan mengatakan, “Kami juga sedang berjihad ini!!” mereka bertujuan membenarkan sikap duduk mereka dari perang. Setelah Anda lihat kehidupannya, ternyata ada yang jadi pegawai untuk menghidupi keluarganya, yang satu lagi jadi pedagang, yang lain jadi karyawan, yang ini jadi petani, yang itu mengajar di Fakultas Syariah, Kedokteran, Ekonomi, Ilmu Politik atau…dst, semuanya mengklaim dirinya sebagai mujahid (orang yang berjihad) dan berarti boleh meninggalkan perang…! Benar, mereka menganggap dirinya sebagai mujahid sementara di negerinya ia makan minum, mengajar dan bekerja. Bahkan, tanpa malu-malu ada juga yang menganggap apa yang ia lakukan sekarang lebih baik daripada perang itu sendiri! Orang-orang berpefikiran rusak dan biasa menyimpangkan makna seperti mereka mesti diberi penjelasan kembali dari AlQur’an dan As-Sunnah serta sejarah para tabi‘in yang mengikuti para pendahulunya dengan kebaikan. Seandainya benar klaim mereka, Alloh SWT dan nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, tidak akan memotivasi agar melaksanakannya, tidak akan ada keterangan tentang wajibnya berperang, tidak ada pengobaran semangat kaum muslimin untuk berperang dengan menyebutkan pahala para 11 12 QS. Al-Baqoroh: 183 QS. Al-Baqoroh: 85 18 19 Keutamaan Jihad Jihad di Jalan Alloh ‘Azza Wa Jalla Adalah Amalan Terbaik Setelah Iman Kepada Alloh ta‘ala Di dalam Ash-Shohihain disebutkan dari Abu Huroiroh RA berkata: ‫ﻤﺎ ﹲﻥ‬ ‫ﻳ‬‫ »ِﺇ‬:‫ﻀ ﹸﻞ؟ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ‬  ‫ﻤ ِﻞ ﹶﺃ ﹾﻓ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻱ ﹾﺍﻟ‬  ‫ ﹶﺃ‬:‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ﺍ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺳِﺌ ﹶﻞ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬:‫ﻴ ﹶﻞ‬‫ ِﻗ‬،«‫ﷲ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺩ ِﻓ‬ ‫ﻬﺎ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ »ﹶﺍﹾﻟ‬:‫ﻣﺎ ﹶﺫﺍ؟ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬:‫ﻴ ﹶﻞ‬‫ﻮِﻟ ِﻪ« ِﻗ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ِﺑﺎ‬ «‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﻣ‬ ‫ﺞ‬ ‫ﺣ‬ » :‫ﻣﺎ ﹶﺫﺍ؟ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ‬ “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh dan rosul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Berjihad di jalan Alloh.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Hajji mabrur.” Hadits ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki kedua orang tua yang harus dilayani dengan baik, atau orang yang kedua orangtuanya telah memberi izin, atau dalam kondisi jihad hukumnya fardhu ain; karena dalam kondisi-kondisi ini, jihad lebih didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua. Wallôhu A‘lam. Dan dari Ma‘iz RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau ditanya tentang amalan terbaik, beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh saja, kemudian jihad, dan hajji mabrur itu melebihi semua amalan seperti antara tempat terbitnya matahari dan tempat tenggelamnya.” (HR. Ahmad, rijalnya adalah rijal shohih). Ma‘iz sendiri adalah shahabat yang masyhur, ia tidak memakai nasab. 20 Makna sabda beliau: “..melebihi semua amalan.” Artinya semua amalan setelah iman dan jihad; sebelumnya telah disebutkan bahwa amalan terbaik adalah iman dan jihad. Masih dalam Ash-Shohihain dari Abu Dzar RA ia berkata: Aku bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang amal apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, “Iman kepada Alloh dan berjihad di jalan-Nya.” Ia berkata, “Budak apakah yang paling mahal?” beliau bersabda, “Yang paling mahal bagi pemiliknya dan paling mahal harganya.” (AlHadits). Jihad Lebih Lebih Baik Daripada Memberi Minum Orang Hajji Dan Memakmurkan Masjidil Haram Dari An-Nu‘man bin Basyir RA ia berkata: “Aku berada di sisi mimbar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba ada seseorang berkata, “Aku tidak peduli, untuk tidak mengerjakan amalan setelah Islam selain memakmurkan Masjidil Harom.” Ada orang lain berkata, “Tidak, jihad fi sabilillah itu lebih baik daripada apa yang kau katakan.” Maka Umar bin Khothob membentak mereka seraya mengatakan, “Jangan mengangkat suara di sisi mimbar Rosululloh di hari Jum‘at. Nanti setelah sholat Jumat, aku akan masuk menemui Rosululloh SAW dan menanyakan apa yang kalian perselisihkan.” akhirnya Alloh ‘azza wa jalla menurunkan firman-Nya: ‫ﻮ ِﻡ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬‫ﷲ ﻭ‬ ِ ‫ﻦ ﺑِﺎ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍ ِﻡ ﹶﻛ‬‫ﺤﺮ‬  ‫ﺠ ِﺪ ﺍﹾﻟ‬ ِ‫ﺴ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺭ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ِﻋﻤ‬ ‫ﺝ‬  ‫ﺂ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﻢ ِﺳﻘﹶﺎ‬ ‫ﺘ‬‫ﻌ ﹾﻠ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﹶﺃ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻬﺪِﻱ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﻳ‬‫ﷲ ﹶﻻ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﷲ ﻭ‬ ِ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﻋِﻨ‬‫ﺘﻮ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬‫ﷲ ﹶﻻ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﺪ ﻓِﻲ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ‬ 21 “Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim.”13 (HR. Muslim) Jihad Lebih Baik Daripada Ber‘Uzlah Dan Sibuk Beribadah Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dengan isnadnya dari Abu Huroiroh ra, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kuberitahu kalian tentang orang yang paling baik kedudukannya? (Yaitu) lelaki yang memegang tali kekang kudanya di jalan Alloh. Maukah kalian kuberitahu tentang orang paling baik kedudukannya setelah itu? Lelaki yang beruzlah dengan menggembalakan kambingnya, ia menegakkan sholat dan menunaikan zakat, beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun.” (Muslim dan lain-lain juga meriwayatkan hadits seperti ini, lafadznya ada Insya Alloh) Dan dari Abu Huroiroh RA ia berkata: ‫ﻦ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ ِﻣ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ﻋ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﺐ ِﻓ‬ ٍ ‫ﻌ‬ ‫ﺸ‬ ِ ‫ﻢ ِﺑ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ﺍ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺏ‬ ِ ‫ﺤﺎ‬ ‫ﺻ‬  ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﺟ ﹲﻞ ِﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﺐ‬ ِ ‫ﻌ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻫ ﹶﺬﺍ ﺍﻟ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺖ ﹶﻓ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺱ ﹶﻓﹶﺄﹶﻗ‬  ‫ﻨﺎ‬‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﺰﹾﻟ‬ ‫ﺘ‬‫ﻋ‬ ‫ ﹶﻟ ِﻮ ﺍ‬:‫ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ‬،‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺠ‬  ‫ﻋ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬،‫ﺑ ٍﺔ‬‫ﻋ ﹾﺬ‬ ‫ﻣﺎ ٍﺀ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻚ ِﻟ‬  ‫ﺮ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻢ ﹶﻓ ﹶﺬ ﹶﻛ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ﺍ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺘ ﹾﺄ ِﺫ ﹶﻥ‬‫ﺳ‬ ‫ﺘﻰ ﹶﺃ‬‫ﺣ‬ ‫ﻌ ﹶﻞ‬ ‫ﹶﺃ ﹾﻓ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒﻴ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻢ ِﻓ‬ ‫ﺣ ِﺪ ﹸﻛ‬ ‫ﻡ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ ﹶﻘﺎ‬ ‫ﻌ ﹾﻞ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ‬ ‫ﺗ ﹾﻔ‬ ‫ » ﹶﻻ‬:‫ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ‬،‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ﺍ‬  13 ،‫ﻢ‬ ‫ﷲ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ُ ‫ﺮ ﺍ‬ ‫ﻐ ِﻔ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺒ‬‫ ﹶﺃ ﹶﻻ ِﹸﲢ‬،‫ﻣﺎ‬ ‫ﻋﺎ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺒ ِﻌ‬‫ﺳ‬ ‫ﻴِﺘ ِﻪ‬‫ﺑ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻼِﺗ ِﻪ ِﻓ‬ ‫ﺻﹶ‬  ‫ﻦ‬ ‫ﻀ ﹸﻞ ِﻣ‬  ‫ﹶﺃ ﹾﻓ‬ ‫ﻧﺎﹶﻗ ٍﺔ‬ ‫ﻕ‬  ‫ﻮﺍ‬ ‫ﷲ ﹶﻓ‬ ِ ‫ﺳِﺒﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺗ ﹶﻞ ِﻓ‬‫ﻦ ﹶﻗﺎ‬ ‫ﻣ‬ ،‫ﷲ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻭﺍ ِﻓﻲ‬ ‫ﺰ‬ ‫ ﹸﺃ ﹾﻏ‬،‫ﻨ ﹶﺔ‬‫ﺠ‬  ‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺪ ِﺧﹶﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ «‫ﻨ ﹸﺔ‬‫ﳉ‬ ‫ﻪ ﹾﺍ ﹶ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ‬  ‫ﺒ‬‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ “Seorang lelaki dari shahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah lembah yang di sana terdapat sebuah mata air tawar kemudian ia berkata, “Seandainya saja aku menjauhi manusia dan tinggal di lembah ini, aku tidak akan melakukannya sampai aku minta izin kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka ia menceritakan hal itu kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan lakukan itu, sebab posisi salah seorang dari kalian di jalan Alloh lebih baik daripada sholat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun. Apakah kalian tidak suka kalau Alloh mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah? Berperanglah di jalan Alloh, barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja (fawâqo nâqoh), ia pasti masuk surga.” (HR. Tirmizi dan dia berkata: hadits hasan; AlBaihaqi di dalam As-Sunan, dan Al-Hâkim; ia berkata: shohih menurut syarat Muslim). Kata Fawaqo naqoh: Al-Jauhari dan yang lainnya mengatakan: “Artinya adalah waktu memerah antara dua puting susu; biasanya ia diperah lalu dibiarkan sesaat yang ditetek oleh anak unta agar susunya mengumpul banyak lalu diperah.” Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah waktu antara kau tempelkan tanganmu dan kau angkat dari puting susu ketika engkau sedang memerahnya. Puncak Islam Adalah Jihad Di Jalan Alloh Ta’ala At-Taubah: 19. 22 23 Dari Mu‘adz bin Jabal ra ia berkata: Kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di perang Tabuk, beliau bersabda, “Jika engkau mau, aku beritahukan tentang pokok urusan, tiang dan puncaknya.” Aku mengatakan, “Mau Wahai Rosululloh.” Beliau bersabda, “Adapun pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Hakim dengan lafadz ini secara ringkas, ia mengatakan: shohih menurut syarat Bukhori Muslim; Ahmad juga meriwayatkannya dengan redaksi panjang. demikian juga Tirmizin dan ia menshohihkannya, An-Nasa’I, Ibnu Majah dan lain-lain). jawab, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” Kemudian beliau bersabda, “Perumpaan mujahid di jalan Alloh itu seperti orang yang berpuasa dan sholat serta taat (qônit) terhadap ayat-ayat Alloh. Ia tidak pernah berhenti dari sholat dan puasanya sampai si mujahid fi sabilillah tersebut pulang.” HR. Bukhori dan Muslim. An-Nawawi berkata, “Makna Qônit di sini adalah orang yang taat.” Keutamaan Mengobarkan Mengobarkan Semangat Kaum Mukminin Untuk Berjihad Di Jalan Alloh (Tahri (Tahridh) Alloh ta‘ala berfirman: Thobroni juga meriwayatkannya dalam Al-Kabîr melalui jalur Muhammad bin Salamah, dari Abu Abdir Rohim dari Abdul Malik dari Al-Qosim dari Fadholah bin Ubaidillah RA berkata: “Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‫ﺎ‬‫ﺑ ﹾﺄﺳ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺱ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬  ‫ﺑ ﹾﺄ‬ ‫ﻒ‬  ‫ﻳ ﹸﻜ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ُ ‫ﻰ ﺍ‬‫ﻋﺴ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻴ ﹰ‬‫ﻨ ِﻜ‬‫ﺗ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻭﹶﺍ‬ “Islam itu ada tiga bait: bawah, atas dan tengah. Adapun yang bawah adalah Islam; semua kaum muslimin memasukinya, tidak ada seorang pun dari mereka yang kau tanya melainkan mengatakan: Saya seorang muslim. Adapun yang atas maka amalan mereka bertingkat-tingkat, sebagian lebih baik daripada sebagian yang lain. Adapun pertengahan yang paling atas adalah jihad di jalan Alloh, tidak ada yang bisa mendapatkanya selain yang terbaik di antara mereka.” “…dan kobarkanlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang). Semoga Alloh menolak keganasan orang-orang kafir, dan Alloh itu lebih besar kekuatan dan siksa (Nya).”14 Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺸﺮ‬  ‫ﻢ ِﻋ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻳﻜﹸﻦ ﻣ‬ ‫ﺎ ِﻝ ﺇِﻥ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ِﻘﺘ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺆﻣِِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺎ ﺍﻟ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺂﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮﺍ ﹶﺃﹾﻟﻔﹰﺎ‬‫ﻐِﻠﺒ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ ﻣِﺎﹶﺋ ﹲﺔ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻣ‬ ‫ﻳﻜﹸﻦ‬ ‫ﻭﺇِﻥ‬ ‫ﻴ ِﻦ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ﻣِﺎﹶﺋ‬‫ﻐِﻠﺒ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎِﺑﺮ‬‫ﺻ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻳ ﹾﻔ ﹶﻘﻬ‬‫ﻡ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻢ ﹶﻗ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ِﺑﹶﺄ‬ Tidak Ada Seorangpun Bisa Melakukan Amalan Yang Menyamai Jihad Jihad Fi Sabilillah Dari Abu Huroiroh RA berkata: “Dikatakan, “Wahai Rosululloh, apakah yang bisa menyamai jihad di jalan Alloh?” beliau bersabda, “Engkau tidak akan bisa melakukannya.” Maka para shahabat terus mengulang pertanyaannya hingga dua atau tiga kali semuanya beliau 24 “Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika ada dari kalian berjumlah dua puluh orang yang sabar, akan mengalahkan dua ratus orang. Dan 14 An-Nisa’: 84 25 jika ada dari kalian seratus, akan mengalahkan seribu dari orang-orang kafir dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak faham.”15 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﺏ ﹶﺃﻟِﻴ ٍﻢ‬ ٍ ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﺠِﻴﻜﹸﻢ‬‫ﺭ ٍﺓ ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ِﺗﺠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺩﱡﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻫ ﹾﻞ ﹶﺃ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺴ ﹸﻜ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ﹸﻜ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﷲ ِﺑﹶﺄ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ِﻓﻲ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﺗﺠ‬‫ﻭ‬ ‫ﻮِﻟ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻢ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨ‬ ‫ﺮ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ُ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺫِﻟ ﹸﻜ‬ “Hai orang-orang beriman, maukah Ku-tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosulNya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Hingga akhir surat.16 Ayat-ayat mengenai tahridh dari Alloh ta‘ala kepada hamba-hamba-Nya untuk berjihad di jalan-Nya, dan memotivasi mereka untuk menggapai pahala di sisi-Nya dengan jihad sangatlah banyak. 1. Ibnu Majah meriwayatkan, Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Shifatul Jannah, Al-Bazzar dan Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya, dari Kuraib, bahwasanya ia mendengar Usamah bin Zaid RA mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapakah yang mau bersegera menuju surga? Sesungguhnya surga itu tidak pernah terbayangkan. Sungguh, demi Robb Ka‘bah, surga itu adalah cahaya yang berkilauan, tumbuh-tumbuhan wangi yang bergoyang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir 15 16 berturutan, buah-buahan yang matang, isteri-isteri jelita dan cantik, perhiasan-perhiasan yang banyak, tempat dalam keabadian di negeri keselamatan, buah-buahan dan hijau-hijauan, kegembiraan dan kenikmatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat mengatakan, “Iya, wahai Rosululloh, kami bersegara ke sana.” Maka beliau mengatakan, “Katakanlah: Insya Alloh.” Para shahabat mengatakan, “Insya Alloh.” Kemudian beliau menyampaikan tentang jihad dan memberi semangat kepadanya. 2. Ibnu Majah menyebutkan lagi dari Ali secara mauquf, ia berkata, “Barangsiapa mengobarkan semangat saudaranya untuk berjihad, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya; dan setiap langkah yang ia tempuh dalam rangka itu sama dengan ibadah satu tahun.” Keutamaan Menolong Mujahidin, Mujahidin, Menyiapkan Bekal, Memberi Makanan, Pelayanan, Pelayanan, Mengantarkan Kepergiannya Dan Mengucapkan Selamat Jalan Kepadanya Imam Ahmad meriwayatkan, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim dan lain-lain, dari jalur Abdulloh bin Muhammad bin ‘Uqoil, dari Abdulloh bin Sahl bin Hanif, bahwasanya Sahl bercerita kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menolong seorang mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang, atau membantu seorang budak makatib untuk membebas dirinya, Alloh akan menaungi naungannya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.” Ibnu Asakir mengeluarkan dari ‘Umar bin Zaroroh: Telah bercerita kepada kami Al-Musayyib bin Syuraik, dari Bakr bin Fadholah, dari Maimun bin Mahron, dari Ibnu Abbas ia Al-Anfal: 65 Ash-Shoff: 10-14. 26 27 berkata, “Barangsiapa yang membawa dan tinggal bersama kuda di jalan Alloh, ditulis baginya pahala seperti orang yang keluar membawa harta dan nyawanya dalam kesabaran, selama kuda itu masih hidup. Dan barangsiapa memberi pedang di jalan Alloh, ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa lidah yang panjang seraya mengatakan di hadapan semua makhluk: ‘Ketahuilah, aku adalah pedangnya fulan bin fulan. Aku terus berjihad untuknya hingga hari kiamat.’ Dan barangsiapa memberi baju di jalan Alloh ta‘ala, ia akan diberi baju dari surga yang akan digantikan kepadanya setiap hari seperti di dunia.” Al-Qurthubi dan yang lain mengatakan, “Maknanya: Siapakah yang mau berinfak di jalan Alloh sehingga nantinya Alloh akan ganti dengan jumlah yang berlipat ganda?” Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﺎِﺑ ﹶﻞ‬‫ﺳﻨ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺒ‬‫ﺳ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺒ ٍﺔ ﺃﹶﻧ‬‫ﺣ‬ ‫ﻤﹶﺜ ِﻞ‬ ‫ﷲ ﹶﻛ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻢ ﻓِﻲ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺍﹶﻟ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻨ ِﻔﻘﹸﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ‬‫ ﻳ‬‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻦ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻋﻠِﻴ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺍ ِﺳ‬‫ﷲ ﻭ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺂ ُﺀ ﻭ‬‫ﻳﺸ‬ ‫ﻦ‬‫ﻒ ِﻟﻤ‬  ‫ﺎ ِﻋ‬‫ﻳﻀ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺒ ٍﺔ ﻭ‬‫ﺣ‬ ‫ﻣ ﹾﺎﹶﺋ ﹸﺔ‬ ‫ﺒﹶﻠ ٍﺔ‬‫ﻨ‬‫ﻓِﻲ ﹸﻛ ﱢﻞ ﺳ‬ “Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Dan Alloh melipatkan gandakan pahala bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”18 Dan dari Umar bin Khothob RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memayungi kepala orang yang berperang, Alloh akan menaunginya di hari kiamat. Dan barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan alloh, maka ia mendapat pahala seperti itu sampai ia mati atau pulang. Dan barangsiapa membangun masjid yang di dalamnya disebut nama Alloh, Alloh akan bangunkan baginya rumah di jannah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya, Al-Baihaqi dan Syaikhnya: Al-Hakim, ia mengatakan: “Isnadnya shohih.” Ibnu ‘Umar berkata, “Ketika turun ayat: ...‫ﷲ‬ ِ‫ﺍ‬ “Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh…” dst Keutamaan Berinfak Di Jalan Alloh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbi, tambahkanlah untuk umatku.” Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﲑ ﹰﺓ‬ ‫ﺎﻓﹰﺎ ﹶﻛِﺜ‬‫ﺿﻌ‬  ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﺎ ِﻋ ﹶﻔ‬‫ﻴﻀ‬‫ﺎ ﹶﻓ‬‫ﺴﻨ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ﷲ ﹶﻗﺮ‬ َ ‫ﺽﺍ‬  ‫ﻳ ﹾﻘ ِﺮ‬ ‫ﻦ ﺫﹶﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬‫ﻣ‬ Maka turunlah ayat: ‫ﲑ ﹰﺓ‬ ‫ﺎﻓﹰﺎ ﹶﻛِﺜ‬‫ﺿﻌ‬  ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﺎ ِﻋ ﹶﻔ‬‫ﻴﻀ‬‫ﺎ ﹶﻓ‬‫ﺴﻨ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ﷲ ﹶﻗﺮ‬ َ ‫ﺽﺍ‬  ‫ﻳ ﹾﻘ ِﺮ‬ ‫ﻦ ﺫﹶﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬‫ﻣ‬ “Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”17 17 ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ‬ ‫ﻢ ﻓِﻲ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺍﹶﻟ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻨ ِﻔﻘﹸﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﱠﻟ ِﺬﻳ‬ 18 Al-Baqoroh: 245 28 Al-Baqoroh: 261 29 “Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” Keutamaan Menyiapkan Perbekalan Pasukan Perang Di Jalan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam “Robbku, tambahkanlah buat umatku.” Dari Abu Sa‘id Al-Khudri RA bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus kepada Bani Lihyan: Agar setiap dua orang, satu saja yang berangkat, namun pahalanya didapatkan oleh kedua-duanya. bersabda, Maka turunlah ‫ﺏ‬ ٍ ‫ﺎ‬‫ﻴ ِﺮ ِﺣﺴ‬‫ﻐ‬ ‫ﻢ ِﺑ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﹶﺃ‬‫ﺎِﺑﺮ‬‫ﻮﻓﱠﻰ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻤ‬‫ِﺇ‬ “Sesungguhnya pahala orang-orang gandakan tanpa terhitung.”19 sabar itu dilipat (HR. Imam Abu Bakar bin Al-Mundzir di dalam Tafsirnya, Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya, Al-Baihaqi di dalam Asy-Syu‘ab, dan lain lain) Dari Khuraim bin Fatik berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, «‫ﻒ‬ ٍ ‫ﻌ‬ ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻌ ِﻤﹶﺌ ِﺔ‬ ‫ﺒ‬‫ﺳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺐ ﹶﻟ‬  ‫ﷲ ﹸﻛِﺘ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻧ ﹶﻔ ﹶﻘ ﹰﺔ ِﻓ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﻧ ﹶﻔ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ » Alloh Serta Menjaga Keluarga Mereka, Serta Tentang Orang Yang Diminta Keluarga Mujahid Kemudian Berkhianat20 Di dalam lafadz lain: “Hendaknya setiap dua orang, satu orang saja yang berangjat.” Kemudian beliau bersabda kepada yang tidak berangkat, “Siapa saja di antara kalian yang menjaga dengan baik keluarga dan harta orang yang berangkat berperang, maka mendapatkan setengah pahala orang yang berangkat.” HR. Muslim. Imam Abu Bakar bin Al-Munzir berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kewajiban jihad gugur dari manusia jika sudah ada yang melaksanakannya dalam jumlah cukup.” Dan dari Zaid bin Kholid Al-Juhanni RA bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang berinfak sekali di jalan Alloh, ditulis baginya tujuh ratus kali lipat.” ‫ﻫِﻠ ِﻪ‬ ‫ﻲ ﹶﺃ‬ ‫ﻳﺎ ِﻓ‬‫ﻒ ﹶﻏﺎ ِﺯ‬  ‫ﺧﱠﻠ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ،‫ﺰﺍ‬ ‫ﺪ ﹶﻏ‬ ‫ﷲ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺰ ﹶﻏﺎ ِﺯﻳﹰﺎ ِﻓ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ » «‫ﺰﺍ‬ ‫ﺪ ﹶﻏ‬ ‫ﻴ ٍﺮ ﹶﻓ ﹶﻘ‬‫ﺨ‬  ‫ِﺑ‬ (HR. Tirmizi, ia meng-hasan-kannya, An-Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya, dan Al-Hakim, beliau berkata, “Isnadnya shohih.”) “Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, sungguh ia telah berperang. Dan barangsiapa 20 19 Dalam teks aslinya, penulis tidak menyertakan hadits tentang ancaman bagi mereka yang dititipi keluarga mujahid kemudian berbuat khianat, wallohu A‘lam, penerj. Az-Zumar: 10 30 31 menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, sungguh ia telah berperang.” (HR. Bukhori dan Muslim) Masih dari Kholid ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memberi buka orang yang berpuasa, ia mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan siapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang yang berperang itu sedikitpun.” (HR. Tirmizi dan Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya) Dan dari Zaid bin Tsabit RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, mendapatkan hasil, melainkan telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Dan tidaklah satu pasukan perang atau satu sariyah yang mereka pulang tidak membawa ghanimah atau merasa ketakutan, atau terkena musibah, kecuali disempurnakan pahala mereka.” Sabda beliau: “Takhfaqu.” (Dengan kho’ mu‘jamah, faa’ dan qoof lagi) artinya adalah: Pulang tanpa membawa ghanimah. Dikatakan: Akhfaqol Ghoozii, jika ia berperang dan tidak memperoleh ghanimah atau kemenangan. Keutamaan Riba Ribath (Berjaga(Berjaga-Jaga Di Daerah Perbatasan) Di Jalan Alloh Ta‘ala Dan Keutamaan Orang Yang Bermalam Dalam Kondisi Ribath Alloh ta‘ala berfirman: “Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahala seperti pahalanya. Dan barangsiapa menjaga dengan baik dan bersedekah kepada keluarga orang yang berperang, ia mendapatkan pahala seperti pahalanya.” (HR. Thobaroni di dalam Al-Ausath, rijalnya adalah rijal shohih) ‫ﺍ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺍ ﹾﻗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺧ ﹸﺬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺚ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺸ ِﺮ ِﻛ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﺻ ٍﺪ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﹸﻛ ﱠﻞ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﹶﻟ‬ Keutamaan Rasa Takut Di Jalan Alloh Ta‘a Ta‘ala “…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”21 Di dalam Shohih Muslim dari Abdulloh bin ‘Amru bin Al-‘Ash RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺗ ﹾﻔِﻠﺤ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﱠﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﷲ ﹶﻟ‬ َ ‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍ‬‫ﺍ‬‫ﺍِﺑﻄﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﻭﺭ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺎِﺑﺮ‬‫ﻭﺻ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺻِﺒﺮ‬  ‫ﻮﺍ ﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻮﺍ ﹸﺛﹸﻠﹶﺜ‬ ‫ﺠﹸﻠ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻮﺍ ﹶﻗ‬ ‫ﻧ‬‫ ِﺇ ﱠﻻ ﹶﻛﺎ‬،‫ﻢ‬ ‫ﹶﻠ‬‫ﺗﺴ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ‬‫ﻐ‬ ‫ﺘ‬‫ﺰﻭ ﹶﻓ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻳ ٍﺔ‬‫ﺳ ِﺮ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺔ ﹶﺃ‬‫ﻦ ﹶﻏﺎ ِﺯ‬ ‫ﻣﺎ ِﻣ‬ » «‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻢ ﹸﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺏ ِﺇ ﱠﻻ‬  ‫ﺼﺎ‬  ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺨ ﹶﻔ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻳ ٍﺔ‬‫ﺳ ِﺮ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺔ ﹶﺃ‬‫ﻦ ﹶﻏﺎ ِﺯ‬ ‫ﻣﺎ ِﻣ‬ ‫ﻭ‬ ،‫ﻢ‬ ‫ﻮ ِﺭ ِﻫ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﹸﺃ‬ “Tidaklah suatu pasukan perang atau sariyah yang diberangkatkan di jalan Alloh kemudian mereka selamat atau 32 “…Hai orang-orang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan beribathlah serta bertakwalah kepada Alloh agar kalian beruntung.”22 21 At-Taubah: 5 33 Mubarok bin Fadholah mengatakan, aku mendengar AlHasan ketika membaca ayat ini: Ishbiruu wa shoobiruu (Ali Imron: 200, penerj.) ia mengatakan, “Mereka diperintahkan agar terus bersabar menghadapi orang-orang kafir sampai mereka bosan sendiri dengan agama mereka.” Muhammad bin Ka‘b Al-Qurodzi mengomentari ayat ini, “(Maksudnya ayat ini): Beribathlah kalian menjaga musuh-Ku dan musuh kalian sampai ia meninggalkan agamanya dan memeluk agama kalian.” Dari Sahl bin Sa‘d RA bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‫ﻁ‬ ِ ‫ﻮ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ،‫ﻬﺎ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴﺎ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺮ ِﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻮ ٍﻡ ِﻓ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻁ‬ ‫ﺑﺎ ﹸ‬‫» ِﺭ‬ «‫ﻬﺎ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻴﺎ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺮ ِﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻨ ِﺔ‬‫ﺠ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺣ ِﺪ ﹸﻛ‬ ‫ﹶﺃ‬ Di dalam Shohih Bukhori dari Abu Huroiroh RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, ‫ِﺇ ﹾﻥ‬‫ﻲ ﻭ‬ ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻋ ِﻄ‬ ‫ﺼ ِﺔ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﺃ‬  ‫ﻴ‬‫ﺨ ِﻤ‬  ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻫ ِﻢ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺪ ﺍﻟ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻨﺎ ِﺭ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬ ‫ﺪ ﺍﻟ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﺗ ِﻌ‬» ‫ﺒ ٍﺪ ﺁ ِﺧ ٍﺬ‬‫ﻌ‬ ‫ﺑﻰ ِﻟ‬‫ﻮ‬ ‫ ﹸﻃ‬،‫ﺶ‬  ‫ﺘﻘﹶ‬‫ﻧ‬‫ﻼ ﺍ‬ ‫ﻚ ﹶﻓ ﹶ‬  ‫ﻴ‬‫ﻭِﺇ ﹶﺫﺍ ِﺷ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﺘ ﹶﻜ‬‫ﻧ‬‫ﻭﺍ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﺗ ِﻌ‬ ،‫ﻂ‬ ‫ﺨﹶ‬ ِ ‫ﺳ‬ ‫ﻂ‬ ‫ﻌ ﹶ‬ ‫ﻳ‬ ‫ْﹶﱂ‬ ‫ﰲ‬ ِ ‫ ِﺇ ﹾﻥ ﹶﻛﺎ ﹶﻥ‬،‫ﻩ‬ ‫ﻣﺎ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺮ ﹲﺓ ﹶﻗ‬ ‫ﺒ‬‫ﻐ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭﹾﺃ‬ ‫ﺚ‬ ‫ﻌ ﹶ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺮ ِﺳ ِﻪ ِﻓ‬ ‫ﻨﺎ ِﻥ ﹶﻓ‬‫ِﺑ ِﻌ‬ ‫ ِﺇ ﹶﺫﺍ‬،‫ﺴﺎﹶﻗ ِﺔ‬  ‫ﺴﺎﹶﻗ ِﺔ ﹶﻛﺎ ﹶﻥ ِﻓﻲ ﺍﻟ‬  ‫ﻭِﺇ ﹾﻥ ﹶﻛﺎ ﹶﻥ ِﻓﻲ ﺍﻟ‬ ،‫ﺳ ِﺔ‬ ‫ﺮﺍ‬ ‫ﳊ‬ ِ ‫ﺳ ِﺔ ﹶﻛﺎ ﹶﻥ ِﻓﻲ ﹾﺍ‬ ‫ﺮﺍ‬ ‫ﳊ‬ ِ ‫ﹾﺍ‬ «‫ﻊ‬ ‫ﺸ ﱠﻔ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻊ ْﹶﱂ‬ ‫ﺷ ﱠﻔ‬ ‫ﻭِﺇ ﹾﻥ‬ ،‫ﻪ‬ ‫ﺆ ﹶﺫ ﹾﻥ ﹶﻟ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺘ ﹾﺄ ﹶﺫ ﹶﻥ ْﹶﱂ‬‫ﹾﺍﺳ‬ Sabda beliau dalam hadits di atas serta yang semisal: “…lebih baik daripada dunia seisinya…” “Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian; jika diberi senang dan jika tidak diberi marah. Celaka dan kembali sakitlah ia, jika tertusuk duri tidak bisa lagi dicabut. Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya di jalan Alloh, kusut masai rambutnya, berdebu kakinya; jika ia sedang dalam berjaga, ia berjaga, jika ia di garis belakang ia berada di garis belakang, jika ia minta izin tidak diberi izin, jika ia minta tolong tidak diberi pertolongan.” Ada yang mengatakan makna hadits ini apa adanya. Dan dari Abdulloh bin ‘Amru RA ia berkata: “Ribath satu hari di jalan Alloh lebih baik daripada dunia seisinya. Dan tempat cemeti salah seorang dari kalian di jannah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR. Bukhori dan yang lain) Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah: Ketaatan ini lebih baik daripada dunia seisinya kalau manusia itu memilikinya dan menginfakkanya di dalam ketaatan kepada Alloh Ta‘âlâ.” Disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh di dalam Syarah Muslim. 22 Keutamaan BerjagaBerjaga-jaga (H (Hirosah) Di Di Jalan Alloh Ta‘ala Ta‘ala “Sungguh aku bermalam dalam keadaan berjaga dan ketakutan di jalan Alloh ‘azza wa jalla lebih aku sukai daripada bersedekah dengan seratus hewan tunggangan.” (HR. Ibnul Mubarok melalui jalur Ibnu Lahi‘ah, hadits ini adalah mauquf.) Ketahuilah, bahwa berjaga di jalan Alloh ta‘ala termasuk taqorrub terbesar dan ketaatan tertinggi. Ini juga merupakan Ali ‘Imron: 200 34 35 salah satu ribath paling utama. Dan siapa saja menjaga kaum muslimin pada daerah yang dikhawatirkan akan diserang musuh, maka ia adalah orang yang beribath (muroobith). Namun tidak sebaliknya; orang yang berjaga di jalan Alloh itu mendapatkan pahala orang yang beribath. Dan masih banyak keutamaan baginya, di antaranya adalah: neraka tidak akan menyentuh mata yang berjaga di jalan Alloh selama-lamanya. Dari Ibnu ‘Abbas RA ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‫ﺱ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺗ‬‫ﺑﺎ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ،‫ﷲ‬ ِ ‫ﻴ ِﺔ ﺍ‬‫ﺸ‬  ‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺖ ِﻣ‬  ‫ﺑ ﹶﻜ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻨﺎ‬‫ﻤﺎ ﺍﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻨﺎ ِﻥ ﹶﻻ‬‫ﻴ‬‫ﻋ‬ » «‫ﷲ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ِﻓ‬ “Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Alloh, dan mata yang bermalam karena berjaga di jalan Alloh.” (HR. Tirmizi dan ia berkata, hadits hasan) Dan dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Rosululloh “Ada tiga mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang tercungkil di jalan Alloh, mata yang berjaga di jalan Alloh dan mata yang menangis karena takut kepada Alloh.” (HR. Al-Hakim dari jalur ‘Umar bin Rosyid Al-Yamani, ia berkata: Isnadnya shohih) Keutamaan Luka Di Jalan Alloh Ta‘ala Dari Abu Huroiroh RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, -‫ﻴِﻠ ِﻪ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻢ ِﻓ‬ ‫ﻳ ﹾﻜﹶﻠ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻢ ِﺑ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ُ ‫ﻭﺍ‬ -‫ﷲ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻢ ِﻓ‬ ‫ﻳ ﹾﻜﹶﻠ‬ ‫ﻮ ٍﻡ‬ ‫ﻣ ﹾﻜﹸﻠ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣﺎ ِﻣ‬ » «‫ﻚ‬ ٍ ‫ﺴ‬  ‫ﺢ ِﻣ‬ ‫ﻳ‬‫ﺢ ِﺭ‬ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻭﺍﻟ‬ ‫ﺪ ِﻡ‬ ‫ﻮ ﹸﻥ ﺍﻟ‬ ‫ﻮ ﹸﻥ ﹶﻟ‬ ‫ ﹶﺍﻟﱠﻠ‬،‫ﻣﻰ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻭ ﹶﻛ ﹾﻠ‬ ‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﻴﺎ‬‫ﻡ ﹾﺍﻟ ِﻘ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺟﺎ َﺀ‬ ‫ِﺇ ﱠﻻ‬ “Tidaklah seorang terluka di jalan Alloh –dan Alloh lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya— kecuali ia datang pada hari kiamat sedangkan lukanya mengucur; warnanya warna darah, aromanya aroma misik.” Dalam redaksi lain, “Setiap luka yang dialami seorang muslim di jalan Alloh, pada hari kiamat kelak ia seperti apa adanya ketika ia tertikam; ia masih mengalirkan darah, warnanya warna darah dan aromanya aroma misik.” (HR. Bukhori dan Muslim, lafadznya adalah milik Muslim) Sedangkan kata Al-Kalmu (dengan kaf fathah dan lam sukun) artinya adalah luka. Sedangkan Al-‘Arfu (dengan ‘ain fathah dan ro’ sukun) artinya adalah aroma. Sedangkan sabda beliau: “Yats‘abu…” (dengan tsa’ sukun, ‘ain fathah dan diakhiri dengan ba’) maknanya adalah mengucur sebagaimana terdapat dalam riwayat lain. Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata di dalam Syarh Al-‘Umdah, “Datangnya luka pada hari kiamat bersamaan dengan mengalirnya darah mengandung dua hal: Pertama, sebagai saksi atas lukanya. Kedua, menampakkan kemuliaannya kepada para penduduk mahsyar yang menyaksikan aroma misik dan kesaksian terhadap kebaikan di sana.” Dan dari Mu‘adz bin Jabal RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa berperang di jalan Alloh sebentar saja, maka sungguh wajib baginya surga. Dan siapa yang memohon 36 37 dengan jujur agar terbunuh kepada Alloh kemudian ia mati atau benar- benar terbunuh, maka sesungguhnya bagi dia pahala syahid. Dan barangsiapa yang terluka di jalan Alloh atau terkena satu marabahaya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan yang paling deras, warnanya adalah warna za‘farôn dan aromanya adalah aroma misik. Dan barangsiapa yang keluar bisul di jalan Alloh, maka ia akan mengenakan cincin para syuhada.” (HR. Abu Dawud dengan isnad hasan, lafadznya milik dia, Tirmizi: ia berkata, hadits hasan shohih, An-Nasa’i serta Ibnu Majah) Dan perlu diketahui, orang yang terluka di jalan Alloh tidaklah merasakan sakit dari luka tersebut sebagaimana dirasakan oleh orang lain. Ada hadits shohih menyebutkan bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh tidak merasakan sakit ketika mati, kecuali hanya seperti gigitan semut. Jika begini keadaan orang yang terbunuh, maka bagaimana orang yang tidak sampai terbunuh, yaitu hanya terluka. Ini adalah fakta, tidak akan ditentang kecuali oleh orang yang belum membuktikannya. Cerita tentang orang yang terluka tidak terlalu sulit diterima akal. Amarah dan emosi jika telah mencapai klimaks dan mendominasi perasaan seseorang, ia akan merasakan kedahsyatan, kekuatan, kesabaran dan ketabahan dalam dirinya, tak terlalu peduli terhadap hal tidak mengenakkan, dan tidak merasakan sakit, padahal sebelum itu ia merasakannya. Bahkan, tak jarang dua orang yang berkelahi sampai kepala salah satunya pecah-pecah, yang terasa menyakitkan serta luka yang parah namun ia tidak merasakannya kecuali setelah selesai dari kejadian yang baru saja ia alami; masing-masing membela diri dan tidak ingin mati. Lantas, bagaimana dengan orang yang kemarahannya meledak karena Alloh, mengorbankan nyawanya untuk Alloh dan berharap memperoleh kesyahidan di sisi-Nya; tentu ia 38 merasa apa yang menimpa dirinya justeru anugerah Alloh. Dengan kekuatan cahaya imannya, ia menyaksikan apa yang Alloh sediakan bagi para syuhada dan orang-orang yang terluka di jalan-Nya berupa keutamaan besar, sebagai sebuah sesuatu yang nyata, bukan sekedar ilmu (baca: wacana). Keutamaan Melempar di Jalan Alloh Ta‘ala dan Dosa Orang yang pernah Mempelajarinya Mempelajarinya Lalu Meninggalkannya Perlu diketahui, belajar melempar –dengan niat berjihad di jalan Alloh ta‘ala—, mengajarkan dan berlomba-lomba dalam melempar merupakan perkara yang dianjurkan dan didorong oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Melempar memiliki banyak keutamaan. Di antaranya, Alloh Ta‘ala memerintahkan melempar sebagai persiapan jihad di jalan Alloh ta‘ala. Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﻮ ٍﺓ‬ ‫ﻦ ﹸﻗ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻌﺘ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ‬‫ﺳ‬ ‫ﺎﺍ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻭﺍ ﹶﻟﻬ‬‫ﻭﹶﺃ ِﻋﺪ‬ “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…”23 Berdasarkan ayat mulia ini sebagian ulama berpendapat bahwa melempar wajib hukumnya, sebab maksud kekuatan di sini adalah melempar sebagaimana disebutkan dalam hadits Shohih Muslim. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir RA ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda—saat itu beliau di atas mimbar—, 23 Al-Anfal: 60 39 ‫ﻮ ٍﺓ‬ ‫ﻦ ﹸﻗ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻌﺘ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ‬‫ﺳ‬ ‫ﺎﺍ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻭﺍ ﹶﻟﻬ‬‫ﻭﹶﺃ ِﻋﺪ‬ “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…” …ketahuilah, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar.” Hadits lain adalah riwayat Bukhori dan lainnya dari Salamah bin Al-Akwa‘ RA ia berkata: Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati satu kaum yang sedang berlomba memanah, beliaupun bersabda, “Melemparlah hai Bani Isma‘il, sesungguhnya ayah kalian adalah jago melempar. Melemparlah, aku bersama Bani Fulan.” Maka salah satu kelompok tadi menahan tangannya. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak melempar?” kata mereka, “Wahai Rosululloh, bagaimana kami melempar sementara engkau bersama mereka?” maka beliaupun bersabda, “Melemparlah, sekarang aku bersama kalian semua.” 40 PEMBAHASAN KEDUA: KEDUA: RINGKASAN FASEFASE-FASE DISYARI’ATKANNYA JIHAD 41 ‫ﻮﺍ‬‫ﻢ ﹸﻇِﻠﻤ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ﺗﻠﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑﹶﺄ‬‫ﻳﻘﹶﺎ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﹸﺃ ِﺫ ﹶﻥ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬ Tadinya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diperin-tahkan untuk memberi maaf dan memberi ampun serta menahan diri dari orang-orang musyrik selama beliau berada di Mekkah. Sebagaimana firman Alloh ta‘ala: ‫ﻣ ِﺮ ِﻩ‬ ‫ﻪ ِﺑﹶﺄ‬ ‫ﻲ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻳ ﹾﺄِﺗ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﺻ ﹶﻔﺤ‬  ‫ﺍ‬‫ﻋﻔﹸﻮﺍ ﻭ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬ “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya.”24 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﹼﺃﻳ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻭﺍ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬‫ﻐ ِﻔﺮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻨ‬‫ﻦ ﺀَﺍﻣ‬ ‫ﱢﻟﱠﻠﺬِﻳ‬ “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi lantaran mereka dizalimi.”27 Ini merupakan ayat paling pertama turun mengenai perang, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Abbas RA.28 Tahapan selanjutnya, Alloh ta‘ala mewajibkan mereka memerangi orang yang memerangi, tidak boleh memerangi orang yang tidak memerangi. Fase ini seperti yang Alloh firman-kan: ‫ﻢ‬ ‫ﷲ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ُ ‫ﻌ ﹶﻞ ﺍ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﻓﻤ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﺍ ِﺇﹶﻟ‬‫ﻭﹶﺃﻟﹾ ﹶﻘﻮ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ ﹸﻛ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻢ ﹶﻓﹶﻠ‬ ‫ﺰﻟﹸﻮ ﹸﻛ‬ ‫ﺘ‬‫ﻋ‬ ‫ﹶﻓِﺈ ِﻥ ﺍ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻮﺍ ﹶﻗ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻳ ﹾﺄ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻮ ﹸﻛ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻳ ﹾﺄ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﺃﹶﻥ‬‫ﻳﺮِﻳﺪ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺧﺮِﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﺀَﺍ‬‫ﺠﺪ‬ ِ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ﹰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻳ ﹾﻠﻘﹸﻮﺍ ِﺇﹶﻟ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ِﺰﻟﹸﻮ ﹸﻛ‬‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹶﻓِﺈﻥ ﱠﻟ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻴﻬ‬‫ﺭ ِﻛﺴ‬ ‫ﻨ ِﺔ ﹸﺃ‬‫ﺘ‬‫ﻭﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ ِﻔ‬‫ﺭﺩ‬ ‫ﺎ‬‫ﹸﻛ ﱠﻞ ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭ ﹶﻻِﺋ ﹸﻜ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺘﻤ‬‫ﺚ ﹶﺛ ِﻘ ﹾﻔ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ‬‫ﺍ ﹾﻗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺨﺬﹸﻭ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳ ِﺪ‬‫ﻳ ﹸﻜﻔﱡﻮﺍ ﹶﺃ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﺍﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣﺒِﻴﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﺳ ﹾﻠﻄﹶﺎﻧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ ﹸﻜ‬‫ﻌ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺟ‬ “Katakanlah kepada orang-orang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-otang yang tiada takut akan harihari Alloh.”25 Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya ‘Abdurrohman bin ‘Auf dan bebepara shahabat datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika masih di Mekkah, mereka mengatakan, “Wahai Rosululloh, dulu ketika kami masih musyrik, kami merasa mulia; mengapa setelah kami beriman justeru kita menjadi hina?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian berperang…”26 “Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Alloh tidak memberimu jalan bagimu (untuk memerangi dan menawan) mereka.”hingga firmanNya: “Karena itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan tidak mau mengemukakan perdamaian kepadamu serta menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kalian temui mereka. Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan Setelah itu, Alloh mengizinkan kaum muslimin untuk berjihad, namun tidak sampai mewajibkannya. Ditandai dengan turunnya firman Alloh ‘azza wa jalla: 24 Al-Baqoroh: 109 Al-Jâtsiyah: 14 26 Dikeluarkan An-Nasa’i (VI/3) dan Al-Hakim (II/ 307), beliau menshohihkannya. 25 42 27 28 Al-Hajj: 39 Dikeluarkan An-Nasa’i (VI/ 2) 43 kepadamu alasan yang nyata (untuk membunuh dan menawan) mereka.”29 yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.” 31 Sedangkan tahapan terakhir adalah fase memerangi kaum musyrikin secara total; baik yang memerangi kita atau yang tidak, dan menyerang negeri mereka sampai tidak ada fitnah (kesyirikan) dan agama semuanya menjadi milik Alloh. Pada fase inilah hukum jihad berakhir, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia pada fase ini. Mengenai fase ini pulalah Ayat Pedang turun, yaitu firman Alloh ta‘ala: Dalam hadits shohih disebutkan, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺚ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺸ ِﺮ ِﻛ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻡ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﻧ‬‫ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﺍ‬ ‫ﺻ ٍﺪ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﹸﻛ ﱠﻞ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺍ ﹶﻟ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺍ ﹾﻗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬‫ﻫﻢ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺧ ﹸﺬ‬ ‫ﻭ‬ “Berperanglah dengan nama Alloh di jalan Alloh, perangilah orang yang kufur kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulûl, jangan berlaku khianat, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua…”32 “Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian…”30 Imam Ibnul Qoyyim meringkaskan fase-fase di atas dalam kata-kata beliau: “Tadinya diharamkan, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan kepada orang yang memulai memerangi terlebih dahulu, kemudian diperintahkan terhadap semua kaum musyrikin…”33 ‫ﻮﺍ‬ ‫ﻐﱡﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻭﺍ‬ ‫ﺰ‬ ‫ ﹸﺃ ﹾﻏ‬،‫ﷲ‬ ِ ‫ﺮ ﺑِﺎ‬ ‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮﺍ‬ ‫ﷲ ﹶﻗﺎِﺗﹸﻠ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﷲ ِﻓ‬ ِ ‫ﺳ ِﻢ ﺍ‬ ‫ﻭﺍ ِﺑﺎ‬ ‫ﺰ‬ ‫»ﹸﺃ ﹾﻏ‬ «‫ﺍ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻭِﻟ‬ ‫ﻮﺍ‬ ‫ﺘﹸﻠ‬‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮﺍ‬ ‫ﻤﱢﺜﹸﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻭﺍ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ Dan firman Alloh ta‘ala: ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻌﻄﹸﻮﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺩِﻳ‬‫ﻳﺪِﻳﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎ ِﻏﺮ‬‫ﻢ ﺻ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺪ‬ ‫ﻦ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﻋ‬‫ﺰ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﺍﹾﻟ‬ “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang 31 At-Taubah: 29 Dikeluarkan oleh Muslim (1731), Abu Dawud (2612), Tirmizi (1617) dan Ibnu Majah (2858) dari hadits Buroidah. 33 Zâdul Ma‘âd (II/ 58) 32 29 30 An-Nisa’: 90-91 At-Taubah: 5 44 45 Jihad ada dua macam: Jihad Tholab (Ofensive) dan jihad Difâ‘ (Defensive) Jihad tholab, yaitu mencari dan memerangi musuh di negerinya. Sedangkan jihad difâ‘ yaitu memerangi musuh yang menyerang kaum mukminin terlebih dahulu.34 PEMBAHASAN KETIGA: DalilDalil-dalil Jihad Jihad Tholab: JENIS JIHAD, SYARATSYARAT- Firman Alloh Ta‘ala: SYARATNYA ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺚ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺸ ِﺮ ِﻛ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻡ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﻧ‬‫ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﺍ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻭﹶﺃﻗﹶﺎﻣ‬ ‫ﺍ‬‫ﺑﻮ‬‫ﺎ‬‫ﺻ ٍﺪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺗ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﹸﻛ ﱠﻞ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺍ ﹶﻟ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻭﺍ ﹾﻗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺧ ﹸﺬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ‬‫ﺭ ِﺣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﷲ ﹶﻏ ﹸﻔ‬ َ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻴﹶﻠ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﺍ‬‫ﺨﱡﻠﻮ‬  ‫ﺰﻛﹶﺎﺓﹶ ﹶﻓ‬ ‫ﺍ ﺍﻟ‬‫ﺗﻮ‬‫ﻭﺀَﺍ‬ ‫ﻼ ﹶﺓ‬ ‫ﺼﹶ‬  ‫ﺍﻟ‬ DAN PERSIAPAN (I’DÂD) KE ARAH SANA “…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, maka lepaskanlah me-reka. Sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”35 Alloh Ta‘ala juga berfirman: 34 Lihat Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah milik Ibnu Taimiyah, tahqîq Al-Faqi, cetakan Dârul Makrifah hal. 309. 35 At-Taubah: 5 46 47 ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻌﻄﹸﻮﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺩِﻳ‬‫ﻳﺪِﻳﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎ ِﻏﺮ‬‫ﻢ ﺻ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺪ‬ ‫ﻦ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﻋ‬‫ﺰ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﺍﹾﻟ‬ menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Jika mereka melaksanakannya, terlindungilah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka kepada Alloh ta‘ala.”37 Dalam hadits Buroidah riwayat Muslim disebutkan: Bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang komandan pasukan atau sariyah, beliau memberi wasiat khusus kepadanya agar bertakwa kepada Alloh, dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda, “Berperanglah dengan nama Alloh, perangilah siapa saja yang kafir kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulul, jangan mengkhianati janji, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua. Dan jika kamu berjumpa dengan orang kafir, ajaklah mereka kepada tiga hal:…dst.” (Al-Hadits) “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”36 Di sini, Alloh yang Mahabenar memerintahkan memerangi, mengintai dan mengepung mereka. Ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat muhkam yang turun di akhir-akhir dan tidak termanshukh. Di atas fase inilah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berjalan, demikian juga dengan para shahabat yang menyertai beliau dan orang-orang sepeninggalnya, sampai Alloh ta‘ala taklukkan belahan bumi bagian timur dan barat bagi mereka. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‫ﺪﺍ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻭﹶﺃ ﱠﻥ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻪ ِﺇ ﱠﻻ ﺍ‬ ‫ﻭﺍ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﻻ ِﺇﹶﻟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﺘﻰ‬‫ﺣ‬ ‫ﺱ‬  ‫ﻨﺎ‬‫ﺕ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹸﺃﹶﻗﺎِﺗ ﹶﻞ ﺍﻟ‬  ‫ﺮ‬ ‫»ﹸﺃ ِﻣ‬ ‫ﻨﻲ‬‫ﻮﺍ ِﻣ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻮﺍ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻌﹸﻠ‬ ‫ﺰ ﹶﻛﺎ ﹶﺓ ﹶﻓِﺈ ﹶﺫﺍ ﹶﻓ‬ ‫ﺗﻮﺍ ﺍﻟ‬‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻼ ﹶﺓ‬ ‫ﺼﹶ‬  ‫ﻤﻮﺍ ﺍﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﻳ ِﻘ‬‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ «‫ﻌﺎﹶﻟﻰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻰ ﺍ‬ ‫ﻋﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺑ‬‫ﺴﺎ‬  ‫ ِﺣ‬‫ﻼ ِﻡ ﻭ‬ ‫ﺳ ﹶ‬ ‫ﻖ ﹾﺍ ِﻹ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻻ ِﺑ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﺍﹶﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻣﺎ َﺀ‬ ‫ِﺩ‬ Ini adalah nash-nash yang jelas dan gamblang mengenai keberangkatan dalam memerangi musuh dan merencanakan penyerbuan ke negeri mereka. Inilah yang disebut jihad tholabi. Adapun jihad difâ‘î, dalilnya adalah: Firman Alloh ta‘ala : ‫ﺎﺭ‬‫ﺩﺑ‬ ‫ﻢ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮﻟﱡﻮ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺣﻔﹰﺎ ﹶﻓ ﹶ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻢ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬ ‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍﹶﻟﻘِﻴ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ “Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan musuh dalam keadaan perang maka janganlah kalian lari ke belakang.”38 “Aku diperintahkan agar memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, 37 36 38 At-Taubah: 29 48 Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar. Al-Anfal: 15 49 ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺂ ِﺇ ﱠﻻ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮ‬‫ﺎِﺗﻨ‬‫ﺪ ِﺑﺌﹶﺎﻳ‬ ‫ﺤ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ Dan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﷲ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﻓِﻲ‬ “Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang yang memerangi kalian.” 39 Dan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻯ‬‫ﺘﺪ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ ﺍ‬‫ﻴ ِﻪ ِﺑ ِﻤﹾﺜ ِﻞ ﻣ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺘﺪ‬‫ﻋ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻯ‬‫ﺘﺪ‬‫ﻋ‬ ‫ﻤ ِﻦ ﺍ‬ ‫ﹶﻓ‬ “Maka barangsiapa memusuhi kalian, lawanlah dengan permusuhan yang sama seperti ia memusuhi kalian.”40 Perang di sini adalah melawan serangan musuh yang menyerang terlebih dahulu. “Tidaklah menentang ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.”42 Siapa yang dengan “gegabah” mentakwil-takwilkan jihad tholab yang dilakukan para Salafus Sholeh dengan mengatakan itu adalah perang melawan kezaliman, maka ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh. Kalau ia sudah mengerti nash-nash syar‘i atau menguasai ilmunya, berarti ia telah berpaling darinya dan sembarangan dalam mentakwilkannya. Jihad Adalah Fardhu Kifayah Dan Berubah Menjadi Fardhu ‘Ain Dalam Dalam Beberapa Kondisi Ibnu Qudamah berkata: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun jihad defensif, adalah perlawanan terbesar terhadap serangan ke arah kehormatan dan agama, hukumnya adalah wajib berdasarkan ijmak. Ketika kaum agresor datang untuk merusak agama dan dunia, maka tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak lagi disyaratkan satu syaratpun di sana, namun melawan semampunya.”41 Dari keterangan tadi, Anda bisa melihat bahwa siapa yang mengingkari kalau jihad ofensive itu termasuk bagian dari ajaran Islam –seperti orang-orang yang mengatakan Islam tidak berperang selain membela diri dan menolak kezaliman saja— berarti ia mendustakan ayat-ayat dan hadits-hadits seperti di atas. Sementara Alloh ta‘ala berfirman: “Makna fardhu kifayah adalah jika tidak cukup dilaksanakan sebagian orang maka semuanya berdosa, dan jika sudah cukup dilaksanakan sebagian orang maka gugurlah dosa dari yang lain. Perintah itu pertama kali ditujukan kepada semua kaum muslimin sebagai sebuah kewajiban yang fardhu ‘ain, kemudian di akhir-akhirnya terjadi perbedaan; sebab fardhu kifayah itu gugur dengan dilakukannya oleh sebagian orang, sementara fardhu ain tidak gugur dari siapapun meski yang lain telah melaksanakan.” Ibnu Qudamah berkata juga mengenai dalil jihad hukumnya fardhu kifayah: “Dalil kami adalah firman Alloh ta‘ala: 39 Al-Baqoroh: 190 Al-Baqoroh: 194 41 Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah milik Ibnu Taimiyyah hal. 309. 40 50 42 Al-‘Ankabût: 47 51 ‫ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺮ ِﺭ ﻭ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻭﻟِﻰ ﺍﻟ‬ ‫ﺮ ﹸﺃ‬ ‫ﻴ‬‫ﲔ ﹶﻏ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ِﻣ‬‫ﺘﻮِﻯ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﹶﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ِﻬ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻦ ِﺑﹶﺄ‬ ‫ﺎ ِﻫﺪِﻳ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﷲ ﺍﹾﻟ‬ ُ ‫ﻀ ﹶﻞ ﺍ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ِﻬ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﷲ ِﺑﹶﺄ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺎ ِﻫﺪِﻳ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﷲ ﺍﹾﻟ‬ ُ ‫ﻀ ﹶﻞ ﺍ‬  ‫ﻭﹶﻓ‬ ‫ﻰ‬‫ﺴﻨ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﷲ ﺍﹾﻟ‬ ُ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻼ‬  ‫ﻭ ﹸﻛ‬ ‫ﺟ ﹰﺔ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻈِﻴﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ “Tidaklah sama antara orang yang duduk dari kalangan kaum mukminin yang tidak beruzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan nyawa mereka. Alloh lebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan dengan pahala yang baik...”43 Dikarenakan juga, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengutus sariyah-sariyah sementara beliau serta segenap shahabatnya tidak berangkat.” Ibnu Qudamah berkata lagi: “Dan jihad berubah menjadi fardhu ‘ain dalam tiga kondisi: Pertama: ketika dua pasukan bertemu dan dua barisan berhadapan, maka haram bagi siapa yang turut serta di dalamnya untuk melarikan diri, kondisi seperti itu jihad hukumnya fardhu ain, berdasarkan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﻌﱠﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﺍ ﱠﻟ‬‫ﷲ ﹶﻛِﺜﲑ‬ َ ‫ﻭﺍ ﺍ‬‫ﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﺮ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﺒﺘ‬‫ﻢ ِﻓﺌﹶ ﹰﺔ ﻓﹶﺎﹾﺛ‬ ‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻟﻘِﻴ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﳛ ﹸﻜ‬ ‫ﺐ ِﺭ‬  ‫ﻫ‬ ‫ﺗ ﹾﺬ‬‫ﻭ‬ ‫ﺸﻠﹸﻮﺍ‬  ‫ﺘ ﹾﻔ‬‫ﻮﺍ ﹶﻓ‬‫ﺯﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮﹶﻟﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻮﺍ ﺍ‬‫ﻭﹶﺃﻃِﻴﻌ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺗ ﹾﻔِﻠﺤ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺎِﺑﺮِﻳ‬‫ﻊ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻭﺍ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬‫ﺻِﺒﺮ‬  ‫ﺍ‬‫ﻭ‬ Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berperang tidak berdosa ketika sudah ada orang lain yang berjihad. “Hai orang-orang beriman, jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah dan ingatlah Alloh banyak-banyak agar kalian beruntung. Dan taatilah Alloh dan rosul-Nya dan jangan saling bertengkar sehingga kalian gagal dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.”45 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﻢ ﻃﹶﺂِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺮﹶﻗ ٍﺔ ﻣِﻨ‬ ‫ﺮ ﻣِﻦ ﹸﻛ ﱢﻞ ِﻓ‬ ‫ﻧ ﹶﻔ‬ ‫ﻮ ﹶﻻ‬ ‫ﻭﺍ ﻛﹶﺂﹶﻓ ﹰﺔ ﻓﹶﹶﻠ‬‫ﻨ ِﻔﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮ ﹶﻥ ِﻟ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺎﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻳ ِﻦ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪ‬‫ﺘ ﹶﻔ ﱠﻘﻬ‬‫ﻴ‬‫ِﻟ‬ Dan firman-Nya: “Tidak seharusnya kaum mukminin semuanya pergi berperang, mengapa tidak ada dari masing-masing golongan satu kelompok yang pergi untuk memahami (agama)…”44 43 44 An-Nisa’: 95 At-Taubah: 122 ‫ﺎﺭ‬‫ﺩﺑ‬ ‫ﻢ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮﻟﱡﻮ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺣﻔﹰﺎ ﹶﻓ ﹶ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍﹶﻟﻘِﻴ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﺂ َﺀ‬‫ﺪ ﺑ‬ ‫ﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ِﻓﹶﺌ ٍﺔ ﹶﻓ ﹶﻘ‬‫ﻴﺰ‬‫ﺤ‬  ‫ﺘ‬‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ ٍﻝ ﹶﺃ‬‫ﺮﻓﹰﺎ ِﻟ ِﻘﺘ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺘ‬‫ﻣ‬ ‫ﻩ ِﺇ ﱠﻻ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺑ‬‫ﺩ‬ ‫ﻣِﺌ ٍﺬ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻮﱢﻟ ِﻬ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ِ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬ ٍ ‫ﻀ‬  ‫ﻐ‬ ‫ِﺑ‬ ... ‫ﷲ‬ 45 52 Al-Anfal: 45-46 53 “Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang. Dan barangsiapa pada hari itu mundur ke belakang menghindari mereka, kecuali orang yang berbelok untuk taktik perang atau bergabung dengan kelompok lain, maka ia kembali dengan kemarahan dari Alloh.”46 Kedua: Apabila orang-orang kafir datang menduduki sebuah negeri, maka fardhu ain bagi penduduknya memerangi dan mengusir mereka. Ketiga: Jika imam memerintahkan untuk perang kepada satu kaum (istinfar), maka wajib bagi mereka untuk berangkat perang bersamanya. Berdasarkan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ ِﺇﻟﹶﻰ‬ ‫ﺘ‬‫ﷲ ﺍﺛﱠﺎﹶﻗ ﹾﻠ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭﺍ ﻓِﻲ‬‫ﻧ ِﻔﺮ‬‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﻗِﻴ ﹶﻞ ﻟﹶ ﹸﻜ‬ ‫ﺎﹶﻟ ﹸﻜ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ...‫ﺮ ِﺓ‬ ‫ﻦ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ‬ ‫ﺎ ِﻣ‬‫ﻧﻴ‬‫ﺪ‬ ‫ﺎ ِﺓ ﺍﻟ‬‫ﺤﻴ‬  ‫ﻢ ﺑِﺎﹾﻟ‬‫ﺭﺿِﻴﺘ‬ ‫ﺽ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ﹾﺍ َﻷ‬ “Hai orang-orang beriman, mengapakah jika dikatakan kepada kalian, berperanglah di jalan Alloh, kalian merasa berat (condong) kepada dunia? …satu ayat dan setelahnya.” (At-Taubah: 38) Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, ‫ﻭﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻧ ِﻔ‬‫ﻢ ﹶﻓﺎ‬ ‫ﺗ‬‫ﺮ‬ ‫ﻨ ِﻔ‬‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻭِﺇ ﹶﺫﺍ ﺍ‬ Dalil kondisi kedua adalah sama dengan dalil kondisi pertama, [“…jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah…”] dan [“…jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang…”] sebab datangnya orang-orang kafir di sebuah negeri kaum muslimin sama kedudukannya dengan bertemunya dua pasukan dan dua barisan. SyaratSyarat-Syarat Wajibnya Jihad Syarat-syarat wajibnya disebutkan Ibnu Qudamah: jihad adalah Ketujuh syarat ini ditambah dengan izin dari kedua orang tua dan orang yang berhutang kepada orang yang dihutangi. Hal ini disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah.49 Inilah sembilan syarat wajibnya jihad yang fardhu kifayah. Jika kondisi berubah menjadi fardhu ain, sebagian dari ketujuh syarat ini tidak berlaku dan hanya tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, lelaki –tidak menurut mereka yang menganggap ini bukan termasuk syarat—dan selamat dari dhoror (bahaya yang menjadi udzur). Tidak disyaratkan adanya biaya jika musuh sudah menduduki negeri-negeri, atau –menurut salah satu pendapat— jika jarak musuh tidak sampai jarak qoshor. Apakah Maksud I‘da I‘dad Imani (Persiapan (Persiapan Iman) Iman) ? 46 48 Al-Anfal: 15-16 Al-Mughnî was Syarhul Kabîr (X/ 365/ 366) 54 yang “Syarat wajib jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya serta adanya biaya.”48 “Jika kalian diminta berperang, berperanglah.”47 47 seperti 49 Al-Mughnî was Syarhul Kabîr (X hal. 366) Juz X hal. 381-384. 55 Maksudnya, ada dua jenis I‘dad: I‘dad materi dan I‘dad iman. Tidak boleh mencukupkan diri pada salah satu bentuk I‘dad saja. Adapun I‘dad materi: adalah yang diisyaratkan dalam ayat surat Al-Anfal, Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻭ ﺍ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ِﺑ ِﻪ‬‫ﺮ ِﻫﺒ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻴ ِﻞ‬‫ﺨ‬  ‫ﻁ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﻣِﻦ‬‫ﻮ ٍﺓ ﻭ‬ ‫ﻦ ﹸﻗ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻌﺘ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ‬‫ﺳ‬ ‫ﺎﺍ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻭﺍ ﹶﻟﻬ‬‫ﻭﹶﺃ ِﻋﺪ‬ ‫ﻨ ِﻔﻘﹸﻮﺍ ﻣِﻦ‬‫ﺗ‬‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ﻮ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﻭِﻧ ِﻬ‬‫ﻦ ﻣِﻦ ﺩ‬ ‫ﺧﺮِﻳ‬ ‫ﻭﺀَﺍ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺗ ﹾﻈﹶﻠﻤ‬‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﺘ‬‫ﻭﺃﹶﻧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻑ ِﺇﹶﻟ‬  ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻰ ٍﺀ ﻓِﻲ‬ ‫ﺷ‬ “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu dan dari kuda yang tertambat, supaya kalian menggentarkan musuh Alloh dan musuh kalian serta musuh selain mereka; kalian tidak mengetahui mereka namun kami mengetahuinya. Dan apa saja yang kalian infakkan di jalan Alloh…dst.” (Al-Anfal: 60). Berdasarkan riwayat ini, maka tidak boleh membawa makna ayat ini kepada arti I‘dad imani dan tarbiyah. Adapun I‘dad materi sendiri mencakup persiapan pasukan, senjata dan harta. Ayat di atas menyebutkan senjata dan harta secara jelas, dan menyebutkan personal secara tersirat. Sudah ada perintah untuk menyiapkan personal dalam ayat-ayat lain, seperti firman Alloh ta‘ala: ‫ﺎ ِﻝ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ِﻘﺘ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺎ ﺍﻟ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺂﹶﺃ‬‫ﻳ‬ “Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang…”50 Dan firman Alloh ta‘ala: ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻰ ﺍ‬‫ﻋﺴ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺴ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ ِﺇ ﱠﻻ‬‫ﺗ ﹶﻜﱠﻠﻒ‬ ‫ﷲ ﹶﻻ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎِﺗ ﹾﻞ ِﻓ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻴ ﹰ‬‫ﻨ ِﻜ‬‫ﺗ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻭﹶﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﺑ ﹾﺄﺳ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺱ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬  ‫ﺑ ﹾﺄ‬ ‫ﻒ‬  ‫ﻳ ﹸﻜ‬ ‫ﹶﺃ ﹾﻥ‬ Terdapat sebuah riwayat marfu‘ yang menafsirkan makna ayat ini, riwayat tersebut menutup setiap tempat untuk mentakwiltakwilkan atau membawanya kepada makna selain yang dimaksud sebenarnya: Muslim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: “Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membaca ayat ini kemudian bersabda, “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir..”51 Dan seperti firman Alloh ta‘ala: ‫ﻲ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻮ ﹶﺓ ﺍﻟ‬ ‫ﹶﺃ ﹶﻻ ِﺇ ﱠﻥ ﹾﺍﻟ ﹸﻘ‬ “Ketahuilah, kekuatan itu adalah mengucapkannya sebanyak tiga kali. melempar.” ...‫ﷲ‬ ِ ‫ﺭ ﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﺼ‬‫ﺍ ﹶﺃ‬‫ﻧﻮ‬‫ﻮ‬ ‫ﺍ ﹸﻛ‬‫ﻨﻮ‬‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﻬﺎ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬‫ﺎ ﺃﻳ‬‫ﻳ‬ Beliau 50 51 56 Al-Anfal: 65 An-Nisa’: 84 57 “Hai orang-orang beriman, jadilah kalian penolong-penolong (pasukan-pasukan) Alloh...”52 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Jika jihad tidak bisa dilakukan karena masih dalam kondisi lemah, maka wajib melakukan persiapan (I‘dad) dengan menyiapkan kekuatan dan tali kuda yang tertambat.”53 Alloh menjadikan i‘dad ini sebagai bukti kejujuran iman dan pembeda antara orang yang benar-benar beriman dengan orang munafik, seperti di dalam firman-Nya: ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺒ ﹶﻄ‬‫ﻢ ﹶﻓﹶﺜ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎﹶﺛ‬‫ﷲ ﺍﻧِﺒﻌ‬ ُ ‫ﻩ ﺍ‬ ‫ﻭﹶﻟﻜِﻦ ﹶﻛ ِﺮ‬ ‫ﺪ ﹰﺓ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﺍ ﹶﻟ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ﺝ َﻷ‬  ‫ﻭ‬‫ﺨﺮ‬  ‫ﻭﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﺍﺩ‬‫ﻮ ﹶﺃﺭ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻻ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺎﺯ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻴﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻮ‬ ‫{ ﹶﻟ‬46} ‫ﻦ‬ ‫ﻊ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻭﻗِﻴ ﹶﻞ ﺍ ﹾﻗ‬ ... ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﻟ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﻓِﻴ ﹸﻜ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ ِﻔ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻮ‬‫ﺒﻐ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻼﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻮﺍ ِﺧ ﹶ‬‫ﺿﻌ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻭ َﻷ‬ ‫ﺎ ﹰﻻ‬‫ﺧﺒ‬ “Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk. Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegasgegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”54 Di sini, Alloh SWT menerangkan, mempersiapkan kekuatan yang tidak dilakukan oleh kaum munafikin merupakan sebuah penghinaan yang bersifat qodariyah55 dari Alloh ta‘ala. Di sisi lain ini adalah rahmat dari Alloh ta‘ala terhadap kaum mukminin yang jujur, sebab kalau toh kaum munafikin ikut berangkat bersama mereka, maka hanya akan mendatangkan kerusakan dan fitnah, terlebih lagi sebagian kaum mukminin ada yang berprasangka baik terhadap mereka, “…sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka”, sehingga dari sini akan muncul kerusakan besar. Ini kaitannya dengan I‘dad materi. Adapun I‘dad Imani (baca: tarbiyah), juga satu hal yang tidak bisa diabaikan. I‘dad ini sangat bercabang seiring dengan banyaknya cabang keimanan, baik yang lahir maupun yang batin, secara ilmu maupun amal. I‘dad ini memiliki pengaruh langsung terhadap datangnya kemenangan maupun kekalahan yang bersifat qodariyah. Yang penting, di sana ada beberapa hal yang harus diingat-ingat terkait dengan I‘dad, yaitu: - Ayat I‘dad yang tercantum dalam surat Al-Anfal (ayat 60) tidak boleh dibawa kepada makna tarbiyah. Sebab sudah ada riwayat secara marfu‘ yang menafsirkannya, yang mematahkan pentakwilan maknanya. Tarbiyah memiliki dalil lain. Yang lebih buruk lagi adalah yang membatasi I‘dad hanya kepada I‘dad iman saja tanpa memperdulikan I‘dad materi, sikap seperti ini telah mendustakan ayat-ayat Alloh. - Jangan sampai tarbiyah menjadi perantara untuk duduk dari jihad. Khususnya jihad yang hukumnya fardhu ‘ain. Inilah beberapa hal-hal terpenting yang harus diingat-ingat kiatannya dengan tarbiyah. 52 An-Nisâ: 84 Majmu‘ Fatawa juz 28 hal. 259. 54 At-Taubah: 46-47 53 55 Yaitu yang datang secara kauniyah disebabkan ulah perbuatan kaum munafikin itu sendiri, penerj. 58 59 PERTAMA: IMAROH ADALAH WAJIB a. Berdasarkan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﻣ ِﺮ ﻣِﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻭﻟِﻰ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻮ ﹶﻝ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﻟ‬‫ﻭﹶﺃﻃِﻴﻌ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻮﺍ ﺍ‬‫ﻮﺍ ﹶﺃﻃِﻴﻌ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, rosul dan pemimpin dari kalian.”56 PEMBAHASAN b. Firman Alloh ta‘ala: ‫ﻮ ِﻝ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﻩ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬ ‫ﻭ‬‫ﺭﺩ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻮﺍ ِﺑ ِﻪ‬‫ﻑ ﹶﺃﺫﹶﺍﻋ‬ ِ ‫ﻮ‬ ‫ﺨ‬  ‫ﻭ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ ِﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ُ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺂ َﺀ‬‫ِﺇﺫﹶﺍ ﺟ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻪ ِﻣ‬ ‫ﻧ‬‫ﻨِﺒﻄﹸﻮ‬‫ﺴﺘ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻌِﻠ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻣ ِﺮ ِﻣﻨ‬ ‫ﻭﻟِﻰ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻭِﺇﻟﹶﻰ ﹸﺃ‬ KEEMPAT: TENTANG IMÂROH “Dan apabila datang berita kepadamu tentang keamanan atau ketakutan, mereka menyebarluaskannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rosul dan ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (rosul dan ulil Amri).”57 (KEPEMIMPINAN) Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa manusia harus memiliki seorang pemimpin yang mengatur berbagai masalah dan mengurusi kepentingan-kepentingan mereka. Ini ditunjukkan oleh isyarat nash. c. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 56 57 60 An-Nisa’: 59 An-Nisa’: 83 61 ‫ﺲ‬  ‫ﻨ ﹾﻔ‬‫ﻭﺍﻟ‬ ،‫ﻲ‬ ‫ﺰﺍِﻧ‬ ‫ﺐ ﺍﻟ‬  ‫ﻴ‬‫ ﹶﺍﻟﱠﺜ‬:‫ﺙ‬ ٍ ‫ﻼ‬ ‫ﺪﻯ ﹶﺛ ﹶ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺴِﻠ ٍﻢ ِﺇ ﱠﻻ ِﺑِﺈ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻣ ِﺮﻱ ٍﺀ‬ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺤ ﱡﻞ‬ ِ ‫ﻳ‬ ‫ﹶﻻ‬ ‫ﻋ ِﺔ‬ ‫ﻤﺎ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻕ ِﻟ ﹾﻠ‬  ‫ﻤ ﹶﻔﺎ ِﺭ‬ ‫ﻳِﻨ ِﻪ ﹶﺍﹾﻟ‬‫ﺘﺎ ِﺭ ِﻙ ِﻟ ِﺪ‬‫ﻭﺍﻟ‬ ،‫ﺲ‬ ِ ‫ﻨ ﹾﻔ‬‫ِﺑﺎﻟ‬ Ath-Thobroni meriwayatkan dengan lafadz ini dari hadits Ibnu Mas‘ud dengan isnad shohih. Hadits-hadits ini saling menguatkan satu sama lain. Abu Dawud dan Al-Munziri tidak berkomentar tehadap hadits Abu Sa‘id dan Abu Huroiroh, kedua hadits tersebut rijalnya adalah shohih selain Ali bin Bahr, ia adalah tsiqoh. Sedangkan lafadz hadits Abu Huroiroh: “Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.”58 Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”59 Di dalamnya terdapat dalil bahwa setiap tiga orang atau lebih mesti mengangkat salah satu sebagai pemimpin. Sebab langkah ini untuk menjamin keselamatan dari perselisihan yang mengarah kepada kerusakan. Dengan tidak adanya pemimpin, masing-masing akan bersikukuh dengan pendapatnya dan melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, sehingga mereka semua akan hancur. Sedangkan jika ada pemimpin, perselisihan akan terminimalisir dan kalimat akan bersatu. Dan jika hal ini disyari‘atkan bagi tiga orang di salah satu jengkal bumi atau ketika mereka bepergian, maka disyari‘atkannya hal itu pada jumlah yang lebih banyak yang tinggal di desa-desa dan berbagai penjuru daerah serta mereka membutuhkannya untuk menyelesaikan kezaliman dan pertikaian, tentu lebih layak disyariatkan. Asy-Syaukani di dalam Nailul Author (Bab wajibnya mengangkat Qodhi dan kepemimpinan dan lain-lain) – setelah menyebutkan hadits-hadits ini—berkata: “Yang senada dengan hadits Abdulloh bin ‘Amru dan Hadits Abu Sa‘id juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan isnad shohih dari hadits ‘Umar bin Khothob dengan lafadz: “Jika kalian bertiga dalam perjalanan, maka angkatlah salah seorang sebagai amir.” “Rosululloh Shollallohu memerintahkannya.” ‘Alaihi wa Sallam telah Al-Bazzar juga meriwayatkan dengan isnad shohih dari hadits Abdulloh bin ‘Umar secara marfu‘ dengan lafadz: “Jika mereka bertiga dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” Di sini terdapat dalil bagi mereka yang mengatakan wajibnya kaum muslimin mengangkat pemimpin, wali dan penguasa.”60 d. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: 58 HR. Ahmad dari Abdulloh bin Amru. HR. Abu Dawud dari Abu Sa‘id, ia juga meriwayatkan yang semisal dari hadits Abu Huroiroh. 59 62 60 Nailul Author juz IX hal. 157. 63 “Perlu diketahui bahwa memimpin urusan manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan urusan agama dan dunia tidak akan tegak selain dengan itu. Sebab tidak akan sempurna maslahat Bani Adam kecuali dengan bersatu, karena masing-masing saling membutuhkan; ketika mereka bersatu maka harus ada pimpinannya. Demikian juga pelaksanaan hudud, tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan… dst” –sampai dengan perkataan beliau: “…maka wajib membentuk kepemimpinan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama dan pendekatan diri kepada Alloh, sebab mendekatkan diri kepada Alloh di dalam urusan tersebut dengan mentaati-Nya dan mentaati rosulNya termasuk taqorrub paling utama. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika ada tiga orang dalam perjalanan, maka hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”61 Hanya, kebanyakan urusan manusia justeru menjadi rusak dalam urusan yang satu ini lantaran mereka mencari jabatan dan harta dengan kepemimpinan. Diriwayatkan dari Ka‘b bin Malik dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al-Musnad dari ‘Abdulloh bin ‘Amru bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan pada tempat gembalaan domba itu lebih merusak agama seseorang daripada (merusaknya) ambisi seseorang memperoleh harta dan kedudukan.”62 “Tidak halal bagi tiga orang yang berada dalam satu jengkal tanah kecuali mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” Di sini, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan mengangkat salah satu sebagai pemimpin di dalam perkumpulan beranggota sedikit dalam bepergian, sebagai peringatan akan pentingnya hal itu pada semua bentuk perkumpulan. Juga karena Alloh ta‘ala mewajibkan amar makruf nahi munkar dan hal itu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali dengan kekuatan serta kepemimpinan. Demikian juga dengan semua yang Alloh wajibkan, mulai dari jihad, penegakkan keadilan dan pelaksanaan hajji, sholat jum‘at, sholat ‘Id dan menolong orang yang terzalimi. Nabi SAW mengkhabarkan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kepemimpinan itu akan merusak agamanya seperti –atau bahkan lebih— daripada kerusakan yang ditimbulkan dua ekor serigala lapar terhadap gembalaan domba.” 63 e. Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dalam Jaami‘ Bayaanil Ilmi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul Qosim Kholaf bin Al-Qosim, telah menceritakan kepada kami Abu Sholih Ahmad bin ‘Abdur Rohman di Mesir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin AlHasan Al-Bukhori, telah menceritakan kepada kami AlHusain bin Al-Hasan bin Widhoh Al-Bukhori As-Simsar, 62 61 HR. Abu Dawud dari hadits Abu Sa‘id dan Abu Huroiroh. 64 63 Tirmizi berkata: Hadits hasan shohih. Majmu‘ Fatawa juz 28 hal 390-392. 65 telah bercerita kepada kami Hafsh bin Dawud Ar-Rib‘I, ia berkata telah menceritakan kepada kami Kholid, ia berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, ia berkata telah menceritakan kepada kami Sofwan bin Rustum Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Abdur Rohman bin Maisaroh dari Abdur Rohman dari Tamim Ad-Dari ia berkata: “Manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan pada zaman ‘Umar bin Al-Khothob, maka beliau berkata: “Wahai orang-orang arab, bumi..bumi.., sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama‘ah, tidak ada jama‘ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Ketahuilah, barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya atas dasar kefakihan, maka itu lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya tidak di atas kefakihan, maka hal itu adalah kerusakan bagi orang yang mengikutinya.” 64 Dalam perkataan ‘Umar RA ini terdapat isyarat akan kewajiban berjama‘ah, kepemimpinan dan ketaatan untuk tegakknya syari‘at Islam. KEDUA: PENGANGKATAN PEMIMPIN DIPERCAYAKAN KEPADA IMAM YANG MAS’UL, JIKA ADA Berdasarkan hadits Buroidah RA: “Bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang komandan pada satu pasukan atau sariyah, beliau mewasiatkan khusus kepadanya untuk bertakwa kepada Alloh, dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya.”65 Ibnu Qudamah berkata, “Dan urusan jihad diserahkan kepada Imam serta ijtihadnya…dst,” –hingga perkataannya— “…ia berhak mengangkat amir pada setiap sektor yang akan mengatur urusan perang dan jihad, yang ia angkat adalah orang yang berpandangan jeli, memiliki ketajaman akal, keberanian dan analisa yang baik dalam urusan perang dan membuat tipudaya terhadap musuh. Pada dirinya juga harus ada sifat amanah, berkelakuan baik dan memberikan nasehat kepada kaum muslimin.”66 65 Jâmi‘ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Juz I hal 63. Dan diriwayatkan oleh Ad-Dârimi dengan sanad dho‘if. HR. Muslim di dalam Kitâbul Jihâd was Sair dari Shohihnya, Bab Ta’mîrul Imâm Al-Umarô’ ‘Alal Bu‘ûts. 66 Al-Mughnî, Kitâbul Jihâd. 66 67 64 KETIGA: tampuk kepemimpinan masih dipegang oleh pemimpin yang pertama. Semuanya harus mendengar dan taat kepadanya. PEMIMPIN BOLEH MENGANGKAT BEBERAPA PIMPINAN SEKALIGUS SECARA BERURUTAN Pada saat meletusnya peristiwa Al-Jisr melawan kaum Persi yang cukup populer, pemegang kepemimpinan saat itu: Abu ‘Ubaid bin Mas‘ud Ats-Tsaqofî, menyampaikan wasiat kepemimpinan pasukan kepada delapan orang secara berurutan jika ia terbunuh. Akhirnya ia terbunuh berikut tujuh orang pemimpin dari Bani Tsaqif sepeninggalnya, sampai kepemimpinan itu berujung kepada yang kedelapan, yaitu Al-Mutsanna bin Haritsah. Saat itu, Daumah, isteri dari Abu ‘Ubaid melihat dalam mimpinya kejadian yang sama persis dengan apa yang telah terjadi.67 Berdasarkan yang dilakukan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada perang Mu’tah (ketika beliau mengutus para komandan) di mana beliau mengurutkan tiga orang untuk memimpin. (HR. Bukhori-Muslim dari Anas). Jika yang pertama terbunuh, diganti yang kedua dan begitu seterusnya. Bukhori meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pada perang Mu’tah. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja‘far sebagai gantinya. Jika Ja‘far terbunuh, maka gantinya Abdulloh bin Rowahah.” Kejadian ini pecah pada tahun 13 H di era kekhalifahan Umar bin Khothob RA. Ini adalah jumlah pengangkatan pemimpin ketika ia telah meninggal paling banyak dalam sejarah yang pernah diketahui. Hal itu terjadi pada masa kekhalifahan ‘Umar dan kala itu banyak sekali terdapat para shahabat tanpa ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Ibnu Umar berkata, “Aku ikut dalam perang itu. Kami mencari Ja‘far bin Abi Tholib, lalu kami menemukannya pada mereka yang terbunuh, pada jasadnya kami temukan sembilan puluh sekian luka akibat tikaman dan panahan.” Kepemimpinan tidak diberikan kepada yang berikutnya kecuali yang pertama meninggal atau terkena musibah sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Yang kedua juga tidak berhak menentang pemimpin pertama dalam urusan tugas dengan alasan karena dia memiliki kemungkinan menjadi pemimpin atau alasan semisal, selama 68 67 Al-Bidâyah wan Nihâyah Ibnu Katsir juz VII hal. 28. Lihat juga Al-Ahkâm AsSulthôniyyah milik Abu Ya‘la hal. 26. 69 KEEMPAT: “Hendaknya mereka mengangkat pemimpin…” dari hadits: KAPANKAH HAK MENGANGKAT PEMIMPIN DIBERIKAN KEPADA RAKYAT? Sudah kami jelaskan di muka mengenai wajibnya sebuah kepemimpinan dan mengangkat pemimpin adalah hak imam kaum muslimin atau orang yang seposisi dengannya misalnya seorang pemimpin yang menjadi penanggung jawab dari satu tugas pekerjaan tertentu. Hanya saja, dalam beberapa kondisi masyarakat kaum muslimin dituntut memilih pemimpin sendiri, misalnya: - - Jika amir yang ditunjuk oleh Imam pusat tidak ada (karena terbunuh, tertawan atau kondisi lemah) sementara kaum muslimin tidak memungkinkan untuk merujuk kepada Imam pusat, dan mereka tidak memiliki Amir lain yang ditunjuk secara berurut, atau kalaulah ada mereka semua sudah meninggal. Apabila kaum muslimin, atau salah satu kelompok dari mereka, mengadakan sebuah operasi yang bersifat jama‘i (kolektif) –khususnya tadrib (latihan) dan jihad—sementara kaum muslimin tidak memiliki Imam, sebagaimana kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang. Maka kaum muslimin boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin, dan tidak sah bagi mereka bekerja tanpa adanya pemimpin. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan hak mengangkat pemimpin kepada kaum muslimin dalam sabdanya: 70 “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melimpahkan kuasa mengangkat amir kepada satu kelompok ini di mana mereka berkumpul di atas perkara yang bersifat kolektif antar mereka yang dalam hal ini adalah bepergian. Penjelasan hadits ini sudah kita terangkan sebelumnya. Bisa juga menggunakan dalil tindakan para shahabat – Ridhwanulloh ‘alaihim– pada perang Mu’tah setelah terbunuhnya tiga orang yang diangkat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemimpin. Maka setelah itu mereka sepakat untuk mengangkat Kholid bin Walid sebagai pemimpin, sedangkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam merestui langkah yang mereka ambil ini. Bukhori meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah, beliau bersabda: “Panji diambil oleh Zaid, maka ia terkena (terbunuh). Kemudian diambil oleh Ja‘far, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil Abdulloh bin Rowahah, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Kholid bin Al-Walid tanpa ia sendiri menginginkan untuk menjadi sebagai pemimpin, maka Allohpun menangkan dia. Dan betapa senang mereka jika mereka menyertai kita.” 71 Anas berkata, “Dan sungguh menderaikan air mata.”68 kedua mata beliau Dan di dalam riwayat Bukhori dari Anas disebutkan: “Sampai panji diambil oleh salah satu pedang Alloh, hingga Alloh menangkan ia.”69 Ibnu Hajar berkata –tentang peristiwa setelah Ibnu Rowahah terbunuh—: “Kemudian bendera diambil oleh Tsabit bin Aqrom Al-Anshori, ia berkata, “Tunjuklah seseorang (sebagai pemimpin).” Maka mereka mengatakan, “Kalau begitu anda saja.” Ia berkata, “Tidak.” Akhirnya mereka sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan. Thobaroni meriwayatkan dari hadits Abul Yasar Al- Anshori ia berkata, “Aku memberikan panji kepada Tsabit bin Aqrom ketika Abdulloh bin Rowahah terkena. Kemudian Tsabit memberikannya kepada Kholid bin Walid dan berkata kepadanya, “Engkau lebih tahu tentang perang daripada saya.”70 Ibnu Hajar berkata lagi, “Di dalam kisah di atas terdapat dalil bolehnya mengangkat pemimpin dalam perang tanpa harus melalui proses pengangkatan –atau tanpa keputusan dari Imam—. Ath-Thohawi berkata, “Inilah prinsip yang diambil, yaitu kaum muslimin harus mengangkat seseorang sebagai pemimpin jika imam tidak ada, ia menggantikan posisinya sampai ia datang.”71 Ibnu Hajar juga berkata, “Ibnul Munayyar berkata: ‘Dari hadits bab ini diambil kesimpulan bahwa siapa ditunjuk sebagai pemimpin sementara tidak memungkinkan untuk merujuk kepada imam, maka kepemimpinan saat itu sah secara syar‘i dan mentaatinya wajib hukumnya.” Demikian yang ia katakan, dan tidak samar lagi bahwa posisinya adalah ketika orang-orang yang hadir di situ menyepakatinya.” 72 Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata: “Jika imam tidak ada, jihad tidak ditunda. Sebab maslahat jihad akan hilang jika ia ditunda. Dan jika diperoleh ghanimah, maka pemiliknya bisa langsung membagikannya sebagaimana ketentuan syar‘i. Al-Qodhi berkata: “Diakhirkan jatah imam sampai imam datang, sebagai bentuk hati-hati kalau-kalau ada jalan keluar.” Jika imam mengirim satu pasukan dan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir kemudian ia terbunuh atau meniggal, maka pasukan boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin sebagaimana yang dilakukan para shahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada pasukan perang Mu’tah ketika para pemimpin yang ditunjuk oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terbunuh. Mereka kemudian mengangkat Kholid bin Walid sebagai pemimpin. Berita itu kemudian sampai kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau merestui langkah dan inisiatif mereka, bahkan menggelari Kholid dengan sebutan: Saifulloh (pedang Alloh).”73 68 Hadits 3063. Hadits 4362. 70 Fathul Bari juz VII hal. 512. 71 Fathul Bari juz VII hal. 513. 69 72 73 72 Fathul Bârî juz VI hal. 180. Al-Mughnî was Syarhul Kabîr juz X hal. 374. 73 Perlu diketahui, pada asalnya hubungan kaum muslimin dengan orang kafir adalah hubungan perang, darah dan harta mereka halal, tidak ada damai dan perlindungan. Ini berdasarkan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻨ ﹸﺔ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟ ِﻔ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻮ ﹸﻛ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﺚ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺧ ِﺮﺟ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺘﻤ‬‫ﺚ ﹶﺛ ِﻘ ﹾﻔ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ‬‫ﺍ ﹾﻗ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ ﻓِﻴ ِﻪ‬ ‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ ﹸﻛ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺍ ِﻡ‬‫ﺤﺮ‬  ‫ﺠ ِﺪ ﺍﹾﻟ‬ ِ‫ﺴ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻢ ﻋِﻨ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺗﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺘ ِﻞ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﺪ ِﻣ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﹶﺃ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺍ ُﺀ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓ ِﺮﻳ‬‫ﺟﺰ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻢ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ‬‫ﻢ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﻠﹸﻮ ﹸﻛ‬‫ﹶﻓﺈِﻥ ﻗﹶﺎﺗ‬ Pasal Kedua “Dan bunuhlah mereka di manapun kalian jumpai mereka dan usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu, dan fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan. Dan janganlah kalian perangi mereka di Masjidil Haram sampai mereka memerangi kalian. Maka jika mereka memerangi, perangilah mereka, demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”74 PEMBAHASAN PERTAMA: HUKUM ASAL DARAH ORANG KAFIR Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻌﻄﹸﻮﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺩِﻳ‬‫ﻳﺪِﻳﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎ ِﻏﺮ‬‫ﻢ ﺻ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺪ‬ ‫ﻦ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﻋ‬‫ﺰ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﺍﹾﻟ‬ “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang 74 74 Al-Baqoroh: 191 75 yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”75 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﺍ ﹶﻥ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺍ ﹶﻓ ﹶ‬‫ﻬﻮ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﻦ ِﻟﱠﻠ ِﻪ ﹶﻓِﺈ ِﻥ ﺍ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﺪ‬‫ﻭ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ‬‫ﺘ‬‫ﺗﻜﹸﻮ ﹶﻥ ِﻓ‬ ‫ﻰ ﹶﻻ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ‬ ‫ِﺇ ﱠﻻ‬ “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang dzalim.”76 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﷲ‬ َ ‫ﺍ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ ﺍ‬‫ﻬﻮ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﷲ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺍ‬ ِ ‫ﻪ‬ ‫ﻦ ﹸﻛﱡﻠ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﺪ‬‫ﻭ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ‬‫ﺘ‬‫ﺗﻜﹸﻮ ﹶﻥ ِﻓ‬‫ﻰ ﹶﻻ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﲑ‬ُ ‫ﺼ‬ ِ ‫ﺑ‬ ‫ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ِﺑﻤ‬ “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”77 Jadi, negara-negara di dunia ini, hubungannya dengan kaum muslimin adalah: Kalau bukan negara harbi (yang berstatus perang), maka negeri ‘ahd (yang terikat dengan perjanjian damai). 75 At-Taubah: 29 Al-Baqoroh: 193 77 Al-Anfal: 39 76 76 Pada asalnya, keadaan negara kafir adalah negara harbi, boleh diperangi dengan segala bentuk jenis peperangan sebagaimana yang dilakukan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dahulu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah mencegat kafilah-kafilah dagang negara-negara harbi seperti ketika belaiu mencegat kafilah kaum Quraisy. Beliau juga pernah mengambil penduduk negara-negara kafir sebagai gadai ketika itu diperlukan, sebagaimana ketika beliau mengambil seorang lelaki Bani ‘Uqoil sebagai tawanan sebagai balasan dari dua shahabat beliau yang ditawan oleh Tsaqîf. Pernah juga beliau melakukan ightiyal (membunuh diamdiam, penerj.) sebagaimana ketika beliau memerintahkan untuk membunuh Kholid Al-Hudzali, Ka‘b Al-Asyrof dan Salamah bin Abil Huqoiq. Dua orang terakhir ini tadinya adalah orang kafir mu‘ahad (terikat perjanjian) lalu mereka melanggar janjinya sehingga beliau mengizinkan untuk membunuh keduanya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga menfatwakan bolehnya membunuh wanita, orang tua dan anak-anak di negeri kafir harbi jika mereka tidak terpisahkan dan tidak mungkin bisa mencapai pasukan perang musuh kecuali dengan terbunuhnya mereka, sebagaimana yang beliau lakukan ketika menyerang Tho’if, beliau membombardir mereka dengan munjanik. Jadi, terhadap negara-negara kafir harbi tidaklah ada batasan-batasan syar‘i yang melarang menimpakan marabahaya kepada mereka kecuali dengan sengaja menyerang wanita, anak-anak dan orang tua dan jika mereka terpisah atau tidak membantu perang dan permusuhan, dan ketika kita tidak merasa perlu untuk menimpakan hukuman 77 setimpal kepada orang kafir, sebagaimana yang akan kita terangkan nanti. Disebutkan dalam riwayat Bukhori dari Ibnu ‘Abbas RA mengenai klasifikasi orang-orang musyrik di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengatakan, Jadi, negara terbagi menjadi dua, harbi –dan inilah hubungan asli terhadapnya– dan negara mu‘ahad. “Orang-orang musyrik berada dalam dua posisi di hadapan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum mukminin: Orang musyrik harbi: beliau memerangi mereka dan mereka memerangi beliau; dan kaum musyrik yang mengikat perjanjian damai: beliau tidak memerangi mereka dan mereka tidak memerangi beliau.” Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma‘ad (III/ 159) menyebutkan tentang keadaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pasca hijroh: “Kemudian, status orang-orang kafir di hadapan Nabi SAW setelah perintah jihad ada tiga macam: - Orang kafir yang terikat perjanjian damai dan gencatan senjata. - Orang kafir harbi. Dan, - Orang kafir dzimmi.” Perang melawan orang kafir telah diwajibkan di mana saja mereka berada, di mana saja mereka dijumpai dan dapat dilumpuhkan sampai mereka mengucapkan La ilaaha illalloooh (baca: masuk Islam). Di dalam Shohih Muslim disebutkan dari Jabir ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaaha illallooh. Jika mereka sudah mengatakannya, darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan haknya dan perhitungannya kepada Alloh.” Kemudian beliau membaca: Inamaa Anta Mudzakkir.. Lasta ‘Alaihim bimushothir.” (Tidak lain dirimu adalah pemberi peringatan, kamu tidak berkuasa atas mereka.)78 Sedangkan negara-negara yang kita bahas di atas tidak mungkin kita nilai berstatus dzimmi, kalau tidak harbi atau mu‘ahad. Sebab dzimmah (dzimmi) adalah hak perorangan yang tinggal di negeri Islam. Sedangkan orang kafir, jika bukan berstatus mu‘ahad atau dzimmi, maka pada asalnya dia adalah harbi; halal darahnya, hartanya dan kehormatannya (artinya boleh ditawan dan dijadikan budak, penerj.). Syaikhul Islam berkata di dalam Al-Fatawa (32/ 343), “Dan jika seseorang berstatus kafir harbi, maka peperangan yang ia lancarkan (terhadap kaum muslimin) menjadikan halal untuk membunuhnya, mengambil hartanya dan menjadikannya sebagai budak.” Perjanjian damai adalah satu cabang dari hukum asal ini, yang datang belakangan dan dilakukan sesuai dengan nilai maslahatnya bagi din (agama). Oleh karena itu, Asy-Syafi‘i berkata dalam Al-Umm: “Karena asal kewajiban adalah memerangi orang-orang musyrik sampai mereka beriman atau memberikan jizyah.” 78 78 Al-Ghosyiyah: 21-22 79 Di bagian lain beliau mengatakan: “Memerangi mereka sampai masuk Islam adalah kewajiban jika memang memiliki kekuatan untuk menaklukkan mereka.” Ibnu Qudamah berkata di dalam Al-Mughni: “Minimal Rosululloh Sollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad sekali dalam setahun, sebab jizyah itu wajib dibayar setiap tahun oleh ahlu dzimmah, jizyah adalah ganti dari bantuan yang diberikan. Demikian juga dengan jihad, ia wajib dilakukan setahun sekali kecuali bagi orang yang berudzur, seperti jika kaum muslimin masih lemah dalam hal jumlah pasukan dan logistik, atau sedang menunggu bantuan yang ditunggu-tunggu, atau jalan menuju musuh terdapat penghalang atau…dst.” Dari sini bisa difahami bahwa pada asalnya hubungan dengan orang kafir adalah senantiasa perang, bukan senantiasa damai. Tiga kondisi dalam hadits inilah yang menjadikan darah kaum muslimin halal, walaupun masih ada perselisihan pendapat di kalangan para fuqoha’ mengenai apakah hadits ini untuk membatasi atau sebagai sebagian contoh saja. Untuk orang non muslim, hukum asalnya tidak haram, tapi sebaliknya: halal. Maka orang kafir halal darahnya, hartanya dan kehormatannya –artinya untuk dijadikan tawanan—. Darah, harta dan kehormatannya serta menimpakan bahaya kepadanya tidaklah haram kecuali bila ada hukum yang muncul belakangan, seperti terjalinnya ikatan janji, adanya jaminan (dzimmah) dan jaminan keamanan. Adapun kaum wanita, anak kecil, orang tua dan orang yang tidak turut menjadi pasukan perang (bukan kelompok militer atau rakyat sipil dalam istilah kita, penerj.) dan bukan orang yang membantu peperangan maka hukum asalnya adalah terlindungi, karena ada nash khusus yang berlaku atas mereka. Sesungguhnya, syari‘at Islam mengharamkan darah kaum muslimin, haram menodai kehormatan mereka, mengambil harta mereka, dan menimpakan marabahaya kepada mereka dengan bentuk apapun, baik secara langsung maupun tidak, kecuali bila didasari dengan tuntutan syar‘i. Berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: ‫ﺲ‬  ‫ﻨ ﹾﻔ‬‫ﻭﺍﻟ‬ ،‫ﻲ‬ ‫ﺰﺍِﻧ‬ ‫ﺐ ﺍﻟ‬  ‫ﻴ‬‫ ﹶﺍﻟﱠﺜ‬:‫ﺙ‬ ٍ ‫ﻼ‬ ‫ﺪﻯ ﹶﺛ ﹶ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺴِﻠ ٍﻢ ِﺇ ﱠﻻ ِﺑِﺈ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻣ ِﺮﻱ ٍﺀ‬ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺤ ﱡﻞ‬ ِ ‫ﻳ‬ ‫ﹶﻻ‬ ‫ﻋ ِﺔ‬ ‫ﻤﺎ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻕ ِﻟ ﹾﻠ‬  ‫ﻤ ﹶﻔﺎ ِﺭ‬ ‫ﻳِﻨ ِﻪ ﹶﺍﹾﻟ‬‫ﺘﺎ ِﺭ ِﻙ ِﻟ ِﺪ‬‫ﻭﺍﻟ‬ ،‫ﺲ‬ ِ ‫ﻨ ﹾﻔ‬‫ِﺑﺎﻟ‬ “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: nyawa dibalas nyawa, orang sudah menikah yang berzina dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama‘ah.” 80 81 Status Amerika dengan kaum muslimin tidak akan keluar dari tiga kondisi, yang masing-masing mesti diterangkan terlebih dahulu sebelum menyimpulkan hukum pada kasuskasus yang muncul belakangan ini. Status pertama: Negeri damai (tidak ada peperangan) dengan kaum muslimin secara umum. Status kedua: Negeri harbi (yang berstatus memerangi) kaum muslimin secara umum. PEMBAHASAN KEDUA: STATUS AMERIKA DI HADAPAN KAUM MUSLIMIN Status ketiga: Negeri yang menyandang dua status sekaligus, artinya ia adalah negara yang memerangi sebagian kaum muslimin dan negara damai dengan kaum muslimin yang lain. Tetapi kemudian, status Amerika sebagai negara damai dengan sebagian kaum muslimin tidak mengeluarkannya dari hukum asal yang akan kita terangkan sebentar lagi. Sebelum saya terangkan tentang status mana yang benar bagi Amerika dari ketiga kondisi tadi, saya mesti terangkan dulu petunjuk pasti mengenai pendapat yang akan saya pilih nanti kaitannya dengan status dari Negara Thoghut ini: Di antara yang tidak diragukan lagi oleh seorang muslim yang berakal serta mentauhidkan Alloh ta‘ala, bahkan tidak akan dibantah oleh orang kafir yang menyimpang sekalipun, bahwa Amerika adalah “Induk kejahatan dan kerusakan”. Sampai-sampai ada penulis Amerika sendiri yang menyebutnya sebagai “Syetan terbesar”. Maka, ditinjau dari perang yang dilancarkan Amerika melawan Alloh, kekufuran mereka terhadap-Nya dan bagaimana mereka menyebarluaskan kekufuran ini, sebenarnya Amerika telah menyandang “cacat yang parah”. Hal itu ditempuh dengan menyebarkan ediologi kufurnya 82 83 secara halus, yaitu dengan menyebarkan kerusakan dan perbuatan-perbuatan amoral di muka bumi, memerangi agama Alloh melalui media informasinya yang jahat yang merupakan sumber lahirnya berbagai kebejatan di seluruh penjuru dunia. Amerika adalah produsen terbesar film-film berbau kufur dan menyimpang. Demikian juga dengan masalah kebobrokan moral, Amerika adalah negara pemilik jumlah terbesar saluran televise yang menayangkan adegan seks serta situs-situs porno di semua media informasi yang ada. Amerika juga merupakan pemilik perusahaan terbesar pengekspor minuman keras dan rokok di seluruh dunia. Di saat yang sama, Amerika memusnahkan hasil-hasil pertanian yang melebihi kuota produksi dengan cara membakar atau menenggelamkannya di lautan demi melindungi stabilitas ekonomi dan harga hasil-hasil pertanian. Padahal, jutaan orang mati kelaparan di India, benua Afrika dan Asia. Sistem keuangan apakah ini, pembaca budiman?! Mengenai penyebaran kekufuran melalui kekerasan dan intervensi militer, maka silahkan bicara sepuasnya mengenai pembunuhan dan pembantaian bangsa-bangsa tanpa alasan kecuali karena ambisi untuk tetap menjadi negara superior, mempertahankan ambisi berkuasa dan memaksakan ediologi dan prinsip-prinsip kufur. Anehnya, Amerika lebih cepat –melebihi tiupan angin— dalam membangun pabrik-pabrik senjata pemusnah masal. Bahkan, Amerika memproduksi sebuah bom yang berfungsi khusus untuk membunuh manusia, bukan makhluk hidup lain. Dan untuk menumpas nilai-nilai peradaban berkembang – syetanpun tidak melakukan tindakan sekeji ini—, Amerika telah bunuh jutaan manusia, sejak bangsaJepang, orang- 84 orang Hindu Merah, rakyat Vietnam..dan seterusnya. Yang jelas memakan korban semua yang termasuk keturunan penganut sekte dan agama bangsa-bangsa ini. Adapun para pemeluk agama dan millah kita –kaum muslimin— yang merupakan sasaran utamanya, maka merupakan ibarat “buruan di tengah burung puyuh”, dan di sinilah “tali pengikat burung unta.” Maka berdasarkan fakta-fakta yang kami sebut berikut, menjadi jelaslah posisi Amerika bagi kaum muslimin: apakah status damai ataukah harbi. Di kepulauan Maluku (Indonesia), ribuan kaum muslimin dibantai oleh orang-orang Kristen meskipun jumlah orang Kristen yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan jumlah kaum muslimin di sana. Namun, semua itu terjadi dengan adanya bantuan Amerika yang diberikan kepada orang-orang Kristen Indonesia! Di Bosnia Herzegovina, puluhan ribu orang terbantai di tangan orang-orang Kristen, juga dengan bantuan Amerika..! kuburan-kuburan masal menjadi saksi bisu akan hal itu... Di Iraq79, lebih dari 1.000.000 anak terbunuh karena serangan udara militer Amerika Serikat terhadap Irak dan akibat embargonya yang dzalim terhadap Irak selama 10 tahun. Belum termasuk anak-anak dan orang tua yang mati lantaran penyakit yang timbul akibat peperangan. Adapun Palestina, bicaralah sepuas Anda… Berapa saudara-saudara kita di Palestina yang mati. Berapa saudarasaudara kita di Libanon yang mati melalui tangan bangsa 79 Ini sebelum perang terakhir yang dilancarkan Amerika terhadap tanah kaum muslimin di Iraq. 85 Yahudi…juga dengan bantuan senjata dan biaya dari Amerika, belum berbicara bantuan pasukan dalam banyak kejadian! Di Somalia, kejahatan Amerika sangat-sangat jelas di masa-masa penanaman sisa-sisa pabrik nuklir yang dilarang diproduksi negara manapun..! Belum pencaplokan terhadap emas mentah dari Somalia. Belum jumlah orang yang mati di tangan militer Amerika, di mana lebih dari 13.000 muslim terbunuh dalam barisan Farh ‘Aidid, ini masih ditambah lagi dengan direnggutnya kehormatan mereka. Di Ethiopia, di Eritrea, di Filiphina, di Kashmir, di Sahara Maroko, di Aljazair, di…di…di… Terakhir yang terjadi di Afghanistan, koalisi lebih dari 100 negara…bergabungnya senjata pemusnah yang tidak pernah terbayang dalam hati manusia manapun, yang menyebabkan kehancuran total sebuah negara “tak bersenjata” yang sebenarnya cukup dihadapi satu negara koalisi saja! Tetapi, semua ini memang perang terhadap Islam dan kaum muslimin secara umum…setiap hari Amerika memberi kabar gembira kepada dunia bahwa mereka masih menguasai kawasan udara Afghanistan, mereka masih memegang kendali kekuasaan di sana! Ini mengingatkan penulis kepada seseorang yang berhasil melukis udara di atas samudera dan lautan, kemudian ia berbangga dengan lukisan itu! Ringkasnya, tidak ada satu permasalahan yang dihadapi Islam dan kaum muslimin melainkan Amerika turut campur dalam –paling tidak—memberi ide pemikiran, memaksakan intervensi militer dan diplomasinya, yang bertujuan menghancurkan Islam dan kaum muslimin. muslimin? Bukan! Bukan! Tak lain adalah “Sang pemelihara kekufuran dan keangkaramurkaan”, yang menjelma sebagai “tuhan” negara-negara di dunia… Maka mulailah si busuk Amerika bersekutu dengan + 37 negara dan 500.000 tentara –atau bahkan lebih— untuk mengusir Irak dari Kuwait. Dan, drama perang dimulai dengan meluluhlantakkan kaum muslimin… Sementara itu –yang menyedihkan—, banyak dari kalangan kaum muslimin “bertasbih” memuji Amerika, kata mereka: “Jika Bush datang, tidurlah di halaman rumah.” Tidak pernah terlintas dalam benak mereka ketika mereka mengulang-ulang kata-kata kufur ini mengenai: kapankah Yahudi mulai menjajah Palestina dan bertengger di atas hati saudara-saudara kita di sana…Kenapa Amerika tidak bersekutu dengan 37 negara untuk mengusir Yahudi dari Palestina..?! Benar-benar, sebuah “keluguan” dan kelalaian dari kaum muslimin di masa sekarang –kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh. Inilah “Si penjagal jelek”, Sharon, aktor pembantaian Shabra dan Shatila. Setali tiga uang, Radovan Karadich dan rekannya yang menjadi dua pahlawan drama pembantaian di Bosnia dan Herzegovina. Apa yang sudah dilakukan Amerika kepada para penjahat yang telah meluluhlantakkan kaum muslimin seluluh-luluhnya itu? Apakah 100 sudah bekerja sama untuk membasmi mereka..? Apakah mereka melancarkan perang sedemikian sengit dengan jargon “Perang melawan Terorisme”? Apakah negara-negara Arab membantu mereka untuk itu? Ataukah mereka cukup menggelar Pengadilan Sandiwara di hadapan negara-negara dunia, Mahkamah Lahey? Contoh memalukan yang bekasnya masih menempel di benak kita adalah kasus Kuwait. Siapakah yang ikut campur menyelesaikan permasalahan ini?! Apakah Islam dan kaum Ceritanya akan lain ketika yang menjadi pemimpin perang dari kaum muslimin dan yang terbunuh orang-orang kafir. 86 87 Seluruh masyarakat kafir menyatakan perang, ini masih dibantu lagi oleh negara-negara Arab..!! Betapa banyak negara yang hari ini berkumpul di Pakistan..? Apa sebenarnya yang ada di balik gudang senjata militer yang sekarang berdiri di negara itu..?! Berapa jumlah rakyat Afghan tak bersenjata dan tidak berdosa itu terbunuh dengan dalih memburu Syaikh Usamah bin Ladin, karena telah membunuh beberapa gelintir orang Bani Ashfar bermata biru (baca: Amerika), beberapa gelintir orang-orang najis yang tidak sebanding jika disejajarkan dengan pembantaian kaum muslimin di bawah komando Amerika..?! Kenapa bangsa Serbia tidak diembargo supaya mereka juga merasakan kelaparan dan kemiskinan sampai si penjahat itu menyerahkan diri sebagaimana bangsa-bangsa muslim diembargo sampai mereka mati kelaparan..?! Kenapa negara Sharon tidak diembargo agar ia merasakan apa yang telah dirasakan bangsa-bangsa Muslim sampai ia menyerahkan diri kepada “Pengadilan Sandiwara” itu..?! Mengapa…?…mengapa…? Apakah setelah ini kami masih wajib bersabar? Apakah kami masih harus mengkontrol emosi kami? Bukankah kita juga manusia, kita juga memiliki perasaan? Belum berbicara mengenai tuntutan iman yang memerintahkan kita mengobarkan semangat perang demi membela agama dan saudara-saudara kita. Mengapakah para pemimpin Muslim di berbagai belahan dunia tidak bergerak melaksanakan perintah Alloh jika mereka masih memiliki hati, pendengaran dan penglihatan? Atau, biarlah kita diam dan cukup menjadi penonton dari orang yang berkhidmad dan membela agama ini! Mengapa agama kita diperangi sejak ratusan tahun lamanya, kemudian kita diperintah untuk tertunduk saja dan tidak menolongnya..?! Apakah setelah kejahatan dan kelakuan Amerika ini kita masih memerlukan dalil yang menetapkan bahwa Amerika adalah negara yang memerangi Islam dan kaum muslimin..?! tidak cukupkan pernyataan thoghut Bush yang mengatakan semua ini adalah Crusade (perang salib)? Apakah kita masih perlu menerima alasan mereka bahwa mereka tidak sengaja melontarkan ucapan itu dan kata-kata perang salib dari Bush keluar spontan karena marah sebagaimana pernyataan seorang “syaikh” yang mengatakan: “Kami mencoba mencari alasan pembenaran buat kalian terhadapan aksi pemboman besar itu, dan berusaha menahan amarah sebuah bangsa (Amerika). tetapi, semua ucapan kalian, bahkan aksi-aksi kalian terus muncul beruntun dengan cara yang sama dan memutus semua praduga. Terburu-buru melakukan balasan adalah pembantaian yang sebenarnya terhadap bangsa Amerika dan cobaan hakiki terhadap nilai dan kedudukannya.” Mengapa agama kita diperangi, di tengah diamnya bangsa muslim Arab yang konon disegani..? Setelah semua kejadian dan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan betapa rendahnya Amerika dan rakyatnya di atas imperium mereka, kedunguan mereka, kesombongan dan keangkuhan mereka, kekotoran dan mesumnya kehidupan hewani mereka –yang sebagian hewan saja mungkin merasa jijik untuk jadi seperti itu—, saya katakan: Apakah kita masih 88 89 Mengapa di saat emosi kita terpancing menggelegak kemudian kita disuruh diam? hingga perlu untuk berkomentar dilontarkan “syaikh” tadi? tentang mereka seperti yang Ringkasnya, pangkal kerusakan akidah dan moral, kezaliman yang kelewat batas dan merajalela di mayoritas masyarakat dunia hari ini adalah Amerika. Ia mengatakan: “Sebuah bangsa yang mayoritas masih percaya adanya tuhan, bangsa yang telah membelanjakan hartanya untuk pembangunan proyek-proyek sosial yang tidak pernah dilakukan bangsa lain di dunia…maka kami meyakini bahwa bangsa Amerika –secara umum—memiliki perilaku baik yang menghantarnya menjadi negara Barat yang paling dekat dengan kita dan paling layak kalau kita suka mereka mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat..!?” Dari sini nampak secara jelas dan gamblang peperangan Amerika menentang Alloh jalla wa ‘ala. Maka tidak ada lagi kelemah lembutan dan sikap ‘rasionalitas’, tidak ada lagi agama dan kemuliaan bagi mereka, tidak ada proyek-proyek sosial atau yang lain seperti klaim sebagian tokoh pergerakan Islam tadi… Kami tidak suka bangsa kafir Amerika selain menunggu Alloh timpakan adzab dari sisi-Nya atau melalui tangantangan kami..!! Maha Suci Engkau Ya Alloh, ini adalah kebohongan besar. Sesungguhnya di antara nikmat Alloh adalah menjadikan pimpinan dari Koalisi negara kufur ini adalah Amerika, si Bani Ashfar, sehingga Alloh pilahkan antara yang jelek dan yang baik. Alloh ta‘ala berfirman: Yang benar, yang tidak perlu diperdebatkan lagi, bahwa ini adalah perang melawan orang-orang beriman secara umum… “Alloh sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang beriman di atas keadaan yang sekarang sedang kalian alami (bercampur dengan orang munafik) sampai Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Alloh sekali-kali tidak akan memperlihatkan perkara yang ghoib kepada kalian, akan tetapi Dia memilih dari rosul-Nya yang Dia kehendaki. Maka berimanlah kepada Alloh dan rosul-Nya, jika kalian beriman dan bertakwa maka, niscaya kalian mendapatkan pahala yang besar.”80 Dan supaya jalan ini menjadi jelas serta tidak samar lagi bagi siapapun yang menghendaki kebenaran dan ingin mengetahui secara yakin bahwa Amerika adalah negara harbi, tanpa diragukan lagi. 80 Ali ‘Imron: 179 90 91 Para ulama ber-ijmak (sepakat) bahwa jika orang-orang kafir menduduki negeri Islam, maka jihad berubah hukumnya menjadi fardhu ‘ain, tidak boleh tidak ikut di dalamnya, setelah sebelumnya hukum jihad adalah fardhu kifayah. Semua fuqoha dari semua madzhab telah menukil adanya ijmak ini. Padahal, musuh telah masuk ke negeri-negeri Islam sejak berabad-abad. PEMBAHASAN KETIGA: HUKUM JIHAD ATAS KAUM MUSLIMIN HARI INI Hanya, kami anggap hukum tersebut semakin tegas pada hari ini, mengingat perang salib ini nanti nampaknya akan berlangsung sengit dan menyeluruh yang itu membutuhkan peran seluruh umat. • Adapun dari kalangan madzhab Hanafi: Al-Kasani berkata di dalam Bada’i‘us Shona’i‘ (VII/ 97): “Adapun jika perang telah menyebar luas yaitu musuh telah menyerang satu negeri, maka jihad menjadi fardhu ain di mana hal itu wajib bagi setiap muslim yang mampu. Berdasarkan firman Alloh ta‘ala: ‫ﻭِﺛﻘﹶﺎ ﹰﻻ‬ ‫ﻭﺍ ِﺧﻔﹶﺎﻓﹰﺎ‬‫ﻧ ِﻔﺮ‬‫ﺍ‬ “Berperanglah baik dalam keadaan ringan atau berat.”81 Dikatakan: Ayat ini turun tentang perang. Juga firman Alloh ta‘ala: ‫ﻮ ِﻝ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺨﱠﻠﻔﹸﻮﺍ‬  ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﺏ ﺃﹶﻥ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﻋﺮ‬ ‫ﻦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬‫ﻮﹶﻟﻬ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻨ ِﺔ‬‫ﻤﺪِﻳ‬ ‫ﻫ ِﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎﻛﹶﺎ ﹶﻥ َﻷ‬‫ﻣ‬ ‫ﺴ ِﻪ‬ ِ ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻦ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻮﺍ ِﺑﺄﹶﻧ ﹸﻔ‬‫ﺮ ﹶﻏﺒ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﷲ‬ ِ‫ﺍ‬ 81 92 At-Taubah: 41 93 “Tidak sepatutnya bagi penduduk Madinah dan arab badui di sekitar mereka untuk tidak ikut dengan Rosululloh, dan tidak patut pula mereka lebih mencintai diri mereka sendiri daripada Rosululloh.”82 Mengingat juga karena kewajiban perang bagi masingmasing orang sudah ada sebelum perang menyebar luas, dan karena gugurnya kewajiban dari sebagian yang lain adalah dengan berangkatnya sebagian orang; maka jika perang telah meluas, perlawanan tidak akan terlaksana kecuali dengan berangkatnya semua orang. Sehingga itu menjadi kewajiban fardhu ‘ain bagi semuanya seperti puasa dan sholat, seorang budak tidak perlu minta izin majikannya, wanita tidak perlu minta izin suaminya, sebab manfaat-manfaat budak dan isteri dalam hal ibadah yang bersifat fardhu ain menjadikannya mendapat pengecualian dari kepemilikan majikan dan suami secara syar‘i. Sebagaimana halnya shoum dan sholat. Demikian juga, boleh bagi seorang anak keluar tanpa izin kedua orang tuanya, sebab hak kedua orang tua tidak ada dalam ibadahibadah yang bersifat fardhu ain, seperti puasa dan sholat. Wallohu Subhanahu wa ta‘ala A‘lam, hanya Alloh Swt saja yang lebih tahu. • Dari madzhab Maliki: Ibnu ‘Abdil Barr berkata di dalam kitabnya Al-Kafi (I/205): “Kewajiban umum yang fardhu ain atas setiap orang yang mampu untuk melawan: berperang dan membawa senjata dari kalangan orang-orang baligh dan merdeka, yaitu ketika musuh menduduki negeri Islam dan memerangi penduduknya. Jika seperti itu kondisinya, maka wajib atas semua penduduk negeri tersebut berperang dan berangkat, baik dalam keadaan ringan atau berat, muda ataupun tua. 82 Tidak boleh seorangpun yang mampu berangkat untuk tidak ikut, baik sedikit atau banyak. Jika penduduk negeri itu tidak mampu mengalahkan musuh mereka, maka bagi orang yang dekat dan bertetangga dengan mereka harus berangkat –baik sedikit atau banyak—sesuai yang dibutuhkan oleh penduduk negeri tersebut sampai mereka tahu bahwa mereka memiliki kekuatan cukup untuk mengalahkan dan melawan musuhnya. Demikian juga bagi orang yang tahu akan ketidak mampuan mereka melawan musuh dan ia tahu bahwa dirinya bisa menyusul serta memberikan bantuan kepada mereka, ia juga harus berangkat menyusul mereka, karena kaum muslimin adalah penolong bagi yang lain. Sampai jika penduduk satu daerah telah mampu mengusir musuh yang menyerang dan menjajah daerah tersebut, barulah kewajiban itu gugur dari yang lain. Kalau saja musuh itu baru mendekati saja ke negeri Islam dan belum sempat masuk, kaum muslimin juga harus berangkat perang.” Masih dari madzhab Maliki: Al-Qurthubi berkata dalam Tafsir-nya (VIII/ 151): “Jika jihad menjadi fardhu ain, yaitu ketika musuh menguasai salah satu negeri muslim atau menduduki pusat negeri tersebut, jika seperti ini keadaanya, maka wajib bagi semua penduduk negeri tersebut untuk berperang dan berangkat melawannya, dalam keadaan ringan atau berat, muda atau tua, sesuai kemampuan masing-masing. Siapa yang memiliki ayah, tidak perlu izin, begitu juga orang yang tidak memiliki ayah. Tidak boleh ada orang yang mampu berangkat untuk tidak berangkat, baik dalam jumlah sedikit atau banyak. Jika penduduk negeri tersebut tidak mampu menaklukkan musuh mereka, maka bagi yang dekat dan bertetangga dengannya harus berangkat sesuai yang dibutuhkan penduduk negeri tersebut, sampai tahu bahwa At-Taubah: 20 94 95 penduduk negeri tersebut sudah memiliki kemampuan menaklukan dan melawan musuhnya. Demikian juga dengan orang yang mengetahui ketidak mampuan mereka melawan musuh dan ia tahu bahwa ia bisa menyusul mereka dan memungkinkan untuk memberikan pertolongan kepada mereka, ia wajib bergabung dengan mereka. Karena kaum muslimin adalah penolong bagi muslim yang lain. Sampai jika penduduk daerah tersebut berhasil mengusir musuh yang menduduki dan menjajah negeri tersebut, barulah kewajiban itu gugur dari yang lain. Kalau saja musuh mendekat ke negeri Islam dan belum sempat memasukinya, mereka juga wajib berangkat berperang melawan musuh tersebut sampai Alloh menangkan agama-Nya, negeri tetap terjaga, perbatasan tetap terlindungi dan musuh dihinakan. Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.” • Dari madzhab Syafi‘i: An-Nawawi berkata di dalam Syarah Shohih Muslim (VIII/ 63): “Pengikut kami mengatakan: jihad hari ini adalah fardhu kifayah kecuali jika orang-orang kafir datang ke negeri kaum muslimin, maka saat itu jihad menjadi fardhu ain. Jika penduduk negeri tersebut belum cukup, wajib bagi yang terdekat untuk melengkapinya sampai cukup.” • Dari madzhab Hanbali: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Al-Fataawaa Al-Kubroo (Al-Ikhtiyaaroot) (IV/ 520): “Adapun jihad difa‘,merupakan perlawan terbesar menolak serangan terhadap kehormatan dan agama, hukumnya adalah wajib berdasarkan ijmak. Jika ada agressor datang, 96 yang merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak lagi disyaratkan satu syarat pun, tetapi melawan sesuai kemampuan. Para ulama madzhab kami dan yang lain, telah menetapkan hal itu.” Beliau juga berkata: “Dan jika musuh memasuki negeri Islam, tidak diragukan lagi bahwasanya wajib mengusirnya bagi yang terdekat kemudian yang terdekat. Sebab negeri-negeri Islam kedudukannya seperti satu negeri. Dan bahwasanya wajib keluar berperang menyongsongnya tanpa izin orang tua atau orang yang berhutang. Nash-nash imam Ahmad sangat jelas menyatakan hal ini.” Saya katakan: Dan musuh sudah masuk ke negeri-negeri kita sejak berabad-abad. Wa la haula wa la quwwata illa billah. • Hukum ini sudah menjadi ijmak. Siapa yang hendak mendapatkan keterangan tambahan, silahkan merujuk Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘Ala `s-Syarhil Kabir (II/ 174) dan Mughniyyul Muhtaj Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (III/ 337) dan Mughniyyul Muhtaj milik Asy-Syarbini (IV/ 209), Al-Umm milik Asy-Syafi‘i (IV/ 170), Asy-Syarhul Kabir milik AdDurdair (II/ 174), Al-Mughni Ibnu Qudamah (X/ 389 dan IX/ 147) dan Masyari‘ul Aswaq ila Mashori‘il ‘Usysyaq milik Ibnu Nuhas (I/ 10), At-Taj wal Iklil (IV/ 539) dan Nihayatul Muhtaj (VIII/ 58). Semua buku-buku fikih dan hadits menyebutkan hukum ini dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. • Semoga Alloh merahmati Syaikh Ahmad Syakir, beliau menulis penjelasan kepada kaum muslimin di zamannya, memotivasi kaum muslimin berjihad melawan Inggris dan Perancis. Hanya saja, kita perlu keterangan yang sama. Syaikh Ahmad Syakir berkata di dalam kitabnya Kalimatu Haq hal 126 dengan judul: 97 PENJELASAN KEPADA UMAT BANGSA MESIR KHUSUSNYA, BANGSA ARAB DAN UMAT ISLAM UMUMNYA: “Sungguh, perkara antara kita dengan musuh kita dari bangsa Inggris dan sekutunya sudah jelas. Jelas juga dengan tentara musuh kita yang mereka “menetek air susu” mereka. Juga dengan budak musuh kita, yang menyerahkan akal dan kepemimpinannya kepada mereka. Kita, yang tumbuh di atas fithroh Islam yang benar, tidak akan pernah ragu dengan apa yang telah terjadi, dan kejadian yang akan lebih dahsyat terjadi! Sungguh, perkaranya sudah jelas, sungguh seluruh rakyat Mesir telah menyatakan pandangan dan keinginannya. AlAzhar telah menyatakan pendapatnya yang benar dalam masalah bersikap dan menolong musuh: Sesungguhnya yang wajib adalah, hendaknya kaum muslimin mengetahui kaidah-kaidah yang benar dalam syari‘at Alloh dalam hukum-hukum perang dan yang berkaitan dengannya, dengan pengetahuan yang jelas, sehingga masing-masing bisa memperkirakan mana yang musuh dan mana yang bukan musuh. Hendaknya ia tahu apa yang diperbolehkan dalam perang dan apa yang tidak boleh, apa yang wajib dan apa yang haram; sehingga amalan seorang muslim dalam jihad menjadi amalan yang benar dan bersih, ikhlas karena wajah Alloh semata. Jika menang, ia menang dalam keadaan muslim, ia memperoleh pahala mujahid di dunia dan akhirat. Dan jika terbunuh, ia terbunuh sebagai syahid. Sesungguhnya Inggris telah menyatakan perang terbuka dan perang pengkhianatan kepada kaum muslimin Mesir, perang kezaliman dan keangkuhan. 98 Di Sudan, mereka mengumumkannya terhadap kaum muslimin sebagai sebuah peperangan yang disamarkan dan terbungkus dengan kedok ingin meraih kemaslahatan Sudan dan rakyatnya, dipermak dengan hukum “hak asasi” yang mereka gunakan untuk menipu bangsa Mesir sebelumnya. Kami telah melihat kelakuan Inggris di terusan Suez dan daerah-daerah sekitarnya, pembunuhan warga sipil yang hidup dalam rasa aman, pengkhianatan terhadap wanita dan anak-anak, permusuhan terhadap pasukan keamanan dan pegawai kehakiman, sampai-sampai tidak ada seorang pun yang selamat dari serangan mereka, sejak anak kecil hingga orang tua. Dengan perbuatan-perbuatan mereka itu, mereka telah mengumumkan permusuhan secara jelas dan terangterangan; tidak ada kesamaran, kepura-puraan serta pengelakan. Kelakuan mereka telah menjadikan darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin. Wajib bagi kaum muslimin di belahan bumi manapun untuk memerangi mereka, mereka harus diperangi di manapun dijumpai –baik itu sipil maupun militer—; semuanya adalah musuh, semuanya adalah pasukan perang, mereka telah menikmati sebuah pengkhianatan dan permusuhan, sampai-sampai kaum wanita dan pemuda mereka ikut melepaskan tembakan dari atas loteng dan jendela-jendela tanpa rasa sungkan dan malu ke arah orang-orang yang berlalu lalang yang hidup sejahtera di Isma‘iliyah, Suez dan Bur Sa‘id,. Mereka adalah bangsa pengecut. Mereka lari ketika menjumpai orang yang kuat dan pejuang, dan berubah bak singa ketika bertemu orang lembut dan lemah. Maka seorang muslim tidak boleh bersikap lemah di hadapan mereka, atau menampakkan sikap lunak dan pemberian maaf kepada mereka. “Bunuhlah mereka di mana 99 saja kalian jumpai mereka dan usirlah mereka sebagaimana mereka telah mengusir kalian.”83 berada, dari jenis dan bangsa manapun, ia wajib melakukan apa yang kami lakukan di Mesir dan Sudan. Sampai seorang muslim yang berada di Inggris sendiri –jika mereka benarbenar beriman—wajib baginya melakukan apa yang dilakukan muslim lainnya semampu mereka. Jika tidak mampu, mereka harus berhijrah dari negeri musuh atau dari negeri yang dia tidak bisa memerangi musuh di sana, sesuai yang diperintahkan Alloh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memang melarang kita membunuh wanita dalam peperangan, namun larangan karena adanya sebuah ‘illah (alasan) yang jelas: ketika kaum wanita itu tidak ikut perang. Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati wanita yang terbunuh pada salah satu ghozwahnya, maka beliau bersabda, “Tidak seharusnya dia ikut berperang.” Kemudian beliau melarang membunuh wanita. Karena sesungguhnya Islam adalah satu ‘etnis’ –meminjam istilah hari ini—. Islam membuang semua perbedaan etnis dan suku para pemeluknya. Sebagaimana firman Alloh ta‘ala: ‫ﺪ ﹰﺓ‬ ‫ﺍ ِﺣ‬‫ﻣ ﹰﺔ ﻭ‬ ‫ﻢ ﹸﺃ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬‫ﻣ‬ ‫ﻫ ِﺬ ِﻩ ﹸﺃ‬ ‫ِﺇ ﱠﻥ‬ Adapun sekarang, wanita mereka menjadi tentara. Mereka bahu membahu bersama kaum pria dalam perang, yang bukan tentara ikut berlagak seperti kaum pria, mereka melepaskan tembakan terhadap kaum muslimin tanpa takut dan gentar. Maka membunuh wanita-wanita itu adalah halal, bahkan wajib demi membela agama, nyawa dan tanah air, kecuali kalau wanita itu lemah dan tidak mampu berbuat apapun. “Sesungguhnya inilah umat kalian yang satu.”84 Dalil-dalil tentang masalah ini sudah pada tingkat mutawatir dan menguatkan satu sama lain, ini merupakan perkara yang maklum dalam din secara dhoruroh (tidak bisa disangkal), tidak ada seorang muslim pun yang ragu, bahkan bangsa Eropa pun mengerti hal itu dengan yakin. Tidak ada yang meragukannya dari kita selain mereka yang dididik oleh bangsa Eropa serta orang-orang yang dalam dirinya merencanakan peperangan terhadap agama mereka dan umatnya tanpa mereka sadari, sekali lagi tanpa mereka sadari. Demikian halnya dengan anak kecil yang belum baligh, orang-orang tua renta yang lemah: siapa saja yang ikut berperang atau melakukan kezaliman, ia harus dibunuh. Sedangkan yang tidak melakukannya, maka tidak boleh ada yang menimpakan marabahaya kepadanya kecuali sebatas menjadikan mereka dan kaum wanita tadi sebagai tawanan. Akan kami sebutkan hukum tentang tawanan, Insya Alloh. ‫ﺎ‬‫ﻢ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹸﻛﻨ‬ ‫ﺘ‬‫ﻢ ﻛﹸﻨ‬ ‫ﻢ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻓِﻴ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻼِﺋ ﹶﻜ ﹸﺔ ﻇﹶﺎِﻟﻤِﻲ ﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻤ ﹶ‬ ‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮﻓﱠﺎ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ِﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺍ ﻓِﻴﻬ‬‫ﺎ ِﺟﺮ‬‫ﺘﻬ‬‫ﻌ ﹰﺔ ﹶﻓ‬ ‫ﺍ ِﺳ‬‫ﷲ ﻭ‬ ِ‫ﺽﺍ‬  ‫ﺭ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﺗ ﹸﻜ‬ ‫ﺽ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃﹶﻟﻢ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ﲔ ﻓِﻲ ﹾﺍ َﻷ‬  ‫ﻌ ِﻔ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﻣ‬ Kami katakan: Wajib bagi setiap muslim di belahan bumi manapun membunuh mereka di manapun dijumpai, baik sipil atau militer. Kami mempunyai makna pada setiap kata dari kalimat ini. Artinya, di mana saja seorang muslim 83 84 Al-Baqoroh:191 100 Al-Anbiya’: 92 101 ‫ﻦ‬ ‫ﲔ ِﻣ‬  ‫ﻌ ِﻔ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﻤ‬ ‫{ ِﺇ ﱠﻻ ﺍﹾﻟ‬97} ‫ﺍ‬‫ﺼﲑ‬ ِ ‫ﻣ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺂ َﺀ‬‫ﻭﺳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ‬‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺍ‬‫ﻣ ﹾﺄﻭ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻭ ﹶﻻِﺋ‬ ‫ﻓﹶﹸﺄ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ﹰ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺘﺪ‬‫ﻬ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺣِﻴﹶﻠ ﹰﺔ‬‫ﺘﻄِﻴﻌ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﺍ ِﻥ ﹶﻻ‬‫ﺍﹾﻟ ِﻮﹾﻟﺪ‬‫ﺂ ِﺀ ﻭ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺍﻟ‬‫ﺎ ِﻝ ﻭ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﺍﻟ‬ “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kalian ini?” mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang tertindas di negeri (Mekkah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Alloh itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” orang-orang itu tempat kembalinya adalah Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).”85 Alloh tidak mengecualikan wajibnya hijrah atas setiap muslim yang berada di negeri musuh-musuh Alloh kecuali orang-orang lemah yang memang benar-benar lemah, tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu tentang kondisi dirinya sama sekali.” Demikian perkataan Syaikh Ahmad Syakir. Oleh karena itu, kami mengajak seluruh elemen umat Islam, baik pemuda, orang tua, kecil maupun besar, baik kelompok kecil atau besar agar memperkuat kecintaan mereka terhadap din ini dan berdiri satu barisan menghadapi Perang Salib. Jika tentara salib kali ini kalah, akan takluklah semua belahan bumi kaum muslimin yang mereka kuasai. Sesungguhnya kita sangat berharap kepada Alloh SWT agar Dia memenangkan kita atas mereka dan berharap terwujud sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam setelah perang Ahzab, ketika beliau bersabda, 85 An-Nisa’: 97-98 102 ‫ﺎ‬‫ﻧﻨ‬‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬‫ﻐﺰ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﹶﺍﹾﻟ‬ “Hari ini kita perangi mereka dan mereka tidak bisa memerangi kita.” Maka tatkala Alloh kalahkan pasukan Ahzab, persenjataan mereka berantakan, dan inilah salah satu harapan kita kepada Alloh, yaitu semoga Dia meluluh lantakkan persenjataan mereka dalam perseteruan kali ini, semoga mereka tidak akan berkumpul lebih banyak lagi melebihi perkumpulan mereka hari ini, sehingga mereka tidak lagi bersekongkol menghadapi kaum muslimin dengan izin Alloh ta‘ala. Akan tetapi ini semua kembali kepada kejujuran umat Islam sendiri kepada Alloh dan tawakkal mereka kepada-Nya. Maka, marilah kita berjihad dan jangan menjadi orang-orang yang tertinggal. Dan saya mengajak Anda, sekali lagi saya ajak Anda, suadaraku yang mulia, untuk melihat peristiwa-peristiwa hari ini menggunakan kacamata Al-Qur’an. Hendaknya Anda memikirkan dan merenungkannya. Sebab masing-masing kita dituntut dan diseru untuk merenungi dan meninjau kembali, hendaknya meninjau kembali kehidupan yang kita alami dengan bertitik tolak dari ayat-ayat seperti ini. Oleh karena itu, lihatlah kembali manhaj yang Anda pakai. Jika ayat-ayat seperti ini terjadi pada diri Anda, bertaubatlah kepada Alloh, pintu taubat selalu terbuka sampai nyawa berada di tenggorokan. Namun jika Anda selamat dan tidak termasuk orang-orang yang disebut ayat ini, pujilah Alloh atas keselamatan tersebut, selalu mintalah keteguhan dan teruskan jalan ini demi membela agama Alloh ta‘ala. 103 Alloh ta‘ala berfirman dalam surat Ali Imron (ayat: 167), “Dan supaya Alloh mengetahui siapa orang-orang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Alloh atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata, “Seandainya kami tahu akan terjadi peperangan tentu kami akan mengikuti kalian.” Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Alloh lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” Alloh ta‘ala juga berfirman dalam surat An-Nisa’ (72-73): ‫ﻢ‬ ‫ﻰ ِﺇ ﹾﺫ ﹶﻟ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬‫ﺪ ﹶﺃ‬ ‫ﺒ ُﹸﺔ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻗ‬‫ﺼِﻴ‬‫ﺘﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ﺎ‬‫ﻦ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃﺻ‬ ‫ﺒ ﱢﻄﹶﺌ‬‫ﻴ‬‫ﻦ ﹶﻟ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻭِﺇ ﱠﻥ ﻣِﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﹶﻛﺄﹶﻥ ﱠﻟ‬ ‫ﻴﻘﹸﻮﹶﻟ‬‫ﷲ ﹶﻟ‬ ِ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻀ ُﹸﻞ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﺎ‬‫ﻦ ﺃﹶﺻ‬ ‫ﻭﹶﻟِﺌ‬ {72} ‫ﺍ‬‫ﺷﻬِﻴﺪ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﹶﺃﻛﹸﻦ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻈِﻴﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﻮﺯ‬ ‫ﺯ ﹶﻓ‬ ‫ﻢ ﹶﻓﹶﺄﹸﻓﻮ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺘﻨِﻲ ﻛﹸﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎﹶﻟ‬‫ﺩ ُﹸﺓ ﻳ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺗﻜﹸﻦ‬ “Dan sesungguhnya di antara kalian ada orang yang berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kalian ditimpa musibah ia mengatakan: ‘Sesungguhnya Alloh telah memberikan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama kalian.’ Dan sungguh jika kalian memperoleh karunia (kemenangan) dari Alloh, tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kalian dan dia: ‘Wahai, sekiranya aku ada bersama-sama mereka, tentu aku mendapat kemenangan yang besar (pula).’” Masih dalam surat An-Nisa’ (141-143), Alloh ta‘ala berfirman: 104 ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹸﻜ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻧﻜﹸﻦ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﷲ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃﹶﻟ‬ ِ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﻢ ﹶﻓﺈِﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ِﺑ ﹸﻜ‬‫ﺑﺼ‬‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻌﻜﹸﻢ‬ ‫ﻨ‬‫ﻤ‬ ‫ﻧ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺤ ِﻮ ﹾﺫ‬  ‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺐ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃﹶﻟ‬  ‫ﻧﺼِﻴ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻭِﺇﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﷲ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ‬ ُ ‫ﻌ ﹶﻞ ﺍ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻭﻟﹶﻦ‬ ‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺤ ﹸﻜ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﲔ ﻓﹶﺎ‬  ‫ﺆﻣِِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ ِﺩ‬‫ﻮ ﺧ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺍ‬‫ﺎ ِﺩﻋ‬‫ﻳﺨ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺎِﻓ ِﻘ‬‫ﻤﻨ‬ ‫{ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬141} ‫ﻼ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ﹰ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬ ‫ﷲ ِﺇ ﱠﻻ‬ َ ‫ﻭ ﹶﻥ ﺍ‬‫ﻳ ﹾﺬ ﹸﻛﺮ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺱ‬  ‫ﺎ‬‫ﺁﺀُﻭ ﹶﻥ ﺍﻟﻨ‬‫ﻳﺮ‬ ‫ﺎﻟﹶﻰ‬‫ﻮﺍ ﹸﻛﺴ‬‫ﻼ ِﺓ ﻗﹶﺎﻣ‬ ‫ﺼﹶ‬  ‫ﻮﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬‫ﻭِﺇﺫﹶﺍﻗﹶﺎﻣ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺆ َﻵ ِﺀ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻵ َِﺇﻟﹶﻰ‬‫ﺆ َﻵ ِﺀ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻚ َﻵ ِﺇﻟﹶﻰ‬  ‫ﻦ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺑ ﹶﺬِﺑ‬‫ﻣ ﹶﺬ‬ {142} ‫ﻼ‬ ‫ﹶﻗﻠِﻴ ﹰ‬ {143} ‫ﻼ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ﹰ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺪ ﹶﻟ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﺗ‬ ‫ﷲ ﹶﻓﻠﹶﻦ‬ ُ ‫ﻀِﻠ ِﻞ ﺍ‬  ‫ﻳ‬ “(Yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada diri kalian (wahai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Alloh mereka berkata: “Bukankah kami (turut berperang) beserta kalian?” dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: “Bukankah kami turut memenangkanmu dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” Maka Alloh akan memberi keputusan di antara kalian di hari kiamat, dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Alloh dan Alloh membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas; mereka bermaksud riya kepada manusia dan tidak mengingat Alloh kecuali sedikit. Mereka ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak termasuk golongan ini (beriman) tidak pula termasuk golongan itu (kafir). Barangsiapa Alloh sesatkan maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberinya petunjuk).” 105 Alloh ta‘ala juga berfirman dalam surat Al-Ma’idah (51-52): ‫ﺂ ُﺀ‬‫ﻭِﻟﻴ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺂ َﺀ‬‫ﻭِﻟﻴ‬ ‫ﻯ ﹶﺃ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻨﺼ‬‫ﺍﻟ‬‫ﺩ ﻭ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺨﺬﹸﻭﺍ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺘ‬‫ﺗ‬ ‫ﻮﺍ ﹶﻻ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﻡ ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻬﺪِﻱ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﻳ‬‫ﷲ ﹶﻻ‬ َ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻪ ِﻣ‬ ‫ﻧ‬‫ﻢ ﹶﻓِﺈ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻮﱠﻟﻬ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺾ‬ ٍ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻰ‬‫ﺨﺸ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮﻟﹸﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﻓِﻴ ِﻬ‬‫ﺎ ِﺭﻋ‬‫ﻳﺴ‬ ‫ﺽ‬ ُ ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﻓِﻲ ﹸﻗﻠﹸﻮِﺑﻬِﻢ‬ ‫ﻯ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﺘﺮ‬‫{ ﹶﻓ‬51} ‫ﻮﺍ‬‫ﺼِﺒﺤ‬  ‫ﻴ‬‫ﻦ ﻋِﻨ ِﺪ ِﻩ ﹶﻓ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣ ٍﺮ‬ ‫ﻭ ﹶﺃ‬ ‫ﺘ ِﺢ ﹶﺃ‬‫ﻲ ﺑِﺎﹾﻟ ﹶﻔ‬ ‫ﻳ ﹾﺄِﺗ‬ ‫ﷲ ﺃﹶﻥ‬ ُ ‫ﻰ ﺍ‬‫ﻌﺴ‬ ‫ﺮ ُﹸﺓ ﹶﻓ‬ ‫ﺁِﺋ‬‫ﺎ ﺩ‬‫ﺒﻨ‬‫ﺗﺼِﻴ‬ ‫ﺃﹶﻥ‬ {52} ‫ﲔ‬  ‫ﺎ ِﺩ ِﻣ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺍ ﻓِﻲ ﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬‫ﺳﺮ‬ ‫ﺂﹶﺃ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻣ‬ “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian angkat orang yahudi dan nashrani sebagai wali. Maka siapa di antara kalian yang berwali kepada mereka, ia termasuk golongan mereka, sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk orangorang yang dzalim. Maka engkau melihat orang yang dalam hatinya ada penyakit bersegera kepada mereka, mereka mengatakan kami takut akan tertimpa musibah. Maka bisa jadi Alloh mendatangkan kemenangan atau urusan dari sisi-Nya sehingga mereka menyesali apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka.” Alloh ta‘ala berfirman dalam surat At-Taubah (42-49): ‫ﺸ ﱠﻘ ﹸﺔ‬  ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺪ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻭﹶﻟﻜِﻦ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﻮ‬‫ﺒﻌ‬‫ﺗ‬‫ﺍ ﻻ‬‫ﺻﺪ‬ ِ ‫ﺍ ﻗﹶﺎ‬‫ﺳ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﹶﻗﺮِﻳﺒ‬‫ﺮﺿ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻮ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ ‫ﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻬِﻠﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹸﻜ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬  ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻌﻨ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ‬‫ﺳ‬ ‫ﷲ ﹶﻟ ِﻮ ﺍ‬ ِ ‫ﺤِﻠﻔﹸﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬  ‫ﻴ‬‫ﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻦ ﹶﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ‬  ‫ﻢ ﹶﺃﺫِﻧ‬ ‫ﻚ ِﻟ‬  ‫ﻨ‬‫ﷲ ﻋ‬ ُ ‫ﻋﻔﹶﺎ ﺍ‬ {42} ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻢ ﹶﻟﻜﹶﺎ ِﺫﺑ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ِﺇ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬  ‫ﻧ‬‫ﺘﹾﺌ ِﺬ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬‫{ ﹶﻻ‬43} ‫ﲔ‬  ‫ﻢ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎ ِﺫِﺑ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﺪﻗﹸﻮﺍ‬ ‫ﺻ‬  ‫ﻦ‬ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺘ ِﻘ‬‫ﻤ‬ ‫ﻢ ﺑِﺎﹾﻟ‬ُ ‫ﻋﻠِﻴ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ِﻬ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻭﺍ ِﺑﹶﺄ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﻳﺠ‬ ‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ ﺃﹶﻥ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻭ‬ 106 ‫ﺖ‬  ‫ﺑ‬‫ﺎ‬‫ﺭﺗ‬ ‫ﺍ‬‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ ﻭ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬‫ﷲ ﻭ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﹶﻻﻳ‬ ‫ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬  ‫ﻧ‬‫ﺘﹾﺌ ِﺬ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻤﹶﺎ‬‫{ ِﺇﻧ‬44} ‫ﻭﺍ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺝ َﻷ‬  ‫ﻭ‬‫ﺨﺮ‬  ‫ﻭﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﺍﺩ‬‫ﻮ ﹶﺃﺭ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ {45} ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺩﺩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻳِﺒ ِﻬ‬‫ﺭ‬ ‫ﻢ ﻓِﻲ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺑ‬‫ﹸﻗﻠﹸﻮ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻊ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻭﻗِﻴ ﹶﻞ ﺍ ﹾﻗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺒ ﹶﻄ‬‫ﻢ ﹶﻓﹶﺜ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎﹶﺛ‬‫ﷲ ﺍﻧِﺒﻌ‬ ُ ‫ﻩ ﺍ‬ ‫ﻭﹶﻟﻜِﻦ ﹶﻛ ِﺮ‬ ‫ﺪ ﹰﺓ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻼﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻮﺍ ِﺧ ﹶ‬‫ﺿﻌ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻭ َﻷ‬ ‫ﺎ ﹰﻻ‬‫ﺧﺒ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻻ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺎﺯ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻴﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻮ‬ ‫{ ﹶﻟ‬46} ‫{ ﹶﻟ ِﻘ ِﺪ‬47} ‫ﲔ‬  ‫ﻢ ﺑِﺎﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ‬ ‫ﻋﻠِﻴ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﻟ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﻓِﻴ ﹸﻜ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ ِﻔ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻮ‬‫ﺒﻐ‬‫ﻳ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺮ ﺍ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ ﹶﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭ ﹶﻇ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺂ َﺀ ﺍﹾﻟ‬‫ﻰ ﺟ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮ‬‫ﻚ ﹾﺍ ُﻷﻣ‬  ‫ﻮﺍ ﹶﻟ‬‫ﻭﹶﻗﱠﻠﺒ‬ ‫ﺒ ﹸﻞ‬‫ﻨ ﹶﺔ ﻣِﻦ ﹶﻗ‬‫ﺘ‬‫ﺍ ﺍﹾﻟ ِﻔ‬‫ﻐﻮ‬ ‫ﺘ‬‫ﺑ‬‫ﺍ‬ ‫ﻲ ﹶﺃ ﹶﻻ ﻓِﻲ‬‫ﺗ ﹾﻔِﺘﻨ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺍﹾﺋﺬﹶﻥ ﻟﱢﻲ‬ ‫ﻦ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻭ ِﻣ‬ {48} ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻢ ﻛﹶﺎ ِﺭﻫ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻤﺤِﻴ ﹶﻄ ﹲﺔ ﺑِﺎﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭِﺇ ﱠﻥ‬ ‫ ﹶﻘﻄﹸﻮﺍ‬‫ﻨ ِﺔ ﺳ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟ ِﻔ‬ “Kalau yang kamu serukan itu adalah keuntungan yang bisa ditempuh dengan jarak dekat, pastilah mereka mengikutimu, akan tetapi yang dituju itu amat terasa jauh oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Alloh: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama kalian.” Dan Alloh mengetahui sesungguhnya mereka benar-benar dusta. Semoga Alloh memaafkanmu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam uzurnya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta. Orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan jiwa mereka, dan Alloh mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir dan hatinya ragu, maka mereka terombang-ambing dalam keraguannya. Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan 107 tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk. Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka dan Alloh Mahatahu tentang orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya dari dulu pun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur berbagai tipudaya untuk mencelakakanmu hingga datanglah kebenaran (pertolongan Alloh) dan agama Alloh menang padahal mereka tidak menyukai. Di antara mereka ada yang mengatakan, “Berilah saya izin (tidak berperang) dan jangan jerumuskan saya dalam fitnah.” Ketahuilah, mereka itu sebenarnya telah terjerumus ke dalam fitnah dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir.” Alloh ta‘ala berfirman dalam surat Al-Ahzab (10-13): ‫ﺖ‬ ِ ‫ﻐ‬ ‫ﺑﹶﻠ‬‫ﻭ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺑﺼ‬‫ﺖ ﹾﺍ َﻷ‬ ِ ‫ﺍ ﹶﻏ‬‫ﻭِﺇ ﹾﺫ ﺯ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳ ﹶﻔ ﹶﻞ ﻣِﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻭ ِﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻮِﻗ ﹸﻜ‬ ‫ﻦ ﹶﻓ‬‫ﺂﺀُﻭﻛﹸﻢ ﻣ‬‫ِﺇ ﹾﺫ ﺟ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺘِﻠ‬‫ﺑ‬‫ﻚ ﺍ‬  ‫ﺎِﻟ‬‫ﻫﻨ‬ {10} ‫ﺎ‬‫ﻮﻧ‬‫ﷲ ﺍﻟ ﱡﻈﻨ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺗ ﹸﻈﻨ‬‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ِﺟ‬‫ﺤﻨ‬  ‫ﺏ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﺍﻟﹾ ﹸﻘﻠﹸﻮ‬ ‫ﻦ ﻓِﻲ ﹸﻗﻠﹸﻮِﺑﻬِﻢ‬ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﺎِﻓ ﹸﻘﻮ ﹶﻥ ﻭ‬‫ﻤﻨ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭِﺇ ﹾﺫ‬ {11} ‫ﺍ‬‫ﺷﺪِﻳﺪ‬ ‫ﺍ ﹰﻻ‬‫ﺯﹾﻟ ِﺰﻟﹸﻮﺍ ِﺯﹾﻟﺰ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ ﻃﱠﺂِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ‬ {12} ‫ﺍ‬‫ﻭﺭ‬‫ﻪ ِﺇ ﱠﻻ ﹸﻏﺮ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺎ ﺍ‬‫ﺪﻧ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺽ ﻣ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮﻟﹸﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺘﹾﺌ ِﺬ ﹸﻥ ﹶﻓﺮِﻳ‬‫ﺴ‬  ‫ﻳ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﺭ ِﺟﻌ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻡ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻣﻘﹶﺎ‬ ‫ﺏ ﹶﻻ‬  ‫ﻳﹾﺜ ِﺮ‬ ‫ﻫ ﹶﻞ‬ ‫ﺂﹶﺃ‬‫ﻳ‬ {13} ‫ﺍ‬‫ﺍﺭ‬‫ﻭ ﹶﻥ ِﺇ ﱠﻻ ِﻓﺮ‬‫ﻳﺮِﻳﺪ‬ ‫ﺭ ٍﺓ ﺇِﻥ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻲ ِﺑ‬ ‫ﺎ ِﻫ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺭ ﹲﺓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﻨ‬‫ﻮ‬‫ﺑﻴ‬ ‫ِﺇ ﱠﻥ‬ “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu dan ketika tidak tetap lagi penglihatanmu dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu 108 menyangka terhadap Alloh dengan bermacam-macam purbasangka; di situlah orang-orang beriman diuji dan digoncangkan dengan goncangan yang hebat. Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit mengatakan: Alloh dan rosul-Nya tidak menjanjikan kepada kita selain tipuan. Dan ingatlah ketika segolongan dari mereka berkata, “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka pulang saja kalian.” Dan sebagian mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan mengatakan: “Rumah kami adalah terbuka (tidak terjaga).” Padahal rumah-rumah itu tidaklah terbuka, mereka tak lain hanya ingin lari.” Alloh ta‘ala juga berfirman dalam surat Al-‘Ankabut (10): ‫ﺱ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﻨ ﹶﺔ ﺍﻟﻨ‬‫ﺘ‬‫ﻌ ﹶﻞ ِﻓ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻱ ﻓِﻲ ﺍ‬  ‫ﷲ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺁ ﺃﹸﻭ ِﺫ‬ ِ ‫ﺎ ﺑِﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺀَﺍ‬ ‫ﻦ‬‫ﺱ ﻣ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻭ ِﻣ‬ ‫ﷲ‬ ُ‫ﺲﺍ‬  ‫ﻴ‬‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻌ ﹸﻜ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﹸﻛﻨ‬‫ﻦ ِﺇﻧ‬ ‫ﻴﻘﹸﻮﹸﻟ‬‫ﻚ ﹶﻟ‬  ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﺂ َﺀ‬‫ﻭﹶﻟﺌِﻦ ﺟ‬ ‫ﷲ‬ ِ‫ﺏﺍ‬ ِ ‫ﻌﺬﹶﺍ‬ ‫ﹶﻛ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺎﹶﻟ ِﻤ‬‫ﻭ ِﺭ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺻﺪ‬  ‫ﺎﻓِﻲ‬‫ﻢ ِﺑﻤ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ِﺑﹶﺄ‬ “Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Alloh” maka jika ia disakiti karena Alloh ia menganggap siksaan manusia itu seperti adzab Alloh. Dan sungguh jika datang pertolongan dari robbmu ia akan mengatakan, “Kami benar-benar bersama kalian.” Bukankah Alloh paling tahu tentang isi hati semua manusia?” Ayat-ayat yang membuka kedok berkilah dan teknik orangorang munafik sangatlah banyak. Akan tetapi, ketahuilah selalunya seluruh ayat di atas terjadi pada diri Anda, bisa hanya sebagian ayat saja, kami memohon keselamatan kepada Alloh untuk diri kami dan Anda. Maka, janganlah kita 109 bermain-main; jangan sampai sifat-sifat tersebut ada dalam diri Anda, sedikit maupun banyak. Sekarang inilah peperangan yang memilahkan barisan dan menampakkan ciri-cirinya dengan jelas. Dan Mahabenar Alloh Yang Mahaagung, seolah ayat-ayat tadi turun mensifati keadaan kita hari ini serta keadaan sebagian orang di antara kita. Kita mohon kepada Alloh hidayah dan kelurusan. Saya tidak menemukan ungkapan yang lebih tepat untuk menilai manusia hari ini dari ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di dalam Al-Fatawa (28/ 416) ketika beliau mengomentari fitnah serangan tentara Tartar, beliau mengatakan: “Fitnah ini telah memecah manusia kepada tiga kelompok: Tho’ifah Manshuroh (kelompok yang ditolong), mereka adalah para mujahidin yang melawan bangsa pembuat kerusakan tersebut. Kemudian Tho’ifah Mukholifah (kelompok yang menentang), mereka adalah kaum yang bergabung dengan pasukan Tartar dari kalangan orang-orang yang berpikiran kacau yang masih menisbatkan dirinya kepada Islam. Dan terakhir adalah Tho’ifah Mukhodzilah (kelompok pelemah semangat), yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam kancah jihad melawan mereka, meskipun keislaman mereka benar. Maka hendaklah seseorang melihat apakah dirinya termasuk kelompok yang ditolong, ataukah kelompok yang melemahkan semangat ataukan kelompok yang menentang? Tidak ada tempat untuk kelompok yang keempat.” Semoga Alloh merahmati Syaikhul Islam, seolah beliau berbicara tentang zaman di mana kita hidup. 110 111 Syubhat pertama: Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad jihad kecuali bersama Khalifah…” (Umat (Umat ini tidak boleh berjihad dan melawan kezaliman dan serangan musuh sebelum adanya khalifah!!) khalifah!!) Jawaban: Pasal Ketiga: BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT-SYUBHAT YANG MENJADI AJANG PERDEBATAN SEPUTAR MASALAH JIHAD Ini adalah syubhat yang diwahyukan syetan kepada para mukhodziluun (para pelemah semangat) yang menghalangi orang untuk berjihad jihad di zaman kita sekarang ini. Alloh ta‘ala berfirman: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh dari manusia dan jin yang sebagian mewahyukan kepada yang lain perkataan yang indah untuk menipu, dan seandainya tuhanmu mau, mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka buat-buat. Dan agar hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu mendengarnya, dan agar mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan.”86 Kemudian syubhat ini dinukil orang lain karena prasangka baiknya terhadap mereka. Bantahan terhadap syubhat ini ditinjau dari beberapa sisi: Pertama: Tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun AsSunnah yang membenarkan pensyaratan seperti ini. Yang ada, semua nash syar‘i yang memerintahkan jihad fî sabilillah –yang sedemikian banyak— tercantum secara mutlak tanpa adanya ikatan waktu, tempat atau sifat tertentu, seperti syarat yang disebutkan dalam syubhat ini..! 86 112 Al-An‘am: 112-113 113 Kedua: Tidak adanya satu pun shahabat atau ulama terpercaya –generasi terdahulu maupun belakangan—yang mengatakan pernyataan baru dan “asing” ini. Artinya, perkataan ini adalah perkara baru yang masuk ke dalam khazanah fikih Islam yang tidak menyisakan satu penyimpangan atau kejadian kecuali membahasnya. Ketiga: Pengikatan dan pensyaratan ini mengandung konsekwensi tidak diamalkannya ribuan Nash Syar‘i yang menganjurkan dan memerintahkan berjihad. Kesannya syarat ini begitu penting, padahal ternyata tidak tercantum –baik secara isyarat atau hanya sekilas— dalam satu nash syar‘I pun; tidak juga dalam perkataan satu pun dari ulama terpercaya, padahal penjelasan dari agama Islam ini sudah sempurna. Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan perkara yang bisa mendekatkan kita ke surga atau menjauhkan kita dari neraka kecuali telah menerangkannya kepada umat. Sebagaimana firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ ﹸﻜ‬  ‫ﺭﺿِﻴ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻤﺘِﻲ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻢ ِﻧ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻢ ﺩِﻳ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ ﹸﻜ‬  ‫ﻤ ﹾﻠ‬ ‫ﻡ ﹶﺃ ﹾﻛ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺩِﻳﻨ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺳ ﹶ‬ ‫ﹾﺍ ِﻹ‬ “Hari ini telah kusempurnakan agama kalian dan Kulengkapi nikmat-Ku terhadap kalian, dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian.”87 Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak kutinggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kalian kepada Alloh kecuali telah kuperintahkan. Dan tidak kutinggalkan satu perkarapun yang menjauhkan kalian dari 87 Alloh dan mendekatkan kalian kepada neraka kecuali sudah kularang kalian darinya.” Para shahabat mengatakan, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan masalah seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di langit kecuali telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Jika agama telah sempurna, dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan satu perkara pun yang mendekatkan kita kepada Alloh kecuali telah menerangkannya, sampai burung yang terbang di langit saja beliau sudah terangkan ilmunya kepada umatnya, lantas di mana penjelasan dan penyebutan ikatan dan syarat yang nampaknya begitu penting ini..?! Kami tidak bisa mengatakan apapun selain meyakini dengan pasti bahwa syarat ini rusak dan bathil, pensyaratan ini adalah perkataan baru dan masuk ke dalam fikih Islam. Di dalam sebuah hadits shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohih Bukhori dan lain-lain—beliau bersabda, “Mengapa orang-orang tersebut mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh? Barangsiapa yang mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitabullôh, maka tidak benar. Meskipun syarat itu seratus kali. Syarat Alloh tetaplah lebih benar dan lebih kukuh.” Keempat: Nash-nash syar‘i menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwasanya jihad akan terus berlanjut di setiap zaman hingga hari kiamat, sama saja apakah kaum muslimin memiliki khalifah atau pimpinan pusat atau tidak. Di antara nash tersebut: • Sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: Al-Maidah: 3 114 115 «‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﻴﺎ‬‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍﻟ ِﻘ‬ ‫ﻳ‬ ‫ ِﺇﹶﻟﻰ‬،‫ﻦ‬ ‫ﻳ‬‫ﻖ ﹶﻇﺎ ِﻫ ِﺮ‬ ‫ﳊ‬ ‫ﻰ ﹾﺍ ﹶ‬ ‫ﻋﻠ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻳ ﹶﻘﺎِﺗﹸﻠ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻣِﺘ‬ ‫ﻦ ﹸﺃ‬ ‫ﺰﺍ ﹸﻝ ﹶﻃﺎِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ ِﻣ‬ ‫ﺗ‬ ‫» ﹶﻻ‬ “Akan selalu ada satu kelompok dari kaum muslimin yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka hingga (menjelang) hari kiamat.”92 “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat.”88 • Dan dari Salamah bin Nufail ia berkata: “Aku duduk di sisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ada seseorang yang berkata, “Wahai Rosululloh, manusia tidak lagi mengurus kuda dan telah meletakkan senjata, mereka mengatakan: “Tidak ada lagi jihad, perang sudah usai.” Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghadapkan wajahnya dan bersabda, “Mereka dusta, sekarang, sekarang tiba waktu perang; dan akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran; Alloh akan simpangkan hati suatu kaum dan Dia memberi rezeki kelompok tadi dari kaum tersebut hingga (menjelang) tiba hari kiamat dan sampai datang janji Alloh.”93 • Di dalam hadits Jabir bin Samuroh disebutkan: “Senantiasa agama ini tegak, berperang di atasnya satu kelompok dari umatku sampai (menjelang) hari kiamat.”89 • Di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan: “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas perintah Alloh, mereka kalahkan musuh mereka, mereka tidak terpengaruh dengan orang yang menyelisihi mereka hingga (menjelang) datang kepada mereka hari kiamat dan mereka tetap seperti itu.”90 • Dan dari Nawwas bin Sam‘an berkata, • Di dalam hadits ‘Imron bin Hushoin disebutkan: “Usai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menaklukkan (Mekkah), aku mendatangi beliau dan kukatakan: ‘Wahai Rosululloh, kuda telah dilepas dan senjata telah diletakkan, sungguh perang sudah usai dan mereka mengatakan: Tidak ada lagi peperangan.’ Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mereka dusta, sekarang datang waktu perang, sekarang datang waktu perang. Sesungguhnya Alloh Jalla wa ‘Ala akan menyimpangkan hati suatu kaum kemudian mereka perangi kaum tersebut dan Alloh beri mereka rezeki dari kaum “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka sampai kelompok terakhir dari mereka memerangi Al-Masih Dajjal.”91 • Di dalam hadits Mu‘awiyah bin Abi Sufyan: 88 92 Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafadz ini (156), (1923), Ahmad (III/ 345), Ibnu Hibbân (6780—ihsan) dan Ibnul Jârûd di dalam Al-Muntaqô (1031) dari hadits Jabir bin Abdillâh. 89 Dikeluarkan Muslim (1922). 90 Dikeluarkan Muslim (1924). 91 Dikeluarkan Ahmad (IV/ 437) dan Abu Dawud (2484). Dikeluarkan Muslim (1037) Kitabul Imâroh hadits nomor 175. Dikeluarkan An-Nasa’i di dalam Sunan-nya (VI/ 214-215), di dalam As-Sunan AlKubrô (4401), (8712), Ahmad (IV/ 104), Ath-Thobarônî dalam Al-Kabîr (6357), (6358), Ibnu Sa‘d dalam Thobaqôt-nya (VII/427), Al-Bukhori dalam At-Târîkh AlKabîr (II/2/17) dan dishohihkan oleh Al-Albani di dalam As-Silsilah As-Shohihah (1935). 116 117 93 tersebut sampai tiba ketetapan Alloh kepadanya, dan pusat negeri kaum mukminin adalah Syam.”94 Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengkhabarkan bahwa akan selalu ada satu kelompok dari umatnya yang berperang di jalan Alloh dan itu tidak akan terputus hingga akhir zaman. Dan dengan makna ini, banyak para ‘Aimmah mengartikan hadits ini; di antaranya adalah Abu Dawud yang berkata dalam Sunan-nya: Bab Fi Dawamil Jihad (Bab: akan terus berlangsungnya jihad.)95 Kemudian ia menyebutkan hadits ‘Imron bin Hushoin tadi. Demikian juga dengan Ibnul Jarud: Bab Dawamul Jihad ila Yaumil Qiyamah (Bab: akan terus berlangsungnya jihad hingga hari kiamat)96 kemudian ia sebutkan hadits Jabir ini. Di dalam hadits shohih juga disebutkan: “Kuda akan tetap tertambat kebaikan pada ubun-ubunnya hingga (menjelang) hari kiamat.”99 Al-Hafizh berkata dalam syarah hadits ini: “Di dalamnya juga terdapat kabar gembira akan langgengnya Islam serta pemeluknya hingga hari kiamat, sebab di antara konsekwensi logis langgengnya jihad adalah langgengnya mujahidin sedangkan para mujahidin itu adalah kaum muslimin. Hadits ini mirip dengan hadits lain: “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berpe-rang di atas kebenaran…”100 Sementara itu, Syaikh Sulaiman bin Abdulloh An-Najdi menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa tho’ifah manshuroh tersebut tidak selalunya berada di Syam. Imam Al-Khothobi berkata: “Di sini terdapat keterangan bahwa jihad tidak akan pernah terputus. Dan jika sudah menjadi perkara yang logis apabila para pemimpin itu tidak akan semuanya sepakat menjadi adil, maka hadits ini menunjukka bahwa jihad melawan orangorang kafir bersama pemimpin yang jahatpun adalah wajib seperti wajibnya dengan pemimpin yang adil.”97 An-Nawawi berkata, “Hadits ini mengandung mukjizat yang jelas, bahwa karakter (senantiasa berperang) ini akan selalu ada –segala puji bagi Alloh ta‘ala—sejak zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hingga sekarang. Dan akan selalu ada sampai datang ketetapan Alloh yang disebutkan dalam hadits itu.”98 94 Dikeluarkan Ibnu Hibban [(7307)-ihsan] Sunan Abu Dawud (III/11). 96 Al-Muntaqo (hal. 257). 97 Ma‘alimus Sunan edisi terbitan dengan catatan kaki Sunan Abu Dawud (III/ 11) 98 Syarah Shohih Muslim (VII/ 77). 95 118 Di antara dalil yang beliau gunakan adalah terputusnya jihad di daerah tersebut sejak beberapa lama, beliau mengatakan mengenai penduduk Syam: “Lagipula, sejak beberapa lama mereka tidak memerangi siapapun dari orangorang kafir, huru-hara dan peperangan justeru terjadi antara mereka sendiri. Atas dasar ini, sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits: “Mereka ada di Baitul Muqoddas” dan perkataan Mu‘adz: “Mereka ada di Syam” maksudnya adalah mereka berada di sana pada sebagian kurun waktu tapi tidak seluruhnya. Fakta yang ada juga mengindikasikan pendapat kami ini.”101 Intinya, akan selalu ada dari umat Islam ini yang menjadi kelompok perang (Tho’ifah Muqotilah) yang berada di atas 99 Dikeluarkan Bukhori dengan lafadz ini (2850), (2852) dan Muslim (1873) dari hadits Urwah bin Al-Ja‘d. Pada bab ini terdapat juga hadits dari Ibnu Umar, Anas dan yang lainnya. 100 Fathul Bârî (VI/ 56). 101 Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarhi Kitâbit Tauhîd (hal. 381). 119 ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻰ ﺍ‬‫ﻋﺴ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺴ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻒ ِﺇ ﱠﻻ‬  ‫ﺗ ﹶﻜﱠﻠ‬ ‫ﷲ ﹶﻻ‬ ِ ‫ﻴ ِﻞ ﺍ‬‫ﺳِﺒ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎِﺗ ﹾﻞ ِﻓ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻴ ﹰ‬‫ﻨ ِﻜ‬‫ﺗ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻭﹶﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﺑ ﹾﺄﺳ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺱ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬  ‫ﺑ ﹾﺄ‬ ‫ﻒ‬  ‫ﻳ ﹸﻜ‬ ‫ﹶﺃ ﹾﻥ‬ kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit, hingga datang ketetapan Alloh yang tercantum dalam hadits tadi. Maka sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan selalu ada satu kelompok…” “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan kobarkanlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”103 Dan: “Lan yabroha…” (akan selalu ada…) …menunjukkan adanya keberlangsungan yang terus menerus akan keberadaan kelompok yang berperang di jalan Alloh pada setiap zaman hingga menjelang hari kiamat. Jihad mereka tidak akan berhenti karena munculnya satu penyebab berupa tidak adanya kholifah yang memimpin umat Islam seperti yang kita alami di zaman sekarang. Kemudian, kelompok yang berjihad di jalan Alloh –yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang sudah kami sebutkan tadi—jumlahnya (menurut tinjauan bahasa dan syar‘i) adalah satu orang atau lebih, sebagaimana firman Alloh ta‘ala: Dari ayat ini serta yang lain, para ulama menyimpulkan bahwa jihad itu bisa saja dilakukan oleh satu orang dari kaum muslimin. Dan bahwa keengganan umat dari jihad fi sabilillah tidak boleh menggoyahkan satu orang ini dari bangkit dan terus berjalan di atas jalan jihad. Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (V/ 293): “Az-Zujaj berkata: Alloh ta‘ala memerintahkan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berjihad meski ia hanya sendirian, sebab Alloh telah jamin kemenangan untuk beliau. ‫ﲔ‬  ‫ﺠ ِﺮ ِﻣ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻢ ﻛﹶﺎﻧ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ﺏ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔ ﹰﺔ ِﺑﹶﺄ‬  ‫ﻌ ﱢﺬ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻦ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔ ٍﺔ ﻣ‬‫ﻒ ﻋ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺇِﻥ‬ “Jika Kami memberi maaf satu kelompok dari kalian, Kami adzab satu kelompok lagi dikarenakan mereka adalah kaum yang jahat.”102 Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya: “Dikisahkan ada tiga orang: dua orang berolok-olok, dan satu orang hanya ikut tertawa, maka yang dimaafkan adalah yang tertawa dan tidak berkata-kata.” Alloh ta‘ala berfirman: Ibnu ‘Athiyyah berkata: “Ini adalah dzahir lafadz, namun tidak ada satu pemberitaan pun yang menyebutkan bahwa peperangan itu diwajibkan kepada Rosululloh saja tanpa umat yang lain dalam suatu kurun waktu. Dengan demikian maknanya –Wallohu A‘lam—ini adalah perintah kepada beliau secara lafadz dan permisalan pada setiap satu orang secara khusus. Artinya, engkau wahai Muhammad dan setiap yang hanya satu orang dari umatmu maka perintah inilah yang berlaku atasnya: “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri…”104 103 102 104 At-Taubah: 66 120 An-Nisa’: 84 An-Nisa’: 84 121 Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tetap berjihad walaupun ia sendirian.105 Di antara dalil lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Alloh, aku benar-benar akan perangi mereka sampai hilang batang leherku.”106 Demikian juga dengan perkataan Abu Bakar ketika memerangi orang-orang murtad: “Jika tangan kananku tidak sejalan denganku, aku akan perangi mereka dengan tangan kiriku.” Pertanyaannya sekarang: Jika jihad boleh dijalankan meskipun hanya oleh satu kelompok yang hanya terdiri dari satu orang, lantas di manakah khalifah dari kelompok yang hanya beranggotakan satu orang ini, lebih-lebih kalau adanya khalifah menjadi syarat sah jihad...? Jika dikatakan: Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan senantiasa ada…” ini tidak menunjukkan jihad akan terus berlangsung sepanjang zaman. Artinya, sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ini tidak boleh kita pakai di waktu tidak adanya khalifah… Pernyataan ini bisa dijawab sebagai berikut: 105 Jihad, baik dilalukan sendirian atau bersama orang banyak, harus diperhatikan hasil akhirnya: maslahat atau mafsadah. Jika maslahatnya lebih besar daripada madhorotnya, jihad harus tetap dilaksanakan –dengan barakah Alloh—walaupun hanya satu orang, saat itu ia tidak perlu menoleh kepada komentar-komentar orangorang bathil dan para ‘provokator’. Namun, jika ternyata mafsadahnya lebih besar daripada mashlahatnya, maka saat itu haruslah sabar, rileks dan menunggu sampai mafsadah dan penghalang tersebut hilang dari jalan. Artinya, jihad disyari‘atkan untuk tujuan lain, bukan sekedar jihad itu sendiri (yaitu untuk idzhârud Dîn/ memenangkan agama Islam, penerj.)sedangkan mafsadah dan mashlahat haruslah diukur dengan kaidah-kaidah dan timbangan-timbangan syar‘i, bukan dengan yang lain. 106 Sebagai kiasan dari kematian. 122 Kata-kata: “Akan senantiasa ada…” mengandung arti terus berlangsungnya jihad di setiap zaman, baik ditinjua dari sisi bahasa maupun fakta sejarah, sebagaimana kami jelaskan dari perkataan para ulama tadi. Maka jika kita berada di suatu zaman tertentu yang kita tidak mengetahui adanya tempat dan aktifitas jihad dari tho’ifah muqotilah, bukan berarti kelompok tersebut tidak ada. Ketidak tahuan terhadap sesuatu merupakan indikasi adanya kekurangan, bukan ketidak adaan sesuatu tersebut. Kemudian, kalau kita terima –untuk sekedar mendebat dan menerima alasan mereka—bahwa sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam “Akan selalu ada…” tidak selalunya menunjukkan terus berlangsungnya jihad oleh Thoifah Muqotilah di putaran zaman atau di setiap zaman, tapi tidak mungkin kita bisa terima bahwa jihad kelompok ini akan hilang dan berhenti selama seratus tahun sejak tidak adanya khalifah seperti yang kita alami sekarang. • Di antara dalil yang lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya hijroh tidak akan terputus selama ada jihad.” Dalam riwayat lain: “Hijroh tidak diperangi.”107 akan terputus selama musuh masih Di waktu yang sama, ada riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: “Hijroh tidak akan terputus sampai taubat terputus. Dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.”108 107 Dikeluarkan Ahmad dan yang lain, As-Silsilah Ash-Shohihah: 1674. 123 Mafhum109 serta manthuq110 dari hadits ini menunjukkan pendapat yang menyatakan putusnya jihad, mau tidak mau harus mengatakan hijroh juga terputus; sedangkan mengatakan hijroh putus, otomatis harus mengatakan taubat terputus, padahal –berdasarkan ijma‘— taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat. Berarti, orang yang mengatakan jihad terputus di masa vakumnya khalifah –seperti di zaman kita ini—mau tidak mau harus mengatakan putusnya taubat; dan tak diragukan lagi ini adalah perkataan batil dan rusak karena ia menyelisihi nash, logika dan ijmak. • Dalil lain adalah firman Alloh ta‘ala: ‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ‬‫ﺠ‬  ‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻢ ِﺑﹶﺄ ﱠﻥ ﹶﻟ‬‫ﺍﹶﻟﻬ‬‫ﻮ‬‫ﻭﹶﺃﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﲔ ﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻯ ِﻣ‬‫ﺘﺮ‬‫ﺷ‬ ‫ﷲ ﺍ‬ َ ‫ِﺇﻥﱠ ﺍ‬ ‫ﺮﺀَﺍ ِﻥ‬ ‫ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬‫ﻭﹾﺍ ِﻹﳒِﻴ ِﻞ ﻭ‬ ‫ﺍ ِﺓ‬‫ﻮﺭ‬ ‫ﺘ‬‫ﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟ‬‫ﺣﻘ‬ ِ‫ﻴﻪ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺍ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ ﹶﻥ‬‫ﻳ ﹾﻘ‬‫ﻭ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ ﹶﻥ‬‫ﻴ ﹾﻘ‬‫ﷲ ﹶﻓ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻭ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻢ ِﺑ ِﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺑ‬ ‫ﻴ ِﻌ ﹸﻜ‬‫ﺒ‬‫ﻭﺍ ِﺑ‬‫ﺸﺮ‬ ِ ‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﷲ ﻓﹶﺎ‬ ِ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻭﻓﹶﻰ ِﺑ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﻈِﻴ‬ ‫ﺯ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺍﹾﻟ ﹶﻔ‬ “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa dan harta mereka dengan bahwasanya mereka memperolah surga, mereka berperang di jalan Alloh lalu mereka membunuh atau terbunuh; sebagai janji yang mesti dipenuhi untuknya dan benar di dalam Taurat, Injil dan AlQur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janji-Nya selain Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang engkau adakan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.”111 Ini adalah akad jual beli yang sudah selesai dan tidak perlu dibatalkan dalam waktu-waktu tertentu. Alloh ta‘ala membeli dari para hamba-Nya jiwa dan harta mereka dengan memberikan kepada mereka surga sebagai balasan dari jihad fi sabilillah. Akad pembelian ini berlaku atas seluruh kaum mukminin kapan pun mereka hidup, di zaman mana pun mereka hidup, baik di zaman adanya khalifah atau tidak ada…tidak ada yang ingin tertinggal dari akad jual beli ini atau tidak merasa ridho dengannya selain orang yang lebih memilih keluar total dari komunitas kaum mukminin. Orang yang mengatakan tidak ada jihad tanpa khalifah, mau tidak mau ia harus menghentikan akad jual beli yang berlangsung antara seorang hamba dengan Robbnya ketika khalifah tersebut tidak ada, padahal masa vakum ini barangkali akan memakan waktu ratusan tahun…maka, silahkan difikirkan kembali!! • Dalil yang lain adalah sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapa terbunuh membela hartanya maka ia syahid. Siapa terbunuh membela darahnya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela agamanya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela keluarganya, maka ia syahid.”112 Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena melawan kedzaliman yang menimpa dirinya, maka ia syahid.”113 108 Dikeluarkan Ahmad dan Abu Dawud, Shohihul Jami‘: 7469. Mafhûm adalah makna kebalikan dari makna yang bisa langsung difahami dari teks nash, di mana dilalah tersebut tidak disebutkan secara langsung, penerj. 110 Sedangkan manthuq adalah kebalikan mafhum; yaitu makna yang ditunjukkan dalam konteks nash, penerj. Wallohu A‘lam (lebih jelasnya silahkan melihat buku Al-Wadhih fî Ushulil Fiqh DR. Muhammad Sulaiman Al-Asyqor.) 109 124 111 At-Taubah: 111 Dikeluarkan Ahmad dan yang lain. Shohihul Jami‘ (6445) 113 Dikeluarkan An-Nasa’i dan yang lain. Shohihul Jami‘ (6447) 112 125 Maka, apakah akan kita katakan bahwa mereka ini disebut orang-orang yang mati syahid kalau terbunuh ketika ada khalifah, sedangkan jika terbunuh karena membela agama dan melawan kezaliman terhadap dirinya ketika masa kevakuman khalifah maka perlawanan mereka bathil dan mereka bukanlah orang-orang yang mati syahid..?!! Quraisy itu sampai mati, sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke Madinah. Sesampai di sana ia masuk ke dalam masjid dengan berlari terengah-engah. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tampaknya ia ketakutan.” Ketika orang itu menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ia mengatakan, “Demi Alloh dia telah bunuh temanku, dan aku benar-benar hendak dibunuhnya.” Tak lama kemudian datanglah Abu Bashir, ia mengatakan: “Wahai Nabi Alloh, demi Alloh, Alloh telah penuhi janjimu, engkau telah kembalikan aku kepada mereka kemudian Alloh selamatkan aku dari mereka.” Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tsakalithu Ummuhu, Abu Bashir adalah penyulut peperangan jika ia bersama para lelaki.”, ketika Abu Bashîr mendengar sabda beliau ini, ia mengerti bahwa beliau akan mengembalikannya kepada Quraisy. Akhirnya Abu Bashir keluar hingga sampai di Saiful Bahr. Dan di kalangan kaum Quraisy ada yang melarikan diri (dari Mekkah), di antaranya adalah Abu Jandal bin Suhail, ia bergabung dengan Abu Bashir, setelah itu tidak ada seorang quraisy pun yang keluar dan masuk Islam kecuali bergabung dengan Abu Bashir, sampai mereka bergabung menjadi satu kelompok. Demi Alloh, tidaklah mereka mendengar ada satu unta yang milik Quraisy yang berangkat menuju Syam kecuali mereka cegat, lalu mereka serang dan mereka ambil hartanya. Akhirnya kaum quraisy mengirim utusan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memohon dengan sangat dengan nama Alloh agar dikasihani orang yang dikirim, maka barangsiapa yang datang kepada beliau, dia aman. Akhirnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus agar Abu Bashir dan kawan-kawannya datang kepada beliau.”114 Kelima: Bahwasanya Abu Bashir dan beberapa shahabat yang bergabung dengannya –yang terkena imbas dari butir-butir perjanjian Hudaibiyah sehingga mereka tidak bisa bergabung dengan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di Madinah— menyergap kafilah-kafilah dagang dan memerangi kaum musyrikin tanpa seizin dan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di saat yang sama, beliau tidak mengingkari jihad yang mereka lakukan hanya lantaran mereka berjihad tanpa seizin imam yang ketika itu dijabat oleh beliau sendiri, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Bukhori meriwayatkan di dalam Shohih-nya: “Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pulang ke Madinah. Datanglah Abu Bashir, lelaki dari Quraisy yang masuk Islam ketika itu. Maka kaum Quraisy mengutus dua orang untuk menyusulnya, mereka mengatakan, “Mana janji yang kau sepakati dengan kami?” akhirnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan Abu Bashir kepada kedua orang utusan Quraisy tersebut. Keduanya pun keluar dan membawanya sampai di Dzul Hulaifah. Mereka kemudian singgah sebentar untuk memakan kurma. Kemudian, Abu Bashir mengatakan kepada salah seorang dari mereka: “Demi Alloh, aku melihat pedangmu ini bagus wahai Fulan.” Maka yang seorang lagi menghunusnya seraya berkomentar, “Benar, demi Alloh ini memang pedang bagus. Aku sudah mencobanya, aku sudah mencobanya.” Abu Bashir berkata, “Coba saya ingin melihat.” Ia pun memberikan pedang itu kepada Abu Bashir. Begitu pedang diberikan kepada Abu Bashir, ia langsung menebas utusan 126 Pertanyaannya sekarang: “Jika para shahabat saja boleh berperang di zaman adanya Imam tertinggi, Muhammad 114 Shohih Bukhori (2581) 127 Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa seizin dan perintahnya – dikarenakan kondisi dan butir perjanjian Hudaibiyah—maka bagaimana perang di jalan Alloh di masa vakum dari khalifah tidak boleh, padahal kevakuman itu bisa jadi disebabkan karena kondisi terpaksa seperti saat ini?! Keenam: Banyak para shahabat dan tabi‘in yang melewati masa perang tanpa adanya khalifah, seperti Zubair bin ‘Awwam, Mu‘awiyah, Amru bin Al-‘Ash, Al-Husain bin ‘Ali, Abdulloh bin Zubair dan para shahabat yang lain– ridhwanulloh ‘alaihim ajma‘in—. Juga seperti yang terjadi pada waktu perang Mu’tah, di mana para shahabat mengangkat Kholid sebagai pemimpin mereka ketika para komandan mereka terbunuh dan ketika itu pemimpin tertinggi tidak ada di antara mereka –yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam—Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallampun ridho dengan apa yang mereka lakukan ini. Demikian juga dinasti Bani Umayyah dan ‘Abbasiyah serta ‘Utsmaniyah. Mereka melewati masa perang dan jihad sebelum tegaknya Negara dan Kekhilafahan, serta sebelum pengangkatan Pimpinan Umum kaum muslimin, sementara tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari perang yang mereka lakukan lantaran mereka melakukannya tanpa adanya Khalifah atau sebelum Pengangkatan Imam umum atas kaum muslimin. Meskipun kala itu sedang vakum dari khalifah, kaum muslimin tetap terjun ke medan pertempuran paling membanggakan kaum muslimin sampai hari ini, yaitu pertempuran ‘Ain Jalut melawan Tartar tahun 658 H. Ini terjadi di saat masih adanya sekian banyak ulama, seperti ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam dan lain-lain. Namun tidak ada seorangpun yang mengatakan, ‘Bagaimana kita berjihad padahal kita tidak punya khalifah?’ Bahkan komandan kaum muslimin dalam perang ini (Saifuddin Quthz) mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir setelah Putra ustadznya diturunkan dari Kesultanan karena dianggap masih kecil, para qodhi dan para ulama merestuinya dan kemudian membaiat Quthz sebagai sultan. Ibnu Katsir bahkan menganggap tindakan Quthz ini merupakan nikmat Alloh atas kaum muslimin, sebab melalui dia lah Alloh luluh lantakkan persenjataan Tartar116. Demikian juga dengan jihad dan peperangan yang dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh melawan orang-orang kafir Tartar dan orang-orang Zindiq Bathiniyah, di zaman ketika tidak ada imam, di waktu para penguasa lari dari beban tanggung jawab terhadap bangsa dan negerinya..!! Ibnu Taimiyah menganggap kelompok-kelompok perang di zaman tersebut termasuk Thô’ifah Manshuroh, beliau mengatakan: “Adapun kelompok-kelompok yang ada di Syam, Mesir dan lain-lain, maka sekarang ini merekalah orang-orang yang berperang membela Islam dan merekalah manusia yang paling berhak masuk ke dalam katagori Tho’ifah Manshuroh.”117 Masa yang paling terkenal adalah tiga tahun sejak tahun 656 H –saat itu, pasukan Tartar membunuh khalifah ‘Abbasiyah, Al-Mu‘tashim, di Baghdad—hingga tahun 659 H, di tahun inilah khalifah pertama di Mesir dibai‘at115. 116 115 117 Al-Bidayah wan Nihayah (XIII/ 231) 128 Al-Bidayah wan Nihayah (XIII/ 216) Majmu‘ Fatawa (28/ 531) 129 Demikian juga jihad dan perang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah melawan orang-orang musyrik para penyembah kuburan dan sebagainya, tanpa adanya khalifah, tanpa izin dan perintah darinya, dan para ulama Jazirah Arab menyetujuinya –semoga Alloh ta‘ala merahmati mereka semua—dan tidak mengingkarinya yang berperang tanpa adanya khalifah dan imam. Ketujuh: Hadits ‘Ubadah bin Shomit: “Kami berbaiat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di antara yang beliau ambil sumpah dari kami adalah: hendaknya kami berbaiat untuk mendengar dan taat, baik suka maupun tidak suka, ketika mudah maupun sulit ketidak adilan yang menimpa kami, dan hendaknya kami tidak merampas kepemimpinan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang nyata, kamu memiliki keterangan dari sisi Alloh tentangnya.”118 ‘Alaihi wa Sallam untuk memerangi pemimpin dan memberontaknya apabila ia kufur. Maka kami tanyakan kepada orang-orang yang melontarkan syubhat ini: Bagaimana kaum muslimin akan berperang dalam kondisi seperti ini padahal tidak ada imam? Jawaban syar‘inya adalah hendaknya mereka melakukan seperti yang dilakukan shahabat pada waktu perang Mu’tah, yaitu mengangkat salah seorang sebagai pemimpin. Kedelapan: Perkataan ini mengakibatkan munculnya celaan dan keragu-raguan terhadap sah tidaknya jihad yang dilakukan harokah-harokah jihad hari ini, yang telah sungguhsungguh bangkit melakukan perlawanan di hadapan para Taghut yang lalim demi tegaknya Khilafah Rasyidah serta memulai kembali babak baru kehidupan Islami di semua lapisan dan tingkatan. Ini adalah khalifah atau imam ketika ia kufur dan gugur kepemimpinannya, dan wajib melawannya, memerangi dan menurunkannya serta mengganti dengan imam yang adil. Dan ini adalah wajib berdasarkan ijma‘ sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar119. Menyedihkankan sekali, itulah yang kami terima dari orang-orang yang melontarkan pendapat batil ini. Tidak ada jihad yang tegak di jengkal bumi manapun kecuali mereka bersegera –sebelum musuh dari para thoghut yang kafir— melesakkan “panah” berupa tuduhan, sikap antipati dan memunculkan keraguan terhadap keabsahan jihad tersebut, keabsahan loyalitas dan ketulusan para mujahidin..!! Apakah akan kita katakan: Kita tidak akan keluar melawan penguasa kafir sebab tidak ada imam? Dari mana kita akan memperoleh imam sementara ia telah kufur dan wajib dilawan? Ataukah kita tunggu imam yang tidak ada dan kita biarkan kaum muslimin dihantam fitnah kekufuran dan kerusakan? Apakah ini patut diucapkan seorang Muslim? Sesung-guhnya hadits tadi berisi penjelasan Nabi Shollallohu Kesembilan: Perkataan ini sebenarnya tidak akan dilontarkan selain oleh musuh umat Islam yang jahat dan melampaui batas, yaitu para penjajah dan yang semisal, yang bekerja untuk bisa semakin menancapkan kuku kekuasaan dan kepemimpinannya di tanah air Umat Islam guna menimpakan siksaan, kehinaan dan kerendahan terhadap negeri dan rakyatnya. 118 Hal itu terbukti dengan dihalanginya kaum muslimin untuk bangkit melaksanakan kewajiban jihad yang dipikulkan Muttafaq ‘Alaih, ini adalah lafadz Muslim. 119 Shohîh Muslim bi Syarhin Nawawi juz 12 hal. 229 dan Fathul Bari juz 13 hal. 7, 8, 123. 130 131 di pundak mereka, dan dihalanginya mereka untuk membersihkan tanah air dari najis dan serangan musuh. nantinya dari sanalah dikumandangkan..! Musuh yang kafir tidak menginginkan dari Anda lebih dari itu, lebih dari menghentikan umat, melemahkan serta mencegah agar jangan sampai bangkit kembali untuk melaksanakan kewajiban jihad melawannya. Jihad, yang musuh-musuh Islam tidak takut dari umat Islam selain itu!! Anehnya, syubhat ini menggelayuti menisbatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah. Kesepuluh: Syubhat ini sebenarnya adalah pokok akidah kaum Syi‘ah. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Aqidah Thohawiyah: “Hajji dan jihad akan terus berjalan bersama pemimpin kaum muslimin..” gelora jihad dan perang akan orang yang Kemunculan syubhat-syubhat seperti ini adalah sunnah qodariyyah yang berlangsung dan akan terus berlangsung selama masih ada kelompok yang berjihad dan melaksanakan perintah Alloh –dan kelompok ini akan selalu eksist sampai turunnya ‘Isâ ‘Alaihis Salam—. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan selalu ada satu kelompok dari ummatku yang melaksanakan perintah Alloh, tidak terpengaruh oleh orang yang melemahkan atau menyelisihi mereka sampai datang ketetapan Alloh dan mereka menang atas manusia.”121 Pen-Syarah berkata: “Syaikh Rahimahulloh mengisyaratkan bantahan terhadap kelompok Rafidhah yang mengatakan, ‘Tidak ada Jihad Fi Sabilillah sampai datangnya keridhoan keluarga Muhammad dan sampai Penyeru dari langit memanggil: Ikutilah dia!’ Alloh ta‘ala berfirman: Batilnya perkataan ini terlalu jelas untuk dibuktikan dengan dalil.”120 Di saat Syi‘ah menyelisihi aqidah mereka sendiri dengan diawalinya Revolusi Khumaini –yang itu merupakan bukti rusaknya keyakinan yang tertulis di buku-buku mereka—, kaum Syi‘ah merasa dalam kesulitan besar lantaran terikat oleh teori-teori dibuat-buat yang tidak bisa dibuktikan baik oleh dalil maupun logika, yang akhirnya memaksa mereka membuat pemikiran baru untuk mengeluarkan mereka dari dilema dan kesulitan ini. Akhirnya mereka tampil di hadapan kaumnya dengan mengusung jargon pemikiran “Kepemimpinan Orang Fakih(wilayatul faqih)”, di mana seorang fakih diberi kelayakan dan tugas seorang imam yang ‫ﻣ ﹶﺔ َﻵِﺋ ٍﻢ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺎﻓﹸﻮ ﹶﻥ ﹶﻟ‬‫ﻳﺨ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﻳﺠ‬ “…mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang suka mencela…”122 Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira kepada mujahidin dengan kemenangan dan bahwa orang-orang yang melemahkan dan menyelisihi itu tidak akan mempengaruhi mereka, semua itu tak lain adalah fitnah (ujian) untuk menyaring barisan. 121 120 Syarah ‘Aqidah Thohawiyah, terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H hal. 437. 132 122 Muttafaq Alaih. Al-Ma’idah: 54 133 Masalah: Adakah Perbedaan Antara Jihad Difâ‘ Dan Jihad Tholab Dalam Pensyaratan Keharusan Adanya Imam Dan Khalifah, Ataukah Kedua Jenis Jihad Itu Bisa Dijalankan Tanpa Adanya Imam/ Pimpinan Umum? Kami jawab pertanyaan ini dengan beberapa point berikut ini: Pertama: Tidak ada dalil syar‘i yang shohih yang mensyaratkan adanya Imam Umum dalam jihad tholab, apalagi jihad difa‘. Kedua: Dalil-dalil yang memerintahkan untuk berjihad –baik yang tholabi maupun yang difa‘i—tercantum secara mutlak tanpa ikatan syarat apapun. Ketiga: Jihad tholabi biasa dilakukan para shahabat tanpa seizin dan perintah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam; seperti perang dan jihad yang dilakukan Abu Bashir dan kawan-kawan ketika menyerang kaum musyrikin Quraisy dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari nya. Ini menunjukkan berarti itu boleh dilakukan, walhamdulillah.. Keempat: Meskipun demikian, jika seorang Imam atau Amir memerintahkan seseorang, atau satu jama‘ah, atau satu negeri untuk jangan bergerak menyerang musuh terlebih dahulu karena pertimbangan maslahat yang pasti yang ia ketahui, maka mereka wajib mentaati Amir tersebut dan wajib melaksanakan perintahnya. Kelima: Adapun jika imam menghentikan jihad secara mutlak terhadap musuh yang musyrik, membuang misi jihad dari agenda tugas yang ia emban dan melarang umat untuk melaksanakannya, maka umat tidak boleh mentaatinya dalam 134 hal itu, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq, Alloh ‘azza wa jalla. Keenam: Pembebasan negeri-negeri kaum muslimin yang terampas oleh musuh sekarang ini –dan begitu banyak negeri terampas—, jihad untuk menegakkan Khilafah Rosyidah, jihad dalam rangka mengangkat seorang Pimpinan Utama yang memberlakukan hukum yang diturunkan Alloh di semua penjuru negeri Kaum Muslimin di muka bumi, jihad untuk melenyapkan kezaliman yang sedang meluas dan dilakukan thoghut-thoghut terhadap kaum muslimin di negeri mereka, maka jihad seperti ini semuanya adalah jihad difâ‘, sampai umat ini keluar dari masa berat dan genting seperti saat sekarang. Jika sudah, barulah ketika itu kita bisa bisa tentukan titik tolak perdebatan dari awal. Oleh karena itu, sekarang sebenarnya tidak ada kesulitan menghadapi orangorang yang melontarkan syubhat ini. Ketujuh: Perbedaan antara jihad difâ‘ dan jihad tholab adalah: Jihad difa‘ merupakan kewajiban fardhu ain yang harus dilaksanakan oleh semua lapisan kaum muslimin semampunya dan sesuai kedekatan mereka dengan tempat terjadinya peperangan, sebagaimana disebutkan secara rinci dalam buku-buku fikih. Sementara jihad tholab adalah fardhu kifayah, jika salah satu kelompok dari umat ini sudah melaksanakan, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Wallohu Ta‘ala A‘lam, Alloh ta‘ala lebih mengetahui. Syubhat Kedua: Kedua: Tidak Ada Jihad Sebelum Menuntut Ilmu. Ilmu. Jawaban: Jika mereka yang melontarkan ucapan ini –yaitu wajib menuntut ilmu sebelum berjihad— maksudnya adalah ilmu syar‘i yang fardhu ‘ain, maka kami katakan: ilmu seperti ini bisa diperoleh dalam tempo sangat singkat dan tidak diharuskan bagi semua orang untuk mengerti dalil-dalil 135 syar‘inya secara terperinci. Ini seperti dinukil Ibnu Hajar dari Al-Qurthubi ia berkata, yang memahami agama dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”124 “Inilah yang dipegangi para a’immah ahli fatwa dan para ulama salaf sebelumnya. Sebagian mereka berhujjah dengan perkataan mengenai prinsip fithroh yang sudah dibahas dan berdasarkan riwayat mutawatir dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi orang pedalaman Badui yang masuk Islam sebagai orang Muslim yang sebelumnya adalah penyembah berhala. Para shahabat menerima ikrar dua kalimat syahadat dari kaum Badui tersebut disertai kesiapan untuk melaksanakan hukum-hukum Islam tanpa harus mempelajari dalil-dalil.”123 Seperti Anda lihat, dalam ayat ini Alloh ta‘ala membagi manusia kepada orang yang bertafaqquh dan yang tidak, sebagaimana termaktub dalam firman Alloh ta‘ala: Namun jika yang mereka maksud adalah ilmu syar‘i yang fardhu kifayah dan seorang muslim tidak bisa berjihad sampai memperoleh ilmu syar‘i dalam kadar tertentu, maka ini keliru dari dua sisi: ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﺘ‬‫ﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ ﱢﺬ ﹾﻛ ِﺮ ِﺇ ﹾﻥ ﻛﹸﻨ‬ ‫ﺴﹶﺄ ﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃ‬  ‫ﹶﻓ‬ “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”125 Sedangkan orang Alim yang bertafaqquh itu diperintahkan mengajari manusia, baik dengan menjawab pertanyaanpertanyaan mereka, atau memulai dia yang memulai menerangkan kebenaran jika mereka tidak bertanya, sebagaimana firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”126 Juga firman Alloh ta‘ala: Sisi pertama: Ia menjadikan sesuatu yang fardhu kifayah sebagai fardhu ain. Ini juga mengakibatkan hilangnya mashlahat-mashlahat kaum muslimin dengan sikap berpangku tangan mereka dari berjihad dengan dalih menuntut ilmu terlehih dahulu, padahal Alloh ta‘ala melarang hal ini dengan firman-Nya: ‫ﻢ ﻃﹶﺂِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺮﹶﻗ ٍﺔ ﻣِﻨ‬ ‫ﺮ ﻣِﻦ ﹸﻛ ﱢﻞ ِﻓ‬ ‫ﻧ ﹶﻔ‬ ‫ﻮ ﹶﻻ‬ ‫ﻭﺍ ﻛﹶﺂﹶﻓ ﹰﺔ ﻓﹶﹶﻠ‬‫ﻨ ِﻔﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮ ﹶﻥ ِﻟ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺎﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺤ ﹶﺬﺭ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻌﱠﻠ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻮﺍ ِﺇﹶﻟ‬‫ﺟﻌ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﺍ ﹶﻗ‬‫ﻨ ِﺬﺭ‬‫ﻭِﻟﻴ‬ ‫ﻳ ِﻦ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪ‬‫ﺘ ﹶﻔ ﱠﻘﻬ‬‫ﻴ‬‫ِﻟ‬ “Dan tidak selayaknya kaum mukminin semuanya pergi berperang. Mengapa tidak ada satu kelompok dari golongan 123 Fathul Bârî (XIII/ 352) 136 “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…”127 Demikian juga orang awam yang bukan mutafaqqih, ia diperintahkan untuk bertanya kepada orang alim mengenai perkara agama yang tidak ia ketahui sebagaimana dalam ayat surat An-Nahl tadi. Jika orang alim melihat orang awam mengerjakan sesuatu atas dasar ketidaktahuan kemudian ia juga tidak bertanya, maka orang alim itu harus segera memberikan nasehat dan 124 At-Taubah: 122 An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya’: 7 126 At-Taubah: 122 127 Al-An‘am: 151 125 137 pengajaran, sesuai firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka 128 waspada.” Juga firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…” Sisi kedua: Ia menjadikan sesuatu yang bukan syarat dalam jihad sebagai syarat. Sesungguhnya orang yang mewajibkan manusia menuntut ilmu sebelum berjihad, kita mesti menanyakan dulu: Apa dalil perkataan Anda ini, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah? Di sini, kami sendiri akan coba menjawabnya, kami katakan: Perkataan Anda ini tidak berlandaskan satu dalil pun, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam urusan kita yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.”129 Oleh karena itu, perkataan orang yang mengatakan perkataan ini adalah kebid‘ahan dalam agama yang tertolak dan tidak diterima. Kemudian, kita juga mesti bertanya kepadanya: Apa dalil perkataan Anda ini dari sirah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atau sirah para Salafus Sholih dari kalangan para shahabat serta orang-orang setelahnya? Apakah mereka mengharuskan setiap muslim untuk mencari ilmu sebelum berjihad? Dan apakah mereka mengujikan ilmu tersebut kepada pasukan perang? 128 129 At-Taubah: 122 Muttafaq ‘Alaih. 138 Padahal dulu para shahabat yang menyertai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H ada 1400 orang, pada waktu Fathu Makkah tahun 8 H ada 10.000 shahabat. Tak sampai sebulan kemudian setelah Fathu Makkah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berangkat menuju Hunain bersama 12.000 orang; 10.000 orang di antaranya yang menyertai beliau memasuki Mekkah, 2.000 sisanya adalah orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Makkah. Lantas, kapan orang-orang itu belajar sementara mereka telah keluar menuju perang Hunain dan keislaman mereka belum lewat satu bulan? Apakah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada mereka: Kalian adalah orangorang yang baru masuk Islam, maka jangan berperang bersama saya sampai kalian belajar ilmu terlebih dahulu? Ternyata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengijinkan mereka berjihad bersama beliau, justeru pada saat peperangan itulah mereka bisa belajar dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada mereka apa yang wajib bagi mereka. Ini sebagaimana disebutkan Abu Waqid Al-Laitsi RA ia berkata, “Kami berangkat bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menuju Hunain ketika kami baru saja keluar dari kekufuran (baru masuk Islam). Ketika itu kaum musyrikin memiliki pohon Sidroh yang mereka beribadah dan menggantungkan senjata-senjata mereka di sana, namanya adalah Dzatu Anwath. Kemudian kami melewati pohon tersebut, maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allohu Akbar, sungguh itu adalah tradisi, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah katakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: “Jadikanlh 139 sesembahan-sembahan buat kami sebagaimana mereka juga punya sesembahan. Musa berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.”130 kalian benar-benar akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.”131 Dari penjelasan tadi, Anda mengetahui bahwa ilmu bukan merupakan syarat wajibnya jihad, bahkan kalau seseorang memiliki kekurangan dalam mencari ilmu yang wajib ‘ain sekalipun, kekurangan dia ini tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap berjihad. Sebagaimana yang bisa dilihat – bagi siapa yang ingin mencari kebenaran, tidak sombong dan tidak keras kepala— bahwa ilmu syar‘i tidak masuk ke dalam syarat-syarat yang telah disebutkan tadi. Dan ini bukan hanya Ibnu Qudamah yang mengatakan. Saya tidak temukan dalam kitab fikih mana pun –sejauh yang saya telaah— yang mensyaratkan syarat ini. Dalam hal ini cukuplah bagi Anda sebuah hadits riwayat Bukhori Rahimahullah dari Al-Barro’ RA ia berkata: Syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah, ia berkata, Datang seorang lelaki yang menghunus besinya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Wahai Rosululloh, aku berperang ataukah masuk Islam dulu?” beliau bersabda, “Masuk Islamlah kemudian berperang.” Maka iapun masuk Islam, kemudian berperang sampai terbunuh. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia beramal sedikit dan diberi pahala banyak.”134 “Dan syarat wajibnya jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya dan adanya biaya.”132 Ini ditambah lagi syarat adanya izin dari kedua orang tua dan orang berhutang kepada yang, masih menurut Ibnu Qudamah.133 Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah. Adapun jika jihad menjadi fardhu ain, gugurlah sebagian sembilan syarat ini dan tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki –kecuali mereka yang tidak mensyaratkannya—selamat dari mara bahaya. Tidak disyaratkan adanya nafkah jika musuh telah memasuki negeri, atau musuh tersebut berada tidak sampai pada jarak qoshor –menurut salah satu pendapat. Yang semisal adalah hadits: “Pulanglah, aku tidak akan minta tolong kepada orang musyrik.” Konon, orang musyrik ini kemudian masuk Islam dan ikut berperang yaitu pada perang Badar.135 Sebagaimana Anda lihat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan seorangpun dari dua orang musyrik ini untuk pergi mempelajari agamanya sebelum mengijinkan berperang kepadanya, tetapi beliau mencukupkan dengan iman yang mujmal (global). Seandainya ilmu adalah syarat wajibnya jihad, tentu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan orang ini berperang bersama beliau sebelum menuntut ilmu. Dari sini 130 Al-A‘rof: 138 HR. Tirmizi. 132 Al-Mughni was Syarhil Kabir juz X hal. 366. 133 Juz X hal. 381-384. 131 140 134 135 HR. Muslim. HR. Muslim dari Aisyah. 141 Anda tahu bahwa ilmu bukanlah syarat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh, maka syarat itu batil meskipun seratus syarat.”136 Dengan demikian, kini Anda mengerti bahwa perkataan ini –wajibnya mencari ilmu sebelum jihad—adalah perkataan bathil dan mengakibatkan terhentinya jihad yang menurut kami adalah fardhu ain atas sebagian besar kaum muslimin hari ini. Saya berharap perkataan batil ini tidak menjadi pembenaran bagi sebagian orang untuk duduk dari jihad. Syubhat ketiga: Apakah sifat adil termasuk syarat di dalam jihad? Jawaban: Kepada orang yang mengatakan bahwa kita tidak akan berjihad sampai kita penuhi tarbiyah iman dengan sempurna, kami ingin menanyakan dua pertanyaan: Pertanyaan pertama: Apakah tujuan dari tarbiyah ini adalah sampai seorang muslim mencapai “keadilan syar‘i” ataukah martabat yang lebih tinggi lagi? Pertanyaan kedua: Apakah keadilan termasuk syarat wajibnya jihad? Maknanya, seorang muslim tidak boleh berjihad sampai ia menyandang sifat adil? Dan apakah berarti kewajiban jihad gugur dari orang fasik? Pertama kali, kami akan sebutkan definisi adil, kami katakan: Adil adalah lurusnya agama seorang Muslim. Ada juga yang berpendapat, orang adil adalah orang yang tidak meragukan. Tidak meragukan di sini terdiri dari dua perkara: Kesalehannya agama, yaitu menunaikan yang fardhu 136 HR. Bukhori. 142 dan yang sunnah serta menghindari yang haram, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Kedua, memenuhi muru’ah dengan melakukan perbuatan yang menjadikan dirinya baik dan memperbagus diri serta meninggalkan perkara yang membuat dirinya kotor dan jelek.”137 Kemudian kita sebutkan syarat wajib jihad –dan sudah saya sebutkan pada bagian yang lalu—yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki, selamat dari marabahaya, merdeka, adanya biaya, izin kedua orang tua serta orang yang berhutang.138 Ini dalam jihad fardhu kifayah. Adapun dalam jihad fardhu ain, maka syaratnya hanya lima syarat pertama saja. Sebagaimana Anda lihat sendiri, di sini sifat adil bukan termasuk syarat. Kalau sudah jelas bahwa adil bukanlah syarat wajib jihad, secara otomatis gugur sudah perkataan orang yang mengatakan harus ada tarbiyah terlebih dahulu sampai seorang muslim mencapai derajat keadilan sebelum ia berjihad, selanjutnya gugur pulalah perkataan orang yang mensyaratkan adanya derajat keadilan yang lebih tinggi lagi. Bahkan, para fuqoha menerangkan kebalikan dari itu, yaitu boleh minta bantuan orang fasik dan munafik dalam perang. Asy-Syaukani berkata: “Dikatakan dalam Al-Bahr: ‘Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafik berdasarkan ijma‘, sebagaimana ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta bantuan kepada Abdulloh bin Ubay dan para pengikutnya. Diperbolehkan juga meminta bantuan orang-orang fasik dalam menghadapi orang-orang kafir 137 Manârus Sabîl Syarhud Dalil cetakan Al-Maktab Al-Islâmî 1404 H juz II hal. 487, 488. 138 Al-Mughnî was Syarhul Kabîr juz X hal. 366, 381, 384. 143 berdasarkan ijma‘. Boleh juga meminta tolong kepada para pemberontak (bughot) menurut kami, sebab ‘Ali Alaihis Salam melakukannya terhadap pasukan Al-Asy‘ats.”139 Dikatakan di dalam Al-Majmu‘: “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam Ahkamul Qur’an: Jihad wajib tetap dijalankan bersama orang-orang fasik sebagaimana wajibnya bersama orang adil. Dan semua ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan apakah jihad itu dilakukan bersama orang fasik atau orang adil yang sholeh. Dan sesungguhnya ketika orang-orang fasik berjihad, status mereka adalah orang yang taat dengan jihad yang ia lakukan.”140 Ibnu Hazm berkata –setelah menyebutkan hadits: “Sesungguhnya Alloh menolong agama ini dengan kaum yang tidak memiliki nilai.” Dan hadits: “Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan agama ini dengan orang yang fajir.”— Ia berkata: “Ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada kaum yang disebutkan sifatnya dalam hadits ini, untuk melawan orang-orang yang memerangi dan dalam melawan para pemberontak, mereka adalah orang-orang fajir dari kaum muslimin yang mereka itu tidak memiliki kedudukan. Demikian juga, orang-orang fasik terkena kewajiban jihad dan terkena kewajiban untuk melawan para pemberontak sebagaimana orang mukmin yang baik. Tidak boleh melarang orang-orang fasik untuk berjihad, tetapi justeru bagaimana mengajak mereka kepadanya.”141 139 Nailul Author juz 8 hal 44. Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab juz 19 hal. 279. 141 Al-Muhalla juz 11 hal. 113, 114. s 140 144 Ahlus Sunnah wal Jama‘ah memperbolehkan perang bersama Amir yang jahat dengan keterangan rincinya. Jika keluar berperang dengan orang jahat yang diikuti saja boleh (yaitu bersama Amir), maka keluar berperang bersama orang yang menjadi pengikut tentu lebih boleh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh panjang lebar menerangkan masalah ini. Di antara yang saya nukil di bab ketiga adalah kata-kata beliau: “Jika kebetulan ada orang yang memerangi mereka dengan kriteria sempurna, maka itulah tujuan utama dalam mencapai keridhoan Alloh, memuliakan kalimat-Nya, menegakkan agama-Nya dan mentaati rosul-Nya. Namun jika ada yang terdapat dalam dirinya kejahatan dan niat yang rusak, yaitu ia berperang demi mendapatkan kepemimpinan atau berkelakuan melampaui batas dalam beberapa perkara kepada mereka, sementara kerusakan dari tidak diperanginya musuh lebih besar terhadap din daripada kerusakan memerangi mereka dengan kondisi seperti ini, maka yang wajib adalah tetap memerangi musuh demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil. Karena ini termasuk prinsip Islam yang harus diperhatikan. Oleh sebab itu, di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah berperang bersama orang baik maupun jahat. Sebab Alloh bakal menguatkan agama ini dengan orang jahat dan dengan kaum yang tidak memiliki nilai, sebagaimana dikhabarkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan juga, jika perang tidak berjalan kecuali dengan para pemimpin yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak terdapat kejahatannya, maka pasti akan terjadi dua kemungkinan: Perang tidak dijalankan bersama mereka sehingga pasti akan mengakibatkan fihak lain berkuasa, 145 dan ini lebih besar bahayanya terhadap agama dan dunia; atau tetap berperang bersama pemimpin yang jahat sehingga tetap ada perlawanan terhadap kejahatan yang lebih besar dan kebanyakan syari‘at Islam tetap bisa ditegakkan meski tidak semuanya. Pilihan kedua inilah yang wajib dalam kondisi seperti ini atau kondisi apa saja yang semisal, bahkan kebanyakan perang pasca kekuasaan Khulafa’ur Rosyidin tidak terjadi kecuali seperti ini kondisinya... pemimpin secara mutlak meskipun mereka bukan orang baik.”142 Perkara ini adalah baku yang kemudian menjadi prinsip tertulis dalam masalah-masalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah, sebagaimana dinukil dari Syarah ‘Aqidah Thohawiyah dalam bab ketiga. Di antara yang disebutkan di sana adalah: “Hajji dan jihad tetap berjalan bersama pemimpin Kaum Muslimin yang baik maupun yang jahat, hingga hari kiamat, tidak dibatalkan dan dihilangkan oleh apapun.”143 hingga beliau Rahimahulloh berkata: “Jika seseorang mengetahui jihad yang diperintahkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam akan dilaksanakan para pemimpin hingga hari kiamat dan mengetahui larangan beliau untuk membantu kezaliman orang yang dzalim, ia akan tahu bahwa jalan tengah yang merupakan ajaran Islam murni adalah berjihad bersama orang yang berhak diajak berjihad seperti kaum diperintahkan tadi, baik bersama pemimpin atau kelompok, mereka itu lebih layak terhadap Islam daripada mereka. Jika jihad tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara itu, selama ia tidak membantu kelompok tempat ia bergabung dalam hal maksiat kepada Alloh, maka hendaknya ia mentaati mereka dalam ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka dalam maksiat kepada-Nya, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq. Dari keterangan di atas, Anda bisa melihat bahwa jihad bersama orang fasik yang memimpin maupun yang menjadi pasukan adalah boleh berdasarkan ijma‘, bahkan wajib jika menolak orang-orang kafir tidak bisa dilakukan selain berjihad bersama orang-orang fasik, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahulloh tadi. Prinsip pokok dalam permasalahan ini adalah: jihad diperintahkan kepada orang-orang beriman, sebagaimana firman Alloh ta‘ala: ‫ﺏ ﹶﺃﻟِﻴ ٍﻢ‬ ٍ ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﺠِﻴﻜﹸﻢ‬‫ﺭ ٍﺓ ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ِﺗﺠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺩﱡﻟﻜﹸ‬ ‫ﻫ ﹾﻞ ﹶﺃ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍِﻟ ﹸﻜ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﷲ ِﺑﹶﺄ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬‫ﺎ ِﻫﺪ‬‫ﺗﺠ‬‫ﻭ‬ ‫ﻮﻟِ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﺗ‬ {10} ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﻮ‬‫ﻢ ﹸﺫﻧ‬ ‫ﺮ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻐ ِﻔ‬ ‫ﻳ‬ {11} ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻢ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨ‬ ‫ﺮ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ُ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻢ ﹶﺫِﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺴ ﹸﻜ‬ ِ ‫ﻭﺃﹶﻧ ﹸﻔ‬ ‫ﺕ‬ ٍ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺪ ِﺧ ﹾﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ Inilah jalan yang ditempuh orang-orang terbaik umat ini, baik yang dulu atau sekarang. Itu juga kewajiban bagi setiap mukallaf. Inilah jalan pertengahan antara jalan kelompok Haruriyyah dan semisalnya yang menempuh jalan kehati-hatian rusak karena minimnya ilmu, dan jalan kelompok Murji’ah dan semisalnya yang mentaati 142 143 146 Majmu‘ Fatawa juz 28 hal. 506-508. Syarah Aqidah Thohawiyyah terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H, hal. 437. 147 “Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosulNya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga…”144 Dan ayat-ayat lainnya. Ayat ini adalah perintah berjihad kepada kaum mukminin serta orang yang memiliki dosa-dosa: “Dia akan mengampuni dosa kalian…” Ayat ini menunjukkan bahwa sudah terbiasanya seorang mukmin berbuat dosa tidak berarti menggugurkan perintah jihad darinya. Sedangkan orang fasik sebesar apapun dosanya, keimanan tetap tidak tercabut dari dalam dirinya secara total, sebab ia masih memiliki muthlaqul iman yang menjadikan ia harus menanggung beban syariat, meskipun ia tidak memiliki iman muthlaq (iman yang sempurna). Berkumpulnya ketaatan dan kemaksiatan dalam diri seorang hamba adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Ini diambil dari kaidah umum bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Seperti dalam riwayat Bukhori dari Umar RA bahwasanya ada seorang lelaki di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bernama ‘Abdulloh, ia biasa dipanggil Himar, dia selalunya membuat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tertawa. Pernah beliau mencambuknya lantaran minum khomer. Suatu hari ia datang kepada beliau kemudian diperintahkan agar dicambuk, maka ada seseorang yang mengatakan: “Ya Alloh, laknatlah dia. Betapa seringnya ia melakukan dosa.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kau laknat dia, demi Alloh engkau tidak tahu bahwa dia mencintai Alloh dan rosulNya.” Inilah seorang shahabat, meskipun kemaksiatan yang ia lakukan yaitu minum khomer, namun ia masih memiliki nilai ketaatan berupa cinta kepada Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan kecintaan ini termasuk cabang iman terbesar, coba renungkan derajat kecintaan kepada Alloh dan rosul-Nya dalam ayat yang membatalkan delapan uzur jihad dalam surat At-Taubah: “Katakanlah jika bapak-bapak kalian …dst.”145 Selain itu, pelaku maksiat mendapatkan manfaat khusus dari jihad, yaitu bisa menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah Rahimahullah setelah mengkomentari ayat dalam surat Ash-Shoff tadi: “Dan siapa yang banyak dosa, maka obat termanjurnya adalah jihad. Sesungguhnya Alloh ta‘ala mengampuni dosa-dosanya sebagaimana Alloh khabarkan dalam kitabNya: “Dia akan mengampuni dosa kalian…” Dan barangsiapa ingin membebaskan diri dari barang haram dan ingin bertaubat sementara ia tidak bisa mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, hendaknya ia infakkan di jalan Alloh dengan mengatasnamakan pemiliknya, sebab itulah cara yang baik untuk bisa terbebas darinya, ditambah lagi ia mendapat pahala jihad.”146 Dari penjelasan di atas, Anda tahu bahwa kefasikan tidak menggugurkan beban kewajiban jihad; orang fasik pun 145 144 146 Ash-Shoff: 10, 11, 12 148 At-Taubah: 24 Majmu‘ Fatawa juz 28 hal. 421, 422. 149 ‫ﻢ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻮ‬‫ﺒﻐ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻼﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻮﺍ ِﺧ ﹶ‬‫ﺿﻌ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻭ َﻷ‬ ‫ﺎ ﹰﻻ‬‫ﺧﺒ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻻ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺎﺯ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻴﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﻟ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﻓِﻴ ﹸﻜ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟ ِﻔ‬ mendapatkan perintah berjihad secara syar‘i seperti orang adil yang sholeh. Sudah disebutkan sebelumnya apa yang dinukil AsySyaukani mengenai kebolehan –bukan kewajiban—minta bantuan kepada orang fasik dan munafik berdasarkan ijma‘. Jika itu jelas diperbolehkan, maka perkaranya dikembalikan kepada manfaat dan mafsadah yang ditimbulkan jika orang tersebut turut serta dalam berjihad; mana di antaranya keduanya yang lebih dominan maka itulah yang dijadikan patokan hukum. Artinya, jika turut sertanya orang fasik dalam berjihad itu lebih besar manfaatnya daripada mafsadatnya, ia dipersilahkan ikut. Namun jika sebaliknya, hukum pun sebaliknya (yaitu tidak boleh ikut serta). “Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegasgegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”148 Juga firman Alloh ta‘ala: ‫ﺍ‬‫ﺟﻮ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺝ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻞ ﹶﻟ‬ ِ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬  ‫ﻙ ِﻟ ﹾﻠ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻧ‬‫ﺘﹾﺌ ﹶﺬ‬‫ﻢ ﻓﹶﺎﺳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﷲ ِﺇﻟﹶﻰ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔ ٍﺔ ِﻣ‬ ُ‫ﻚﺍ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ‬ ‫ﺍ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺮ ٍﺓ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ ﹶﻝ‬ ‫ﻮ ِﺩ ﹶﺃ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻢ ِﺑﺎﹾﻟ ﹸﻘ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺿ‬ ِ ‫ﻢ ﺭ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﺍ ِﺇ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﻣ ِﻌ‬ ‫ﺍ‬‫ﺗﻘﹶﺎِﺗﹸﻠﻮ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﺍ‬‫ﺑﺪ‬‫ﻰ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ ِﻌ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺎِﻟ ِﻔ‬‫ﻊ ﺍﹾﻟﺨ‬ ‫ﻣ‬ Hal senada dikatakan oleh Ibnu Qudamah: “Jangan sampai seorang komandan memilih shahabat seorang mukhodzil, yaitu orang yang menghambat manusia dari berperang. Jangan juga seorang murjif, yaitu orang yang mengatakan: ‘Pasukan kaum muslimin telah hancur, mereka tidak punya bala bantuan dan kekuatan melawan orang-orang kafir.’ Jangan juga memilih shahabat orang yang bersekongkol mencelakakan kaum muslimin dengan menjadi mata-mata untuk kepentingan orang-orang kafir, atau orang yang menimbulkan permusuhan antar kaum muslimin, dan jangan pula mengambil sahabat orang yang gemar berbuat kerusakan.”147 Semua ini berpulang kepada firman Alloh ta‘ala: 147 Al-Mughni was Syarhul Kabir juz X hal 372. sudah disebutkan pada masalah: Menjaga keutuhan jama‘ah. 150 “Maka jika Alloh mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian minta izin kepadamu untuk keluar berperang maka katakan: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama, karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut perang.”149 Ringkasnya, orang yang memiliki karakter suka melemahkan dan merusak barisan atau berkhianat, tidak boleh diikutkan dalam jihad. Orang seperti ini kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar meski di sana ada manfaatmanfaat. 148 149 At-Taubah: 47 At-Taubah: 83 151 Diperbolehkannya berjihad bersama pemimpin fasik dan pelaku maksiat –di mana manfaatnya lebih besar daripada kefasikan dirinya—, bukan berarti merupakan pembenaran dari kefasikan dan kemaksiatannya. Namun ia tetap harus diperintah kepada yang makruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, serta dilarang dari yang mungkar dengan cara memberi peringatan dan hukuman. Ini maknanya adalah melatih tarbiyah iman di tengah berlangsungnya jihad. Kita tidak katakan jihad ditunda sampai tarbiyah iman sempurna, sebab ini tidak akan selesai kecuali dengan datangnya kematian, sesuai firman Alloh ta‘ala: ‫ﲔ‬  ‫ﻴ ِﻘ‬‫ﻚ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﻴ‬‫ﻳ ﹾﺄِﺗ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ‬ “Dan beribadahlah kepada kepadamu keyakinan.”150 Robbmu sampai datang Keyakinan dalam ayat ini maksudnya adalah kematian sebagaimana dalam tafsirnya. Bisa saja ajal tiba sementara seorang hamba belum memperoleh nilai tarbiyah ini kecuali sedikit. Alloh ta‘ala berfirman: dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada pula yang terlebih dahulu berbuat baik dengan izin Alloh.”151 Inilah tingkatan-tingkatan iman pada diri pengikut Rosul dan para pewaris Al-Kitab. Dari pemaparan di muka, mungkin bisa kita ringkas sebagai berikut: 1. I‘dad Imani (baca: tarbiyah) adalah wajib dan merupakan pilar utama kemenangan. Perincian hal ini sudah kita sampaikan di muka, khususnya mengenai pengaruh kemaksiatan-kemaksiatan terhadap muncul-nya kelemahan, dan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Inilah kondisi terbaik yang jika ada akan terasa benar-benar indah. 2. Di saat yang sama, kami katakan bahwa jihad tidak ditunda dengan alasan melaksanakan I‘dad Imani – meskipun jihad bisa ditunda karena pertimbangan I‘dad materiil ketika dalam kondisi lemah—khususnya apabila jihad menjadi fardhu ‘ain. Yang paling spesifik dari kondisi-kondisi jihad fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin, dan inilah kondisi kebanyakan negeri Islam hari ini. Maka jihad seperti ini fardhu ‘ain dan mendesak sekali untuk segera dilaksanakan. Menunda jihad seperti ini berdampak kepada bahaya dan kerusakan. Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menganeksasi tanah air Kaum Muslimin, mereka paksakan hukum kafir dan berusaha merusak Kaum Muslimin dan menggoyahkan agama mereka dengan berbagai tipudaya. ‫ﻢ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻭ ِﻣ‬ ‫ﺴ ِﻪ‬ ِ ‫ﻨ ﹾﻔ‬‫ﻢ ِﻟ‬ ‫ﻢ ﻇﹶﺎِﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﺎ ﹶﻓ ِﻤ‬‫ﺎ ِﺩﻧ‬‫ﻦ ِﻋﺒ‬ ‫ﺎ ِﻣ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺻ ﹶﻄ ﹶﻔ‬  ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﺏ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬  ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬‫ﺭﹾﺛﻨ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﹸﺛ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺕ ِﺑِﺈ ﹾﺫ ِﻥ ﺍ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﻴﺮ‬‫ﺨ‬  ‫ﻖ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﺎِﺑ‬‫ﻢ ﺳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻭ ِﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺼ‬ ِ ‫ﺘ‬‫ﻣ ﹾﻘ‬ “Kemudian Kami wariskan Al-Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, 150 151 Al-Hijr: 99 152 Fathir: 32 153 Maka siapa yang mengatakan jihad melawan mereka ini harus ditunda sampai tarbiyah orang yang ingin berjihad itu siap, maka ia tidak mengerti bahwa sarana penghancur itu lebih banyak daripada sarana membangun, Sesungguhnya Alloh pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Alloh benarbenar Mahakuat lagi Mahaperkasa.”154 Kalau Alloh ta‘ala tidak menolak orang-orang kafir melalui orang-orang yang berjihad di jalan-Nya, tidak akan tersisa lagi tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh Swt. Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullah mensifati para mujahid dengan kata-katanya: ‫ﻮﺍ‬‫ﺘﻄﹶﺎﻋ‬‫ﺳ‬ ‫ﻢ ِﺇ ِﻥ ﺍ‬ ‫ﻦ ﺩِﻳِﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬‫ﺮﺩ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﺍﻟﹸﻮ ﹶﻥ‬‫ﻳﺰ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ “Dan mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka mampu.”152 “Mereka mengorbankan nyawa demi kecintaan kepada Alloh dan menolong agama-Nya, meninggikan kalimatNya dan melawan musuh-musuh-Nya. Mereka adalah teman bagi siapa saja yang menjaganya, mendapat pahala amalan-amalan yang mereka kerjakan dengan pedang-pedangnya meskipun mereka bermalam di rumah masing-masing. Mereka mendapatkan pahala orang yang beribadah kepada Alloh dengan jihad dan penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan, karena merekalah yang menjadi sebab dari semua itu. Sang Pembuat Syari‘at telah menjadikan adanya sebab itu sama dengan pelakunya dalam hal pahala dan dosa. Oleh karena itu, penyeru kepada petunjuk dan penyeru kepada kesesatan masing-masing mendapatkan balasan seperti yang mengikutinya, sebab dia menjadi penyebab.”155 ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺘ‬‫ﻊ ِﻣﱠﻠ‬ ‫ﺘِﺒ‬‫ﺗ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻯ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻨﺼ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﻟ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻚ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﺮﺿ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭﻟﹶﻦ‬ “Dan kaum yahudi dan nashrani tidak akan pernah rela kepada kalian sampai kalian ikuti agama mereka.”153 Ia juga tidak mengerti bahwa orang-orang kafir tidak akan membiarkan sarana apapun yang merealisasikan tarbiyah dengan baik. Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﺕ‬  ‫ﺍ‬‫ﺻﹶﻠﻮ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭِﺑ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺍ ِﻣ‬‫ﺻﻮ‬  ‫ﺖ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺾ ﱠﻟ‬ ٍ ‫ﻌ‬ ‫ﺒ‬‫ﻢ ِﺑ‬‫ﻀﻬ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺱ‬  ‫ﺎ‬‫ﷲ ﺍﻟﻨ‬ ِ ‫ﻊ ﺍ‬ ‫ﺩ ﹾﻓ‬ ‫ﻮ ﹶﻻ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻩ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﻨ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ﷲ ﻣ‬ ُ ‫ﺮ ﱠﻥ ﺍ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﻨ‬‫ﻭﹶﻟﻴ‬ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﺍﷲِ ﹶﻛِﺜﲑ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺎ ﺍ‬‫ﺮ ﻓِﻴﻬ‬ ‫ﻳ ﹾﺬ ﹶﻛ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺎ ِﺟ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻋﺰِﻳ‬ ‫ﻱ‬  ‫ﹶﻟ ﹶﻘ ِﻮ‬ “Dan sekiranya Alloh tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Asma Alloh. 3. Jika kaum muslimin telah menyelesaikan I‘dad materi sesuai kemampuan, “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…”156 diiringi perkiraan bisa menang, maka wajib melaksanakan jihad dan tidak boleh menundanya dengan alasan menyempurnakan I‘dad Imani. Artinya, jika dalam kondisi lemah, harus melakukan dua I‘dad 154 Al-Hajj: 40 Thoriqul Hijrotain terbitan Al-Maktab Al-‘Ilmiyyah 1403 H hal. 355. 156 Al-Anfal: 60 152 155 Al-Baqoroh: 217 153 Al-Baqoroh: 120 154 155 sekaligus, i‘dad iman dan materi. Maka siapa yang berusaha melakukan I‘dad imani dengan meninggalkan I‘dad materi, ia telah berbuat dosa karena meninggalkan hal yang diperintahkan “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…”157 Juga sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Usamah bin Zaid, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaaha illallooh?”160 Demikian juga dengan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar: “Sesungguhnya engkau adalah orang yang di dalam dirimu ada perkara jahiliyyah.”161 4. I‘dad Imani wajib dilatih dalam setiap tahapan sebelum memasuki tahapan jihad dan ketika tengah melaksanakannya. Sebab amar makruf nahi munkar adalah sifat yang harus ada dalam diri kaum muslimin sebelum dan setelah memperoleh kekuasaan (tamkin) di muka bumi. Sementara tarbiyah terbaik adalah yang dilakukan ketika jihad berlangsung, sebab biasanya dalam kondisi tersebut manusia dekat dengan Alloh ta‘ala. Juga sabda beliau dalam salah satu peperangan: “Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan din ini dengan orang yang jahat.”162 Demikian juga, dulu terjadi peristiwa menyebarnya berita bohong (haditsul Ifki) setelah selesai dari suatu peperangan. Beliau kemudian melaksanakan hukuman had qodzaf163 terhadap beberapa tentara dalam perang tersebut. Bahkan di antara mereka merupakan veteran perang Badar, yaitu Misthoh bin Utsatsah. Di antara mereka juga ada penyair Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Hassan bin Tsabit.164 Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri selalu memberikan pengarahan di saat beliau melakukan jihad dan tidak ada seorangpun mengatakan jihad ditunda sampai tarbiyah sempurna. Di antara bentuk tarbiyah itu adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Alloh, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Kholid bin Walid.”158 Oleh karena itu, bisa saja ada orang yang sempurna dan baik serta mendapat jaminan masuk jannah namun terjerumus ke dalam dosa besar, seperti Mishthoh bin Utsatsah dan Hathib bin Abi Balta‘ah RA. Juga sabda beliau kepada sariyah Abdulloh bin Hudzafah: “Kalau mereka memasukinya (masuk ke dalam api, lantaran dikomando pemimpinnya seperti itu, penerj.), mereka tidak akan pernah keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf.”159 Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang Hatib: “Bukankah dia adalah pengikut Badar? Engkau tidak tahu, barangkali Alloh melihat hati mereka kemudian 160 Muttafaq ‘Alaih. HR. Bukhori. 162 HR. Bukhori. 163 Hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik berzina berupa cambukan sebanyak 80 kali, penerj. 164 Lihat Fathul Bari juz VIII hal. 478-479. 161 157 Al-Anfal: 60 HR. Bukhori. 159 HR. Bukhori. 158 156 157 berfirman: ‘Kerjakanlah sesuka wajibkan surga bagi kalian.”165 kalian, Aku telah khomer, mencuri dan perampokan. Kaum munafikin juga ikut berperang bersama beliau sebagaimana sudah dijelaskan tadi, tidak ada seorang pun yang mengatakan: ‘Kita tidak akan berjihad selama dalam barisan kita masih ada orang-orang bermaksiat dan munafik.’ Padahal, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak datang satu hari kepada manusia kecuali hari setelahnya lebih buruk daripada hari itu.”167 Ibnu Hajar berkata, “Meski seseorang mencapai derajat kesholehan seperti apapun dan mendapat jaminan masuk surga, ia tetaplah tidak ma‘shum) dari terjerumus ke dalam dosa. Sebab Hathib termasuk orang yang Alloh wajibkan surga baginya, namun ia melakukan perbuatan sampai sejauh itu.”166 Yang semisal dengan ini sangatlah banyak. Jadi, tarbiyah iman dilatih di tengah-tengah jihad, namun jihad tidak ditunda karena alasan itu. Sebab tarbiyah –sebagaimana sudah dikemukakan—tidak akan berakhir kecuali dengan matinya seorang hamba, Alloh Swt membolak-balikkan hati serta mengarahkannya sesuai kehendak-Nya. 5. Sifat adil bukanlah syarat wajib jihad, dan orang fasik boleh berangkat berjihad jika ia seorang prajurti, asalkan manfaatnya untuk jihad lebih besar daripada mafsadahnya, sebagaimana diterangkan rinciannya di muka. Tidak diizinkan ikut bagi orang yang dalam dirinya ada sifat gemar berbuat kerusakan atau berkhianat. 6. Sesungguhnya tidak buruk jika dalam barisan kaum muslimin ada beberapa orang pelaku maksiat. Yang buruk adalah membiarkan mereka dalam maksiatnya dan tidak memerintahkan mereka mentaati Alloh ta‘ala, baik dengan cara menyuruh atau melarang, hal ini mengingat kesalahan dan maksiat tidak akan pernah bisa lepas dari manusia. Intinya, jika dalam satu kelompok yang berjihad terdapat orang-orang yang bermaksiat, itu bukanlah alat pembenaran untuk meninggalkan jihad bersama kelompok tersebut karena masih adanya para pelaku maksiat dalam kelompok itu. 7. Jika tidak ada kelompok yang diisyaratkan di atas (yaitu kelompok yang sholeh namun beranggotakan para pelaku maksiat) dan tidak mungkin jihad dilakukan kecuali bersama orang ummiy yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak kejahatannya, maka jihad bersama mereka tetap wajib dilakukan –sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah—demi menolak salah satu dari dua mafsadat yang lebih besar, yaitu mafsadat orang-orang kafir. Dan inilah bentuk ketakwaan kepada Alloh sesuai kemampuan: “Maka bertakwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.”168 Sesungguhnya tidak ada kerusakan yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menguasai negeri kaum muslimin serta dampak yang ditimbulkan, seperti pemurtadan Kaum Muslimin secara paksa yang mengenai hampir seluruh umat Islam –selain yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Semasa hidupnya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri melaksanakan hukuman zina dan qodzaf, minum 165 166 167 HR. Bukhori hadits 6936. Fathul Bari juz. XII hal. 310. 168 158 HR. Bukhori. At-Taghobun: 16 159 Alloh ta‘ala berfirman: baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu, perbincangan tentang hal ini terdapat perincian.”170 ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﺘﻄﹶﺎﻋ‬‫ﺳ‬ ‫ﻢ ِﺇ ِﻥ ﺍ‬ ‫ﻦ ﺩِﻳِﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ‬‫ﺮﺩ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﺍﻟﹸﻮ ﹶﻥ‬‫ﻳﺰ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ ِﺭ‬‫ﺏ ﺍﻟﻨ‬  ‫ﺎ‬‫ﺻﺤ‬  ‫ﻚ ﹶﺃ‬  ‫ﻭﹶﻟِﺌ‬ ‫ﺮ ﹶﻓﹸﺄ‬ُ ‫ﻮ ﻛﹶﺎِﻓ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺖ ﻭ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﻴ‬‫ﻦ ﺩِﻳِﻨ ِﻪ ﹶﻓ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺩ ﻣِﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﺗ ِﺪ‬‫ﺮ‬ ‫ﻳ‬ Asy-Syathibi berkata, ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎِﻟﺪ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻓِﻴﻬ‬ “Demikian juga jihad bersama pemimpin yang jahat, para ulama menyatakan hal itu diperbolehkan. Malik berkata: Jika itu ditinggalkan tentu berbahaya bagi kaum muslimin. “Mereka tidak henti-henti-nya memerangi kalian sampai mereka dapat mengemba-likan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka sanggup. Dan barangsiapa murtad di antara kalian kemudian mati dalam keadaan kafir, maka sia-sialah amal perbuatannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itu adalah penghuni neraka serta mereka kekal di dalamnya.”169 Jadi jihad adalah sangat penting, keberadaan pemimpin di dalamnya juga sangat urgen, sifat adil adalah pelengkap dari yang urgen ini, sedangkan jika pelengkap dikembalikan kepada yang pokok justeru bisa membatalkannya, maka pelengkap itu tidak dianggap.”171 Abu Muhammad bin Hazm bahkan memiliki perkataan sangat keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin jahat. Jika seorang muslim berperang bersama Amir yang jahat atau pasukan yang banyak kejahatannya, maka hendaknya ia bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan; mentaati mereka dalam ketaatan dan tidak mentaati mereka dalam kemaksiatan, serta terus memberikan nasehat kepada, semoga dengan itu Alloh ta‘ala memperbaikinya dengan itu. Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekufuran selain orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir dan membiarkan kehormatan Kaum Muslimin diserahkan kepada mereka, hanya lantaran kefasikan seorang Muslim yang mana orang lain belum tentu menganggap kefasikannya itu.”172 Ibnu Taimiyah Rahimahulloh berkata: “Jika tidak memungkinkan melaksanakan kewajibankewajiban berupa ilmu dan jihad dan lain-lain kecuali dengan orang yang dalam dirinya terdapat kebid‘ahan, yang bahayanya lebih rendah daripada bahaya jika kewajiban itu ditinggalkan, maka meraih mashlahat dari kewajiban yang diiringi kerusakan sedikit itu lebih Hanya perlu diketahui, Pemimpin jahat yang diikuti dalam perang –jika memang tidak ada yang lain—adalah Pemimpin yang kejahatannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak sampai kepada tingkat kekufuran. 170 Majmu‘ Fatawa (28/ 212) Al-Muwafaqot (II/ 15) 172 Al-Muhalla (VII/ 300) 171 169 Al-Baqoroh: 217 160 161 Dari penjabaran tadi, Anda tahu wahai saudaraku muslim, bahwa perkataan yang menyatakan kita tidak berjihad sampai kita menuntut ilmu syar‘i atau sampai kita sempurnakan tarbiyah keimanan dan mewajibkan hal itu kepada setiap muslim merupakan perkataan yang berujung kepada pencabutan Islam hingga ke akarnya. Sesungguhnya ilmu dan tarbiyah adalah benar dan kami menyeru manusia kepada keduanya, tetapi dengan catatan sebagai berikut: Syubhat Keempat: Keempat: Apakah Persenjataan (Syaukah) Dan Kemampuan Menjadi Syarat Dalam Jihad Difa‘î Difa‘î ? Jawaban: Bahwasanya harus dibedakan antara jihad tholab dan jihad difa‘. Pensyaratan adanya syaukah dan kemampuan untuk wajibnya jihad adalah dalam jihad tholab. Adapun jihad difa‘, seperti ketika musuh memerangi negeri kaum muslimin, yang wajib adalah melawan semampunya: a. Bahwa keduanya –ilmu dan tarbiyah—bukan syarat wajibnya jihad. Maknanya, kita tidak boleh melarang seseorang berjihad karena alasan ia belum mempelajari ilmu tentang agamanya atau mensucikan jiwanya. Allohumma, kecuali ilmu yang bersifat fardhu ain khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari‘atkannya jihad dan mengetahui bendera yang ia berperang di bawahnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun jihad defensif, merupakan perlawanan terbesar terhadap serangan terhadap kehormatan dan agama, hukumnya wajib menurut ijmak. Ketika aggressor datang, yang merusak agama dan dunia, maka tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak disyaratkan satu syarat pun, tetapi melawan semampunya. Para ulama dari madzhab kami dan yang lain menetapkan hal itu. Maka harus dibedakan antara menolak serangan orang dzalim dan kafir dan antara menyerang mereka di negeri-nya.”173 b. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang sekarang dialami kaum muslimin adalah jihad sebagaimana dalam hadits Tsauban secara marfu‘: “Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian…dst” Dan hadits Ibnu Umar secara marfu‘: “Jika kalian berjual beli dengan ‘inah…dst” keduanya sudah kami jelaskan. Dan jihad ini menurut kami adalah wajib atas sebagian besar kaum muslimin, khususnya jihad melawan penguasa murtad. Dari sini, kami menganggap ilmu dan tarbiyah merupakan bagian dari I‘dad (persiapan) menuju jihad, dalam rangka membentuk satu kelompok yang berjihad di atas ilmu dan agama. Kami tidak menganggap ilmu dan tarbiyah tanpa jihad sebagai jalan keluar. Beliau berkata lagi, “Adapun jika musuh hendak menyerang Kaum Muslimin, maka melawannya menjadi wajib atas seluruh orang yang diserang. Orang yang tidak diserang juga wajib membantu orang yang diserang, dan ini wajib hukumnya sesuai kemampuan masing-masing, baik dengan jiwa atau hartanya, baik sedikit atau banyak, berjalan atau berkendaraan. Sebagaimana ketika Kaum Muslimin diserang musuh pada perang Khondaq. Alloh tidak 173 162 Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah Ibnu Taimiyyah hal. 309-310. 163 mengizinkan seorang pun meninggalkannya seperti dalam Perang Ofensif (menyerang musuh terlebih dahulu), di mana dalam hal itu Alloh membagi Kaum Muslimin ada yang duduk dan ada yang berangkat.”174 sumpah dan janji, jika kalian mau turun menyerah kepada kami, kami tidak akan membunuh seorangpun dari kalian.” Maka Ashim berkata, “Adapun saya, aku tidak akan turun dalam tanggungan orang kafir…” Akhirnya mereka memerangi Ashim dan kawan-kawannya sampai tujuh orang dari mereka berhasil membunuh Ashim dengan menggunakan lembing.”176 Beliau berkata lagi, “Dan perang difa‘ seperti ketika jumlah musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu menghadapinya, akan tetapi jika mereka mundur dikhawatirkan musuh akan menyerang orang-orang yang ada di belakang mereka, maka dalam kondisi seperti ini pengikut madzhab kami menegaskan mereka wajib mengorbankan nyawa mereka dan nyawa orang yang dikhawatirkan tadi, dalam rangka menolak musuh sehingga mereka semua selamat. Yang semisal adalah ketika musuh menyerang negeri Islam sementara jumlah yang berperang tidak sampai setengah jumlah musuh; jika mereka mundur musuh akan menyerang kehormatan, maka yang seperti ini dan semisalnya adalah perang difa‘, bukan perang tholab. Tidak diperbolehkan mundur dalam kondisi apapun. Perang Uhud termasuk katagori perang seperti ini.”175 Di sini tidak diragukan lagi bahwa kemampuan Ashim dan shahabatnya tidak cukup untuk melawan 100 pemanah, padahal sebenarnya mereka memiliki alternatif untuk meninggalkan perang. Namun demikian Ashim RA tidak mau mengambil pilihan kecuali memerangi mereka, ia pun memerangi mereka sampai terbunuh. b. Dalil lain adalah kisah ‘Amru bin Jamuh RA, seorang lelaki pincang dan ia memiliki empat anak seperti singa yang ikut serta dalam beberapa perang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala perang Uhud, mereka ingin menahan ayahnya dan mengatakan, “Sesungguhnya Alloh telah memberi udzur kepadamu.” Bahkan, dalam jihad tholab sekalipun, syaukah dan kemampuan adalah syarat wajib, bukan syarat sah jihad. Dalildalil dari apa yang kami sebutkan adalah: Maka ia datang kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, “Anak-anakku ingin menahan aku dari kesempatan ini dan melarangku berangkat bersamamu. Demi Alloh, aku benar-benar berharap bisa menginjakkan kakiku yang pincang ini di Jannah.” a. Kisah ‘Ashim bin Tsabit ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya sebagai pemimpin beberapa orang shahabatnya ke ‘Adhol dan Al-Qoroh. Ketika itu ada + 100 pemanah untuk menyerang mereka. Para pemanah itu mengepung Ashim dan para shahabatnya seraya mengatakan, “Kalian mendapatkan 174 175 Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Adapun engkau, Alloh telah memberi udzur kepadamu, engkau tidak wajib berjihad.” Kemudian beliau bersabda kepada anak-anaknya, “Janganlah kalian halangi dia, 176 Majmu‘ Fatawa (28/ 358-359). Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah (hal. 311) Dikeluarkan Bukhori (3045), Abu Dawud (2660) dan Ahmad (II/ 294) dari hadits Abu Huroiroh. 164 165 barangkali Alloh kepadanya.” akan memberikan kesyahidan Akhirnya ia turut keluar bersama beliau hingga akhirnya terbunuh dalam perang Uhud.”177 Dari Abu Qotadah ia berkata: “Amru bin Jamuh datang kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, apa pendapat tuan jika aku berperang di jalan Alloh sampai aku terbunuh, apakah aku akan bisa berjalan di Jannah dengan kakiku dalam keadaan sehat (normal)?” –kakinya memang pincang— maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya.” zinkan ia berperang meski ia dalam keadaan pincang yang mendapatkan udzur berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, jadi dia sebenarnya tidak wajib berperang. c. Dalil lain adalah kisah Salamah bin Al-Akwa‘ ketika ia menyergap Abdurrohman Al-Fazari dan pasukannya untuk mengambil kembali kambing milik Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang mereka rampas. Salamah bin AlAkwa‘ mengejar mereka sendirian, ia terus melempari mereka dengan lembing hingga berhasil membebaskan apa yang mereka rampas. Ia terus mengejar mereka sementara mereka lari dan mereka buang apa yang mereka simpan, ia mengambil salab179 dari mereka lebih dari 30 burdah dan 30 tombak. Akhirnya ia terbunuh bersama keponakan serta maulanya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewatinya kemudian bersabda, “Seolah aku melihat ia sedang berjalan di jannah dengan kakinya dalam keadaan sehat.” Salamah menuturkan: “…aku terus berada pada posisiku sampai akhirnya aku melihat pekuda-pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di celah-celah pohon.” Ia melanjutkan: “Ternyata yang paling depan adalah Al-Akhrom Al-Asadi, disusul di belakangnya Abu Qotadah Al-Anshori.” Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka berdua berikut maulanya dijadikan dalam satu kubur. Mereka pun dikubur menjadi satu.”178 Salamah melanjutkan, “Kemudian kupegang tali kekang kuda Al-Akhrom. Merekapun lari mundur, aku katakan, “Wahai Akhrom, waspadailah mereka, jangan sampai mereka menghadangmu sebelum Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya datang.” Petunjuk yang ada pada kisah Amru bin Jamuh adalah bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengi- Al-Akhrom berkata, “Wahai Salamah, jika engkau beriman kepada Alloh dan hari Akhir serta tahu bahwa surga dan neraka itu benar, maka jangan halangi antara diriku dan kesyahidan.” 177 Sîroh Ibnu Hisyâm (III/ 96), Ibnu Ishaq berkata: Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq bin Yasar dari beberapa syaikh dari Bani Salamah: kemudian menyebutkan hadits ini. Al-Albani berkata, “Ini adalah sanad hasan jika para syaikh itu dari kalangan shahabat. Namun jika tidak, maka ia mursal dan sebagiannya ada dalam Al-Musnad…dan sanadnya shohih.” (Takhrij Fiqh Siroh hal. 288) 178 Dikeluarkan Ahmad (V/ 229), Al-Haitsami berkata di dalam Majma‘ Zawa’id (IX/ 315): “Dan rijalnya adalah shohih selain Yahya bin Nashr Al-Anshori, ia adalah tsiqoh.” Saya katakan, “Perkataan beliau Yahya bin Nashr adalah tashhif, yang benar adalah Nashr bin Yahya sebagaimana dalam Al-Musnad, lihat juga Tahdzibut Tahdzib (VI/ 185) Salab adalah: Harta rampasan yang menempel pada tubuh musuh yang terbunuh, penerj. 166 167 179 Salamah berkata, “Akhirnya kulepaskan ia, kemudian ia bertemu berhadapan dengan Abdurrohman, Abdurrohman berhasil menikam dan membunuhnya. Kemudian Abu Qotadah, pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengejar Abdurrohman dan berhasil menikam dan ganti membunuhnya. Demi Dzat yang telah memuliakan wajah Muhammad, aku benar-benar mengikuti mereka, aku kejar dengan kakiku sampai aku tidak melihat di belakangku ada para shahabat Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak juga debunya sedikitpun. Hingga sebelum matahari tenggelam, mereka belok ke sebuah lembah yang di sana ada mata air, namanya Dzu Qorod, untuk minum darinya karena mereka kehausan. Kemudian mereka melihat diriku yang mengejar di belakang mereka, maka akupun mengusir mereka dari mata air tersebut sehingga mereka tidak jadi minum satu tetespun darinya.” demi mencari kesyahidan, seba-gaimana dilakukan AlAkhrom Al-Asadi RA; dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencela perbuatannya itu dan tidak melarang sahahabat melakukan hal yang sama. Bahkan dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya dan keutamaan perbuatan ini, sebab Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji Abu Qotadah dan Salamah tindakan mereka berdua sebagaimana disebutkan, padahal mereka berdua maju menghadapi musuh sendirian dan tidak menunggu sampai kaum muslimin datang.”181 d. Ibnu Qudamah berkata, “Jika jumlah musuh berlipat ganda dari jumlah Kaum Muslimin namun Kaum Muslimin merasa akan menang, maka lebih baik mereka bertahan. Sebab ada mashlahat di sana. Namun kalau mereka mundur, boleh-boleh saja, sebab tidak ada jaminan mereka akan selamat. Tetapi jika mereka menduga kuat bahwa mereka akan binasa jika tetap bertahan dan jalan selamat adalah dengan mundur, maka lebih baik mundur. Kalaupun mereka tetap bertahan, juga bolehboleh saja karena keiningan mati syahid dan masih adanya kemungkinan bisa menang.”182 Di antara komentar Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu: “Sebaik-baik penunggang kuda kita hari ini adalah Abu Qotadah, dan sebaik-baik pasukan pejalan kaki kita adalah Salamah.”180 Hadits ini juga disebutkan Imam Ibnun Nuhas AdDimyathi dalam kitabnya Masyari‘ul Asywaq ila Mashori‘il ‘Usysyaq fi Fadho’ilil Jihad dalam bab yang ia beri judul: Keutamaan Satu Orang Yang Pemberani Atau Kelompok Yang Sedikit Menceburkan Diri Ke Dalam Jumlah Yang Banyak Karena Mengharapkan Kesyahidan Dan Ingin Merugikan Musuh. Kemudian ia berkata: “Di dalam hadits shohih ini terdapat dalil yang sangat tepat tentang kebolehan satu orang menyerang golongan musuh yang banyak meskipun ia yakin dirinya bakal terbunuh, jika ia melakukannya ikhlas Seandainya syaukah dan kemampuan menjadi syarat sah jihad, tentu Ibnu Qudamah tidak memperbolehkan tetap bertahan, walaupun dalam dugaan kuat mereka pasti akan binasa dan akan selamat jika mundur. e. Al-Quthubi berkata di dalam Tafsir-nya: 181 180 Dikeluarkan Muslim (1807) dan Ahmad (IV/ 52-53) 168 182 Masyari‘ul Asywaq (hal. 539) Al-Mughni (X/ 544) 169 “Muhammad bin Al-Hasan berkata: ‘Seandainya ada satu orang yang maju menghadapi 1000 orang musyrik sendirian, itu tidak menjadi mengapa jika ia tetap memiliki keinginan kuat untuk selamat dan bisa merugikan musuh. Jika tidak seperti itu, maka hal itu makruh, sebab ia menyodorkan dirinya kepada kehancuran tanpa adanya manfaat bagi kaum muslimin.” Jika maksud dia adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin melawan musuhnya sehingga ia melakukan tindakan tersebut, maka tidak mengapa. Sebab di sana ada manfaat bagi kaum muslimin dari beberapa sisi. Jika tujuannya adalah irhab (menggentarkan musuh) agar mereka tahu kuatnya kaum muslimin dalam urusan agama, maka tidak mengapa. Jika di sana ada manfaat bagi kaum muslimin, lalu ia membinasakan dirinya dalam rangka memuliakan agama Alloh dan menghinakan kaum kafir, maka itu adalah kedudukan mulia yang Alloh puji Kaum Mukminin dengannya dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa mereka…”183 Dan ayat pujian lain di mana Alloh memuji orang yang mengorbankan nyawanya. Dengan demikian, sebaiknya hukum amar makruf nahi munkar pun dibangun di atas pertimbangan di atas.”184 f. As-Sarkhosi berkata: “Tidak mengapa mundur jika kaum muslimin didatangi musuh yang tidak sanggup dilawan185, namun tidak 183 At-Taubah: 111 Al-Jami‘ Li Ahkamil Qur’an (II/ 364). 185 Dalam teks arabnya: Ma la yuthiqunahu… cetakan aslinya: Ma la yuthiquhum yang artinya: tidak sanggup dilawan, penerj. mengapa juga jika terus bersabar. Tidak seperti dikatakan sebagian orang bahwa itu adalah menceburkan diri dalam kebinasaan. Itu justeru merupakan pengorbanan jiwa dalam rangka mencari keridhoan Alloh ta‘ala. Perbuatan ini pernah juga dilakukan oleh lebih dari satu shahabat RA. Di antaranya adalah ‘Ashim bin Tsabit ketika ia menolak mundur, dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji perbuatan mereka. Dari sini tahulah kita bahwa tindakan seperti itu tidak mengapa. Wallohul Muwaffiq.”186 Ini semua adalah dalam jihad tholab, yang keabsahan jihadnya jelas tidak disyaratkan satu kelompok mujahid harus memiliki syaukah yang bisa mendatangkan kemenangan atas musuh. Kalau kelompok tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada musuh walaupun itu sekedar menggentarkan hati mereka, itu sudah cukup. Atau bisa mendatangkan mashlahat bagi kaum muslimin walaupun mashlahat ini hanya berupa memompa keberanian dalam hati orang-orang beriman. Adapun dalam jihad difa‘, maka tidak perlu ada syarat seperti ini, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Tidak diragukan, pendapat yang muncul akan beragam dalam menentukan kerugian dan mashlahat yang bisa ditimbulkan dari tindakan maju melaksanakan operasi tertentu dalam jihad. Maka dalam kondisi seperti ini harus ada ijtihad dalam menentukannya. Yang wajib bagi kelompok mujahid adalah bertakwa kepada Alloh sehingga ia tidak bersikap ngawur dan tidak juga terlalu pengecut. Namun ia serahkan urusan tersebut kepada orang berilmu yang memiliki kemampuan melakukan qiyas dengan baik. Kelompok tersebut juga harus selalu merujuk kepada ulama yang mengamalkan ilmunya (‘Amilin). 184 170 186 Syarhus Sairil Kabir: (I/ 125) 171 Oleh karena itu, kapan saja sekelompok Ahlul Haq merasa yakin –setelah mengerahkan kesungguhannya dan meminta pertimbangan kepada para ulama— bahwa mereka mampu menimbulkan kerugian pada musuh, atau memberikan mashlahat bagi kaum muslimin, maka mereka bisa langsung melaksanakan operasi itu saat itu juga. Untuk selain mereka yang berudzur karena masih lemah, maka ia tidak berhak mengingkari apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa mereka belum memiliki kemampuan, tapi mestinya ia justeru bergembira dengan operasi tersebut mencita-citakan dirinya menjadi pelakunya. membawanya jika mereka berbuat baik kepada Alloh dan rosul-Nya.”188 Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata, “Maka bagi orang-orang ini tidak ada dosa jika tidak ikut perang dan berbuat baik ketika ketika itu, serta tidak mempengaruhi manusia, tidak menghalangi mereka dan mereka baik-baik saja. Oleh karena itu Alloh berfirman setelahnya: ‫ﻢ‬ ‫ﺭﺣِﻴ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﷲ ﹶﻏﻔﹸﻮ‬ ُ ‫ﺍ‬‫ﺳﺒِﻴ ٍﻞ ﻭ‬ ‫ﲔ ﻣِﻦ‬  ‫ﺴِﻨ‬ ِ‫ﺤ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣ‬ g. Ibnu Abdil ‘Izz berkata, “Jika seorang hamba tidak mampu mengetahui sebagian hal itu atau tidak bisa mengamalkannya, maka janganlah ia melarang dilaksanakannya ajaran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak mampu ia laksanakan. Tidak mencela itu sudah cukup baginya, justeru seharusnya ia merasa bangga dan senang karena ada orang lain yang melaksanakannya, dan berandai andai menjadi pelakunya.”187 Ini dikarenakan Alloh ‘azza wa jalla telah memberikan udzur orang yang tidak mampu berjihad, akan tetapi dengan syarat ia berlaku baik kepada Alloh dan rosul-Nya, bukan menghambat dan mencela. Alloh ta‘ala berfirman: ‫ﻨ ِﻔﻘﹸﻮ ﹶﻥ‬‫ﺎﻳ‬‫ﻭ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺠﺪ‬ ِ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻰ‬‫ﺮﺿ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻌﻔﹶﺂ ِﺀ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﻴ‬‫ﱠﻟ‬ ‫ﻮِﻟ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮﺍ‬‫ﺼﺤ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﺝ ِﺇﺫﹶﺍ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ “Tidak ada dosa bagi orang-orang lemah, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mendapatkan biaya untuk “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orangorang yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapengasih.”189 190 Syubhat Kelima: Kelima: Kita Harus Menahan Diri Tidak Berperang Dulu Karena Kaum Muslimin Masih Lemah Seperti Yang Terjadi Pada Fase Mekkah Jawaban: Apa pendapat mereka yang mengatakan lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyari‘atkannya jihad di Mekkah? Apakah itu merupakan ‘illah yang mempengaruhi disyari‘atkan atau tidaknya jihad? Ataukah itu merupakan hikmah dari hukum naskh dan tadarruj (pensyariatan setahap demi setahap)? 188 At-Taubah: 91 At-Taubah: 91 190 Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, (II/ 382) 189 187 Syarah ‘Aqidah Thohawiyah: hal. 16. 172 173 Agar permasalahan ini menjadi lebih jelas, kita kembali kepada masalah disyariatkannya jihad pada periode Mekkah dan periode Madinah, dan bahwa ayat pedang (At-Taubah: 5, penerj.) telah menghapus semua hukum disyariatkannya jihad pada ayat-ayat yang turun sebelumnya. Para ulama generasi salaf dan setelahnya menetapkan bahwa fase terakhir itu menjadi penghapus fase sebelumnya. Ibnu ‘Athiyyah mengatakan dalam tafsirnya mengenai ayat pedang: “Ayat ini menghapus semua pemberian maaf dalam Al-Quran atau yang senada dengannya. Disebutkan bahwa ayat-ayat seperti ini berjumlah sekitar 114 ayat.”195 Al-Qurthubi berkata mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala: “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”196 Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala: “Ayat ini mansûkh dengan firman Alloh ta‘ala: ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻌﻄﹸﻮﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺩِﻳ‬‫ﻳﺪِﻳﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎ ِﻏﺮ‬‫ﻢ ﺻ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺪ‬ ‫ﻦ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﻋ‬‫ﺰ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﺍﹾﻟ‬ “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”191 “Alloh jalla tsana’uhu menghapus berlakunya pemberian maaf dan membiarkan mereka dengan mewajibkan memerangi mereka sebagai ganti, sampai kalimat orang-orang kafir dan kaum mukminin sama (artinya mereka masuk Islam, penerj.), atau membayar jizyah dari tangan dalam keadaan hina.” 197 Dari Ibnu ‘Abbas, dikatakan: “Yang menghapus ayat ini adalah firman Alloh: “…faqtulul musyrikiina…”198 199 Kemudian ia menukil pendapat tentang hukum nasakh ini dari Ibnu ‘Abbas, Qotadah dan Robi‘ bin Anas.192 Beliau berkata juga mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻆ‬ ‫ﺍ ﹾﻏﹸﻠ ﹾ‬‫ﲔ ﻭ‬  ‫ﺎِﻓ ِﻘ‬‫ﻤﻨ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺭ ﻭ‬ ‫ﺎ ِﻫ ِﺪ ﺍﹾﻟ ﹸﻜﻔﱠﺎ‬‫ﻲ ﺟ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺎ ﺍﻟ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﹶﺃ‬‫ﻳ‬ Al-Hafiz Ibnu Katsir di dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”193 juga menukil pendapat terhapusnya ayat ini dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata, “Abul ‘Aliyah, Ar-Robi‘ bin Anas, Qotadah dan As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini terhapus dengan ayat pedang, ini ditunjukkan juga oleh firman Alloh ta‘ala: “…sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” 194 “Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka.”200 “Ayat ini menghapus semua ayat tentang pemberian maaf dan memberi ampun.”201 195 Tafsir Ibnu ‘Athiyyah: VI/ 412. Al-Baqoroh: 109 197 At-taubah: 29. 198 At-taubah: 5. 199 Al-Jami‘ Li Ahkamil Qur’an: (II/ 71) 200 At-Taubah: 73 196 191 Al-Baqoroh: 109 Lihat Tafsir Thobari: (II/ 503-504) 193 Al-Baqoroh: 109 194 Tafsîrul Qur’anil ‘Adzim (I/ 154) 192 174 175 Ibnu Hazm berkata, “Larangan perang dihapus menjadi wajibnya perang.”202 “Ayat ini terhapus dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik. Kami katakan terhapus lantaran adanya ijmâ‘ Ahlut Takwil yang menyatakan seperti itu.”208 Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata, “…maka perintahNya agar mereka berperang menghapus perin-tah menahan diri…”203 Al-Jashshosh berkata mengenai firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﷲ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ُ ‫ﻌ ﹶﻞ ﺍ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﻓﻤ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﺍ ِﺇﹶﻟ‬‫ﻭﹶﺃﻟﹾ ﹶﻘﻮ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻳﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ ﹸﻛ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻢ ﹶﻓﹶﻠ‬ ‫ﺰﻟﹸﻮ ﹸﻛ‬ ‫ﺘ‬‫ﻋ‬ ‫ﹶﻓِﺈ ِﻥ ﺍ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ﹰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ As-Suyûthî berkata: “Firman Alloh ta‘ala: “…Faqtulul Musyrikiin haitsu wajadtumuuhum…”204, ini adalah ayat pedang yang menghapus ayat-ayat tentang pemberian maaf, membiarkan, berpaling dan berdamai. Jumhur menjadikan keumuman ayat ini sebagai dalil untuk memerangi bangsa Turki dan Habasyah.”205 “Maka jika mereka membiarkan kalian, tidak memerangi kalian dan mengemukakan perdamaian, maka kami tidak berikan jalan bagi kalian untuk (menawan dan membunuh mereka).”209 Ia juga berkata, “Dan kami tidak mengetahui seorang fuqoha pun yang melarang memerangi orang musyrik yang tidak memerangi kita, yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya membiarkan mereka tidak diperangi, bukan larangannya; sebab semuanya sepakat larangan perang terhadap orang musyrik yang tidak memerangi kita telah terhapus.”210 “Semua pemberian maaf, berpaling, membiarkan dan menahan diri terhadap orang kafir yang tercantum dalam Al-Qur’an telah terhapus dengan ayat pedang.”206 Lebih dari satu orang ulama yang menukil adanya ijmâ‘ tentang pendapat yang menyatakan terhapusnya ayat-ayat tadi, di antaranya: As-Syaukani berkata: “Adapun memerangi orang-orang kafir, bertempur melawan orang-orang kafir dan mengajak mereka kepada Islam atau mereka membayar jizyah, atau diperangi, semua itu merupakan ajaran agama yang sudah sangat jelas. Adapun dalil-dalil yang berisi perintah membiarkan dan meninggalkan mereka jika mereka tidak memerangi, maka itu sudah mansukh (dihapus) menurut kesepakatan Ibnu Jarir berkata dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…”207 201 ibid : (VIII/ 205) Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (IV/ 82) 203 Al-Jawabus Shohih liman Baddala Dinal Masih: I/ 66) 204 At-Taubah: 5 205 Al-Iklil fî Istinbathit Tanzil: hal. 138. 206 At-Tahbir fî ‘Ilmit Tafsir: hal. 432. 202 176 207 Al-Jatsiyah: 14 Tafsir Ath-Thobarî: 25/ 144, terbitan Darul Fikr, Beirut. 209 An-Nisa’: 90 210 Ahkamul Qur’an (II/ 222) 208 177 kaum Muslimin, dengan ayat yang mewajibkan untuk memerangi mereka dalam kondisi apapun jika memiliki kemampuan untuk memerangi mereka dan menyerbu ke negeri-negeri mereka.” 211 berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”214 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻡ ﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ِﻡ ﹾﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ Shiddîq Hasan Khon juga menukil ijmâ‘ dengan lafadz yang sama dengan Asy-Syaukani, namun ia tidak menisbatkan perkatan itu kepadanya.212 ‫ﻌﻄﹸﻮﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﻖ ِﻣ‬ ‫ﺤ‬  ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﺩِﻳﻦ‬‫ﻳﺪِﻳﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺎ ِﻏﺮ‬‫ﻢ ﺻ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ٍﺪ‬ ‫ﻦ‬‫ﻳ ﹶﺔ ﻋ‬‫ﺰ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﺍﹾﻟ‬ Jadi, yang benar, belum disyariatkannya jihad di fase Mekkah adalah karena adanya hikmah penghapusan hukum (nask), bukan merupakan ‘illah. Sebab ‘illah disyariatkannya jihad adalah meninggikan kalimat Alloh. Nash-nash syar‘i menunjukkan bahwa ‘illah memerangi orang-orang kafir adalah karena kekufuran orang kafir, sebagaimana firman Alloh ta‘ala: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”215 ‫ﻢ‬‫ﻮﻫ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺚ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺸ ِﺮ ِﻛ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻡ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﻧ‬‫ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﺍ‬ “Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka.” 213 Alloh ta‘ala juga berfirman: ‫ﷲ‬ َ ‫ﺍ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ ﺍ‬‫ﻬﻮ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﷲ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺍ‬ ِ ‫ﻪ‬ ‫ﻦ ﹸﻛﱡﻠ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﺪ‬‫ﻭ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ‬‫ﺘ‬‫ﺗﻜﹸﻮ ﹶﻥ ِﻓ‬‫ﻰ ﹶﻻ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮ‬ ‫ﲑ‬ُ ‫ﺼ‬ ِ ‫ﺑ‬ ‫ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ِﺑﻤ‬ “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka Nash-nash ini –dan yang semisal— menjelaskan bahwa orang-orang kafir diperangi karena kekafiran mereka. Ayat dan hadits-hadits yang ada menyatakan munculnya hukum perang disebabkan mereka kafir. Al-Qurofî Rahimahulloh berkata, “Dzohir dari nash-nash yang ada menunjukkan bahwa munculnya hukum perang disebabkan ada kekafiran dan kesyirikan, dan munculnya suatu hukum lantaran suatu sifat itu menunjukkan bahwa sifat itulah yang menjadi ‘illah, sementara selain sifat itu bukan ‘illah.”216 Jadi, ‘illah yang menjadikan wajib tidaknya jihad bukan kuat atau lemahnya kaum muslimin sehingga dikatakan 211 214 212 215 As-Sailul Jaror (IV/ 518-519) Lihat Ar-Roudhoh An-Naddiyyah (II/ 333) 213 At-Taubah: 5 178 Al-Anfal: 39 At-Taubah: 29 216 Adz-Dzakhiroh (III/ 387) 179 secara mutlak bahwasanya menahan diri dan membiarkan itu wajib ketika dalam kondisi lemah. Tetapi ‘illahnya tak lain karena adanya kekufuran serta agama yang bukan seluruhnya milik Alloh. Sehingga, perang menjadi wajib sampai tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya menjadi milik Alloh. Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin menjadi sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah tidak lain adalah sebuah ijtihad, bukan nash hadits Nabi. Oleh karena itu, bisa saja menambahkan hikmah dan sebab-sebab lain dari ijtihad seperti ini sesuai yang Alloh bukakan kepada para hambaNya. Ibnu Katsir telah mengisyaratkan bahwa lemahnya kaum muslimin bukan merupakan satu-satunya sebab jihad tidak disyariatkan di Mekkah, ia berkata: “Orang-orang beriman di awal-awal Islam di Mekkah diperintahkan untuk sholat dan zakat yang belum mencapai nishob. Mereka juga diperintah menyantuni orang fakir dari mereka. Mereka juga diperintahkan membiarkan dan memaafkan orang-orang musyrik, serta bersabar hingga tiba saatnya nanti. Padahal, mereka juga menahan amarah dan ingin sekali berperang agar bisa melampiaskan perasaannya terhadap musuh. Kondisi saat itu belum tepat lantaran banyak sebab. Di antaranya adalah masih sedikitnya jumlah orang beriman dibandingkan jumlah musuh. Sebab lainnya karena mereka berada di negeri mereka sendiri, yaitu Tanah Harom yang merupakan petak tanah termulia, sehingga saat itu belum ada perintah perang dulu sebagaimana dikatakan. Oleh sebab itu, jihad belum diperintahkan kecuali setelah di Madinah, ketika mereka sudah memiliki basis kekuatan dan para pembela.”217 Ia juga mengisyaratkan sebab lain ketika menafsirkan firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…”218 Ia berkata, “Artinya, hendaknya orang-orang beriman memaafkan dan bersabar menahan gangguan mereka. Ini berlaku di awal-awal Islam, mereka diperintahkan bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab agar membuat mereka lunak. Tatkala mereka ternyata terus menerus menentang, Alloh mensyariatkan sikap tegas dan jihad. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA dan Qotadah.”219 Ia berkata lagi, “Jihad disyariatkan di saat yang paling tepat. Sebab ketika orang-orang Beriman masih di Mekkah, kaum musyrikin lebih banyak jumlahnya. Kalau Alloh perintahkan Kaum Muslimin memerangi kaum musyrikin yang ada padahal jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh, tentu itu berat bagi mereka. Maka tatkala kedudukan mereka di Madinah kokoh dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada mereka dan merekapun berkumpul membela dan menolong beliau, mereka sudah punya negeri Islam dan tempat berlindung, Alloh pun mensyariatkan jihad melawan musuh.”220 Ustadz Sayyid Quthb Rahimahullah memiliki pernyataan tentang masalah ini, beliau menambahkan bahwa dalam 217 Tafsirul Qur’anil ‘Azhim: I/ 526. Al-Jatsiyah: 14 219 Ibid. (IV/ 150) 220 Ibid. (III/ 226) 218 180 181 lemahnya Kaum Muslimin ada enam hikmah lain, secara ringkas beliau mengatakan: membiarkan Abu Bakar hijrah dan keluar dari Mekkah, ia menganggap itu aib bagi bangsa Arab, maka ia mendampingi dan melindunginya. “Bisa jadi fase Mekkah adalah fase tarbiyah dan I‘dad. Di antara tujuan tarbiyah adalah mendidik jiwa masyarakat Arab untuk bersabar menghadapi perkara yang biasanya mereka tidak sabar, seperti ketika mereka mendapat perlakuan zalim atau kezaliman itu menimpa orang yang mereka jadikan tempat perlindungan. Hal ini supaya kepribadian mereka terbebas darinya dan agar tidak kembali mengulangi tabiat seperti itu, demikian juga orang yang mereka pandang sebagai tumpuan hidup. Barangkali juga karena sedikit dan terbatasnya jumlah kaum Muslimin di Mekkah ketika itu. Maka dalam kondisi seperti ini, peperangan yang dipaksakan akan berujung kepada terbunuhnya kelompok muslim dan eksisnya kesyirikan. Di saat yang sama, ketika itu belum ada tuntutan mendesak untuk mengabaikan semua pertimbangan ini. Sebab perkara yang pokok dalam dakwah ini berjalan dengan tepat dan terlaksana pada waktunya, dakwah tetap bisa dilaksanakan oleh Sang Dai, yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sendiri dilindungi pedang-pedang Bani Hasyim, sehinga tidak ada tangan yang berani coba-coba mengusiknya kecuali terancam akan tertebas.”221 Mungkin juga, karena dakwah secara damai lebih berbekas dan lebih bisa diterima pada lingkungan seperti Quraisy yang biasa bersikap arogan dan merasa mulia, dan mungkin saja kalau perang digunakan pada fase seperti ini hanya akan menambah penentangan. Di antara hikmah lain, bisa jadi untuk menghindari munculnya peperangan dan pembunuhan di setiap rumah. Sebab saat itu belum ada sistem kekuasaan berupa undang-undang umum yang mengatur penyiksaan yang menimpa orang-orang beriman, tapi hanya diserahkan kepada pemimpin masing-masing, mereka berhak menyiksa dan mendidiknya. Barangkali juga, karena Alloh tahu bahwa kebanyakan orang-orang yang menentang dan menyiksa Kaum Muslimin generasi pertama itu kelak bakal menjadi tentara Alloh yang ikhlas. Barangkali juga, sifat kesatria Bangsa Arab biasanya ingin membalaskan dendam orang terzalimi yang menerima siksaan namun tidak bisa membalas, terlebih jika siksaan itu menimpa orang terpandang di kalangan mereka. Ibnud Daghonah misalnya, ia tidak rela 182 Sebelum ini, ustadz Sayyid Quthb sudah memberikan pengantar yang menyebutkan bahwa apa yang akan belaiu ucapkan dalam masalah ini tak lain adalah ijtihad, bisa salah dan bisa benar. Dan bisa saja di balik semua itu ada hikmahhikmah lain yang tidak diketahui selain Alloh, sikap seorang mukmin di hadapan tugas syariat dan hukum apapun yang sebabnya tidak Alloh terangkan secara rinci, pasti dan jelas, maka: “…meskipun terlintas sebab dan ‘illah-‘illah dari hukum atau tugas syariat tertentu, ia harus menganggap semua yang terlintas itu sebatas kemungkinan saja. Janganlah ia memastikan –walau se-tsiqoh apapun ilmu ilmu dan perenungannya terhadap hukum-hukum Alloh—bahwa pendapatnya itulah hikmah yang dikehendaki Alloh secara 221 Lihat Adz-Dzilal: (II/ 714-715) 183 nash, di balik itu tidak ada yang lain. Sikap tidak memastikan seperti ini termasuk adab yang wajib terhadap Alloh…”222 Jadi, ini adalah masalah ijtihad. Tidak mungkin bisa dipastikan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah satusatunya sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah. Artinya, di sana ada banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk menemukan sebab-sebab mengapa perang dilarang di fase Mekkah. Lantas, mengapa kelemahan dianggap sebagai satu-satunya ‘illah yang menjadi poros ada tidaknya perintah menahan diri dan membiarkan? meninggalkan khomer selamanya.’ Jika langsung diturunkan, ‘Kalian jangan berzina.’ Tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya…”223 Di sini, Aisyah RA menjelaskan bahwa sebab penundaan diturunkannya berbagai hukum –seperti diharamkannya khomer— adalah disebabkan manusia pada awal-awal kedatangan Islam belum siap menerimanya. Ini juga salah satu hikmah ilahiy dengan menunda turunnya hukum sampai jiwa mereka tenang dengan tauhid serta memahami surga dan neraka. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyariatkannya jihad di fase Mekkah, sebenarnya adalah pembahasan mengenai hikmah dari pensyariatan secara bertahap (tadarruj), bukan mengenai ‘illah hukum. Seperti perkataan Aisyah ketika menerangkan sebab ditundanya hukum-hukum diturunkan, di antaranya tadarruj dalam pengharaman khomer. Kita tahu bahwa tadinya khomer tidak haram, selanjutnya diharamkan ketika sholat saja dan terakhir diharamkan secara total. Hukum terakhir inilah yang menghapus semua hukum sebelumnya. Tidak diragukan lagi bahwa belum diharamkannya khomer pada awal mula Islam memiliki sebab-sebab, seperti dijelaskan pada perkataan Aisyah RA: “Sesungguhnya yang pertama kali diturunkan adalah surat Mufashshol yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Hingga ketika manusia mau kembali kepada Islam, turunlah masalah halal haram. Seandainya pertama-tama langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan “Maka tatkala jiwa sudah tenang atas hal itu, barulah turun ayat-ayat hukum. Oleh karena itu, Aisyah RA berkata, ‘Seandainya pertama kali langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer.’ Hal itu disebabkan watak jiwa yang akan menolak meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.”224 Tetapi perlu dicatat, sebab yang disebutkan Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai ditundanya penurunan ayat-ayat hukum bukan berarti jika sebab itu kembali ada, hukum dari sebab itu akan sama dengan hukum yang berlaku pertama kali. Misalnya, jika hari ini ada orang Barat masuk Islam dan tadinya ia biasa minum khomer atau memiliki kebiasaan seperti kebiasaan orang Arab dahulu, atau lebih parah, maka tidak boleh kita terapkan syariat pengharaman khomer secara bertahap terhadapnya. Namun sejak hari pertama masuk Islam, ia diwajibkan mengamalkan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling akhir (pengharaman khomer 223 222 224 Ibid. (II/ 713-714) 184 Diriwayatkan Bukhori (4993) Fathul Bari (IX/ 40) 185 secara total) meskipun dalam dirinya terdapat sebab yang sama dengan sebab diharamkannya khomer secara bertahap. Jadi, ‘Aisyah tidak berbicara mengenai ‘illah diharamkannya khomer, zina atau hukum lainnya. Bahkan tidak berbicara tentang hikmah pensyariatan hukum tersebut. Beliau hanya berbicara mengenai hikmah mengapa turunnya hukum-hukum tersebut ditunda. Demikian juga, dalam urusan jihad sah-sah saja mengatakan: Sesungguhnya lemahnya kaum muslimin di fase Mekkah adalah hikmah tidak disyariatkannya jihad di masa itu. Akan tetapi, itu bukan merupakan ‘illah yang menjadi poros wajib tidaknya jihad. Sesungguhnya perkataan bahwa dalam kondisi lemah hukum kembali kepada hukum yang berlaku ketika fase Mekkah sama dengan meninggalkan I‘dad (persiapan) untuk perang. Sebab ketika itu kaum Muslimin tidak diperintahkan melakukan I‘dad. Perintah I‘dad baru turun ketika di Madinah, setelah disyariatkannya perang. Perkataan ini jelas tidak benar. Karena sudah jelas, di saat jihad tidak bisa dilakukan lantaran kondisi lemah maka harus dilakukan I‘dad, sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah225. Syubhat Keenam: Keenam: Orang Kafir Terlindungi Darah Dan Hartanya Jika Kaum Muslimin Belum Memiliki Persenj Persenjataan Yang Cukup (Syaukah) Dan Kekuatan. Kekuatan. Sebab Rosululloh ShoShollallohu ‘Alaihi wa Sallam Tidak Tidak Memerangi Memerangi Seorang Musyrikpun Di Mekkah Dan Tidak Menghalalkan Harta Dan Darah Mereka Jawaban: Adapun anggapan bahwa orang kafir terlindungi jika Kaum Muslimin tidak memiliki syaukah dan kekuatan, maka ini adalah kebid‘ahan dalam agama Islam. Mengenai masalah terlindunginya darah, sudah dibicarakan pada pembahasan pertama dari pasal kedua. Sedangkan masalah syaukah dan kekuatan telah dibahas pada jawaban syubhat keempat, silahkan merujuknya kembali. Berdalil dengan sikap Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang kafir di fase Mekkah itu seperti perkataan mereka yang biasa disebut “Jama‘ah Tawaqquf”. Mereka mengatakan bahwa kita sedang hidup di masa kelemahan seperti periode Mekkah dulu, sehingga kita harus memberlakukan kembali fase-fase pemberlakuan hukum yang diikuti di masa pertama Islam, yaitu memulai dengan apa yang diturunkan di Mekkah di masa lemah yang sekarang kita juga sedang mengalaminya. Nanti kalau jama‘ah ini sudah sampai kepada kekuasaan dan memberlakukan Islam sebagai hukum, barulah ia jalankan syari‘at yang turun di Madinah, tatkala Islam berkuasa. 225 Lihat Majmu‘ Fatawa (28/ 259) 186 187 Adapun fase yang sekarang kita alami adalah masa kelemahan, wanita-wanita musyrik belum haram dinikahi, sembelihan-sembelihan mereka juga belum haram, sholat Jum‘at belum wajib, begitu juga sholat Idul Fithri dan Idul Adha. Berjihad juga tidak boleh, kita wajib menahan diri dulu dan tidak melakukan perlawanan, dan tidak ada hukumhukum lain yang turun ketika Islam berkuasa di Madinah yang bisa diberlakukan sekarang.226 Parahnya, kelompok ini menganggap itu bagian dari akidah, sehingga kemudian mengkafirkan orang yang mengingkari fase-fase tersebut. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan orang yang berusaha menyusun kekuatan di masa kelemahan seperti ini. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang menyatakan pandangan khususnya secara terus terang tentang kafirnya Sayyid Quthb Rahimahullah karena dalam pandangan mereka beliau ini mengambil jalan kekuatan. 227 Yang lebih parah dari bid‘ah ini adalah bid‘ah seseorang bernama Mahmud Thoha As-Sudani –yang terbunuh pada masa An-Numairi— di mana ia juga beranggapan bahwa kita ini hanya diwajibkan mengamalkan Al-Qur’an Mekkah, ia menamakannya Al-Qur’an Mekkah dengan Qur’an Al-Isholah. Atas dasar keyakinan itu, sekarang ini tidak ada zakat dan jihad, khomer tidak haram dan pada asalnya wanita itu adalah terbuka, bukan berjilbab serta kebatilan-kebatilan lain228, ini tentunya adalah kesesatan yang paling parah. Syubhat Ketujuh: Ketujuh: Tidak Boleh Membunuh Orang Amerika Dalam Kondisi Lengah Lengah (Ightiyâl) Ightiyâl) Berdasarkan Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak “Tidak Selayaknya Seorang Nabi Melakukan Pengkhianatan Mata.” Mata.” Jawaban: Diperbolehkan melakukan ightiyal terhadap orang kafir harbi, yakni orang kafir yang tidak ada ikatan janji. Sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kebolehannya jika dilakukan terhadap orang yang gangguan terhadap Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sangat keras. Masalah ini juga diisyaratkan dalam firman Alloh ta‘ala: ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺧ ﹸﺬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺚ‬ ‫ﻴ ﹸ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺸ ِﺮ ِﻛ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾ‬‫ﻡ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬  ‫ﻧ‬‫ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﺍ‬ ‫ﺻ ٍﺪ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﹸﻛ ﱠﻞ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺍ ﹶﻟ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺍ ﹾﻗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ‬ “…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”229 Al-Qurthubi berkata, “…dan intailah mereka dari tempattempat pengintaian” maksudnya, intailah mereka di tempattempat ketika mereka lalai. Ini merupakan dalil bolehnya melakukan ightiyal terhadap mereka sebelum mendakwahi mereka.” 226 Al-Hukmu wa Qodhiyyatu Takfîril Muslim milik Al-Mustasyar Salim AlBahansyawi, hal. 29. 227 Ibid. 228 Ibid hal. 32 188 229 At-Taubah: 5 189 Perkataan Al-Qurthubi, “…sebelum mendakwahi mereka” maksudnya, bagi orang yang sebelumnya sudah menerima dakwah. ‘Alaihi wa Sallam, mereka juga menipunya sebelum berhasil membunuhnya ketika Ka‘b berada di benteng Manî‘. Ibnu Hajar berkata, Sedangkan ayat “…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”230 berisi dalil disyariatkannya aksi pengintaian, pemantauan dan memata-matai musuh. “Di dalam Mursal ‘Ikrimah disebutkan: ‘..Maka orang-orang yahudi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan itu, kemudian mereka mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, ‘Pembesar kami terbunuh diamdiam.’ Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu menceritakan kelakuan Ka‘ab yang suka memprovokasi orang lain untuk memerangi beliau dan menyakiti Kaum Muslimin.’” Adapun sunnah, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof dan Abu Rofî‘ bin Abil Huqoiq, keduanya adalah orang Yahudi. Mengenai Ka‘ab, disebabkan karena ia memprovokasi kaum musyrikin untuk memerangi Kaum Muslimin. Ia juga gemar mencaci Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan syairnya dan suka mengganggu isteri-isteri kaum Muslimin. Adapun kisah pembunuhannya terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim. Sa‘d menambahkan, “…akhirnya mereka ketakutan dan tidak bicara sepatahpun.” Hingga Ibnu Hajar mengatakan: “Hadits ini berisi bolehnya membunuh orang musyrik tanpa mendakwahinya dulu, jika dakwah secara umum sudah sampai kepadanya. Dan berisi bolehnya berbicara dalam perang sesuai keperluan, meskipun orang yang mengatakan tidak bermaksud makna yang sebenarnya.”232 Bukhori meriwayatkan hadits ini dalam Kitabul Jihad (Bab Al-Kidzbu fil Harbi/ Bab Berdusta Dalam Perang) dan (Bab Al-Fatku bi Ahlil Harbi/ Bab: Membunuh Orang Kafir Harbi) Bukhori meriwayatkan dari Jabir: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang mau membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof? Sesungguhnya ia telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya.” Maka Muhammad bin Salamah berdiri lalu berkata, “Wahai Rosululloh, apakah tuan suka kalau saya membunuhnya?” beliau bersabda, “Ya.” Ia berkata, “Kalau begitu, izinkan aku mengatakan sesuatu.” Beliau bersabda, “Katakan saja.” Akhirnya Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka‘b.” 231 Selanjutnya dalam hadits ini dikisahkan bahwasanya Muhammad bin Salamah dan teman-temannya mengelabui Ka‘ab dengan berpura-pura kecewa terhadap Nabi Shollallohu 230 231 At-Taubah: 5 Hadits 4037. Maka barangsiapa yang menyebut aksi ightiyal terhadap orang-orang kafir yang memerangi Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai sebuah pengkhianatan janji atau sebutan semisal, atau mengatakan Islam mengharamkannya, berarti ia sesat dan mendustakan AlQur’an dan Sunnah. 232 190 Fathul Bari (VII/ 340) 191 An-Nawawi berkata: “Al-Qodhi berkata, ‘Tidak halal bagi siapapun mengatakan bahwa membunuh orang seperti ini adalah mengkhianati janji. Dulu pernah ada seseorang yang mengatakannya di majelis Ali bin Abi Tholib RA , maka diperintahkan agar kepalanya dipenggal, iapun akhirnya dipenggal.’”233 Kisah terakhir ini disebutkan Al-Qurthubi dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “…maka bunuhlah para pemimpinpemimpin kekafiran.”234 Disebutkan juga oleh Ibnu Taimiyah dalam As-Shorimul Maslul ‘Ala Syatimir Rosul. Ia juga menyebutkan peristiwa yang terjadi antara Muawiyah dan Muhammad bin Maslamah RA. Adapun Ibnu Abil Huqoiq adalah Yahudi dari Khoibar dan pedagang Hijaz. Dulu dialah yang pergi ke Mekkah untuk membujuk rayu kaum Quraisy menyerang Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mereka membentuk pasukan Ahzab (pasukan sekutu), jadi dialah penyulut api perang Ahzab. Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus beberapa orang Anshor kepada Abu Rofi‘, beliau menunjuk Abdulloh bin ‘Atik sebagai pemimpin. Abu Rofi‘ ini selalu menyakiti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan bersekongkol melawan beliau. Waktu itu ia berada di bentengnya di tanah Hijaz.”235 Masih dari Barro’, Bukhori meriwayatkan lagi, ia berkata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus satu rohth (pasukan berjumlah antara 3-10, penerj.) untuk membunuh Abu Rofi‘, maka Abdulloh bin ‘Atik masuk ke rumahnya pada suatu malam kemudian membunuhnya.”236 Abdulloh bin Atik mengunakan berbagai tipuan sampai ia berhasil membunuhnya, ia menyamar hingga bisa masuk ke benteng, kemudian itu tutup pintu rumah orang-orang Yahudi dari luar, baru kemudian ia berjalan ke ruangan Abu Rofi‘. Tidaklah ia berjalan melewati satu pintu melainkan ia kunci pintu itu dari dalam, ia juga merubah suaranya hingga tidak dapat dikenali. Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa kesimpulan, yaitu: Bolehnya melakukan ightiyal terhadap orang musyrik yang dakwah sudah disampaikan kepadanya kemudian ia masih saja berada di atas kesyirikannya. Dan boleh membunuh orang yang membantu musuh dalam melawan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan tangan (perbuatan), hartanya, atau lisannya. Juga bolehnya memata-matai dan mencari celah kelalaian pasukan perang musuh, dan bersikap keras dalam memerangi orang-orang musyrik. Juga bolehnya menyamarkan perkataan demi sebuah kemashlahatan, dan diperbolehkannya kaum Muslimin yang sedikit maju menghadapi orang musyrik yang banyak.”237 Dalam masalah ini, Syaikh Abdurrohman Ad-Dausari Rahimahulloh berkata ketika menyebutkan tingkatantingkatan ‘Ubudiyyah di dalam tafsirnya terhadap firman Alloh ta‘ala: 233 236 234 237 Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi (XII/ 160) At-Taubah: 12 235 Hadits 4039. 192 Hadits 4038. Fathul Bari (VII/ 345) dan dikeluarkan Bukhori di dalam Kitabul Jihad (Bab Qotlun Naim Al-Musyrik). 193 ‫ﲔ‬  ‫ﺘ ِﻌ‬‫ﺴ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭِﺇﻳ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ِﺇﻳ‬ “Hanya kepada-Mulah hamba beribadah kepada-Mulah hamba mohon pertolongan.”238 dan ibadah kepada Alloh, dan merupakan toleransi terangterangan sekaligus jahat terhadap “cangkul-cangkul” yang menghancurkan agama Alloh. Tidak ada yang dilapangkan dadanya dalam hal itu kecuali orang yang tidak memiliki ghiroh terhadap agama Alloh dan rasa marah demi wajah-Nya yang Mahamulia. Itu merupakan kekurangan besar dalam kecintaan dan pengagungan kepada Alloh dan rosul-Nya, tidak mungkin dilakukan oleh orang yang merealisasikan ‘ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang benar dan sesuai yang diwajibkan.”239 hanya Ia berkata, “Kemudian, menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekwensi dalam menegakkannya. Maka seorang hamba yang ibadahnya kepada Alloh benar, tidak akan menunda-nunda dalam urusan ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya. Seorang hamba yang beribadah kepada Alloh dan dalam dirinya terdapat tekad kuat untuk berjihad, ia akan melaksanakan aksi ightiyal terhadap para pemimpin kekafiran dari kalangan para Aktifis gerakan Atheis dan Pornografi, dan siapa saja yang mencela wahyu Alloh atau menulis dan melancarkan propaganda untuk melawan agama yang lurus ini, sebab orang-orang seperti ini telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Ibnu Qudamah berkata: “Boleh melakukan tabyit terhadap orang-orang kafir, yaitu menyerang mereka di malam hari serta membunuh mereka ketika lengah. Ahmad berkata: Tidak mengapa menyerang malam hari, bukankah Romawi juga diperangi di malam hari? Ia berkata lagi: Kami tidak mengetahui seorang pun yang memakruhkan penyerangan musuh di malam hari. Sufyan membacakan kepadanya dari Az-Zuhri dari Abdulloh dari Ibnu ‘Abbas dari Ash-Sho‘b bin Jatsamah ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai perkampungan-perkampungan orang musyrik yang kami serang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk mereka.” Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslimin di jengkal bumi manapun, baik orang alimnya atau awamnya, membiarkan orang seperti mereka tetap hidup. Sebab mereka lebih berbahaya daripada Ibnu Abil Huqoiq dan lain-lain yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk melakukan ightiyal kepada mereka. Ahmad berkata: Isnad-nya jayyid. Jika dikatakan: bukankah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak? Maka tidak melakukan ightiyal terhadap orang-orang yang menjadi pewaris mereka di zaman sekarang merupakan pengabaian wasiat Nabi pilihan Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, kekurangan yang parah dalam 239 238 Dari Shofwatul Atsar wal Mafahim min Tafsiril Qur’anil ‘Adzim milik Syaikh Abdur Rohman Ad-Dausari terbitan Darul Arqom juz I hal. 268. Al-Fatihah: 5 194 195 Kami katakan: Ini jika membunuh mereka dengan sengaja. Ahmad berkata, ‘Kalau membunuh mereka dengan sengaja, maka tidak boleh.’ Ia berkata: Hadits Ash-Sho‘b datang setelah larangan Nabi SAW untuk membunuh wanita di saat mengutus pasukan untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq. Juga, kompromi dari dua hadits tersebut bisa dilakukan, yaitu: larangan dibawa kepada makna jika sengaja, dan boleh dalam kondisi tidak sengaja.”240 As-Sarkhosi berkata dalam As-Sairul Kabir: “Jika orang-orang Islam yang ditawan bisa membunuh musuh yang memerangi dengan cara ightiyal dan mengambil harta mereka, maka itu tidak mengapa. Sebab kaum tersebut memerangi mereka, di saat yang sama, mereka dalam kondisi ditindas dan didzalimi, maka mereka boleh melakukan perlakuan setimpal terhadap orang yang menzalimi jika hal itu memungkinkan.” Dalil lain (yang mereka gunakan) adalah kisah Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh dalam riwayat Abu Dawud, Nasa’i, AlBazzar, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari hadits ‘Utsman RA, bahwasanya ia meminta jaminan keamanan untuk Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh, lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Ia mengulangi untuk kedua kalinya. Maka tatkala Abdulloh pergi, beliau bersabda, “Mengapa tidak ada seorangpun dari kalian yang membunuhnya ketika aku berpaling darinya?” para shahabat mengatakan, “Mengapa tuan tidak mengisyaratkan dengan mata tuan?” beliau bersabda, “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.” 240 Para ulama berkata: Ini berlaku khusus bagi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, itu boleh dilakukan oleh selain beliau. Seandainya ada seseorang selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang memberikan isyarat, tentu itu sesuai dengan keinginan Rosululloh ‘Alaihis Sallam ketika berpaling dari permintaan keamanan ‘Utsman untuk Abdulloh, maksud beliau barangkali ada salah satu dari shahabat yang datang kemudian membunuh Abdulloh bin Abis Sarh.” Abu Dawud, Tirmizi dan Baihaqi meriwayatkan melalui jalur lain dari Anas, ia berkata: “Aku berperang bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kaum musyrikin maju ke arah kami sampai kami lihat kuda kami berada di punggung-punggung kami. Di antara mereka ada seorang lelaki yang maju menerobos barisan kami, ia memukul serta memporak-porandakan dan membuat kami kocar kacir, kemudian Alloh kalahkan mereka. Maka ada seorang lelaki yang mengatakan: “Sungguh aku bernadzar, jika Alloh datangkan lelaki tadi kepadaku, aku akan penggal kepalanya.” Akhirnya orang itu datang kedua kalinya, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menahannya, tidak membaiatnya. Maka lelaki yang bersumpah tadi menghadangnya, namun ia sungkan kepada Rosululloh Saw untuk membunuhnya. Tatkala Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melihat ia tidak melakukan apapun, baru beliau membaiatnya. Lelaki itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menahan diri dari orang itu sejak hari ini kecuali agar engkau tunaikan nazarmu.” Lelaki itu berkata, “Wahai Rosululloh, mengapa tuan tidak mengerdipkan mata kepadaku?” beliau bersabda, “Tidak boleh seorang nabi mengedipkan mata.” Al-Mughni was Syarhul Kabir (X/ 503) 196 197 Di sini muncul permasalahan, yaitu jika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan membunuh wanita dan anak-anak yang menyertainya, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak? An-Nawawi berkata, ““Mereka termasuk ayah mere-ka,” artinya: tidak mengapa melakukan serangan tersebut; sebab hukum-hukum yang berlaku bagi ayah mereka juga berlaku untuk mereka dalam hal waris, nikah, qishosh, diyat dan sebagainya. Di sini maksudnya adalah jika mereka terkena dengan tidak sengaja dan bukan dalam keadaan terpaksa. Jawabnya: Boleh membunuh mereka meskipun mereka tidak berperang dan membantu peperangan, yaitu ketika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan itu, dan tidak melakukannya dengan sengaja. Dalam masalah ini ada dua hadits: a. Hadits berisi larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam penyerangan malam itu adalah madzhab yang kami pegang, termasuk madzhab Malik, Abu Hanifah dan Jumhur. Makna dari kata Al-bayaat dan yubayyatuuna adalah: mereka diserang di malam hari di mana antara lelaki, wanita dan anak-anak tidak bisa diketahui. Hadits ini berisi bolehnya penyerangan malam hari dan bolehnya menyerang orang yang sudah didakwahi tanpa harus memberitahukan penyerangan itu terlebih dahulu. Termasuk kandungan hadits ini adalah: Hukum anakanak orang kafir di dunia sama dengan hukum ayahnya; adapun di akhirat, jika mereka mati sebelum baligh ada tiga madzhab dalam hal ini.”244 Hadits Ibnu ‘Umar ia berkata, “Ada seorang wanita terbunuh di salah satu peperangan, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.” Di dalam riwayat lain: “Beliau mengingkarinya.” Menggantikan kata-kata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.”241 b. Hadits Ash-Sho‘b bin Jatstsamah ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai anak-anak kaum musyrikin, mereka diserang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anakanak kaum musyrikin. Maka beliau bersabda, “Mereka adalah dari mereka.”242 Adapun berdalil dengan hadits yang menyebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghukum mati seorang Muslim dalam perang Khaibar karena ia membunuh orang kafir dengan cara meng-ightiyalnya, dan ketika itu beliau bersabda, “Aku paling utama atau paling berhak sebagai orang yang memenuhi jaminannya.” Dalam lain riwayat: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya bahwa pasukan kuda menyerang pada malam hari kemudian mengenai anak-anak kaum musyrikin, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk ayah mereka.”243 Maka hadits ini dho‘îf, disebutkan Abu Dawud dalam Marosil-nya, semua jalur periwayatannya cacat (ma‘lulah). Pengarang Ad-Diroyah fi Takhriji Ahaditsil Hidayah mengupas dengan baik sebagian besar jalur periwayatannya (II/ 262), demikian juga dengan pengarang Nashbur Royah milik Az- 241 Muttafaq Alaih. Muttafaq ‘Alaih. 243 HR. Muslim. 242 244 198 Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi (XII/ 48-50) 199 Zaila‘i, ia menyebutkan dan menilainya sebagai hadits dho‘if, silahkan memeriksa pembahasan tentang hal itu. Asy-Syafi‘i berkata, –semoga Alloh ta‘ala merahmati beliau— Syubhat Kedelapan: Kedelapan: Barangkali Ada Yang Mengatakan, Mengatakan, ‘Kalaulah Kami Terima Pendapat Kalian Ini, Ini, Maka Sesungguhnya Ini Berlaku Ketika Dalam Kondisi Perang, Perang, Sedangkan Antara Kita Dan Amerika Adalah Kondisi Damai, Damai, Sebab Ada “Kalaulah kita anggap hadits itu shohih, maka itu sudah manshukh dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu Fathu Makkah, ‘Seorang muslim tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir.’ Hadits ini tercantum dalam riwayat Bukhori dan yang lain. Kalaulah hadits itu shohih, dan kita anggap ia tidak ter-manshukh, maka hukum itu berlaku bagi kafir dzimmi yang mu‘ahad , sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwaththo’ tulisan Imam Malik –semoga Alloh ta‘ala merahmatinya— kemudian ia ter-manshukh. Tinggallah dosa tersebut bagi yang membunuh orang kafir mu‘ahad. Menurut kami, membunuh kafir dzimmi yang mu‘ahad adalah terlarang dan kami katakan hal itu berdasarkan hadits dari Abdulloh bin ‘Amru RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh kafir mu‘ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sungguh baunya tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” Sekarang ini, orang-orang Amerika bukan berstatus mu‘ahad sebagaimana akan dijelaskan. Lebih-lebih para pelaku yang melancarkan operasi serangan terhadap mereka sudah memberitahukan bahwa tidak ada ikatan dan perjanjian apapun dengan mereka. Maka bagaimana hadits dan petunjuk Nabi Al-Mushthofâ Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengenai bolehnya membunuh orang kafir secara ightiyâl ini akan diterapkan dengan kondisi Bani Ashfar (Amerika) seperti sudah dijelaskan? Mu‘âhadah Mu‘âhadah (Adanya (Adanya Perjanjian) Perjanjian) Yang Harus Dipenuhi Jawaban: Pertama: Sudah jelas dari pemaparan sebelumnya dan tidak menyisakan tempat untuk ragu, bahwa Amerika adalah negara yang memerangi kaum muslimin secara umum, tidak ada yang membantahnya kecuali orang yang sombong. Kedua: Kalaulah kita setuju ada mu‘ahadah, apa yang kalian katakan tentang perbuatan Abu Bashir dan larinya dia ke daerah Tepi Pantai lalu menyerang orang-orang kafir, setelah itu orang yang masuk Islam yang lari membawa agamanya bergabung kepadanya? Apakah kalian akan menganggap perbuatannya haram? Jika iya, berarti kalian telah mencela Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menyebut beliau telah membatalkan janji –dan itu mustahil bagi beliau—, karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan hal itu, beliau bersabda, “Tsakilathu Ummuhu, Abu Bashir adalah pengobar perang seandainya bersamanya para perwira.” (Ini adalah riwayat Bukhori) Sekarang, tidak ada alasan buat Anda untuk mengatakan bahwa masa sekarang ini termasuk dalam kondisi perjanjian. Jika Anda mengatakan hal itu, kami katakan kepada Anda: Kondisi yang kita alami sekarang ini bukan termasuk dalam kondisi perjanjian, wahai para penghalang dan pelemah semangat jihad… Jika Anda hendak menilai kondisi yang sedang kita hadapi sekarang, Anda mesti mendatangkan dalil tentangnya. 200 201 Ketiga: Perjanjian umum –menurut Anda tadi— sudah batal berdasarkan alasan berikut: 1. Perjanjian itu tidak dilangsungkan oleh Imam Tertinggi kaum muslimin. Maka perjanjian itu berlaku khusus bagi yang mengadakan akad dengan Amerika jika yang mengadakannya adalah seorang penguasa yang berhukum dengan hukum Islam. Jika tidak maka tidak, dan seribu kali tidak.. 2. Perjanjian itu waktunya tidak terbatas, sehingga itu batil. Karena sekarang ini sudah lebih dari 150 tahun kaum muslimin tidak terjun dalam kancah perang tholabi terhadap orang kafir, dan ini adalah batil serta tidak diperbolehkan. Makanya, Ibnu Qudamah berkata, “Minimal, jihad dilaksanakan setahun sekali; sebab jizyah itu wajib atas Ahlu Dzimmah setiap tahun dan itu merupakan ganti dari pemberian perlindungan. Maka begitu juga dengan pengganti jizyah, yaitu jihad; ia wajib dilaksanakan setahun sekali kecuali ada uzur, seperti karena kaum muslimin masih lemah dari segi jumlah dan logistiknya, atau sedang menunggu bantuan yang diminta, atau jalan yang hendak mereka lewati ke arah musuh ada penghalang, atau di sana tidak ada makanan dan minuman, atau ia mengetahui bahwa musuhnya punya pandangan bagus terhadap Islam, sehingga besar harapan mereka masuk Islam jika perang terhadap mereka ditunda, atau hal lain yang dipandang sebagai mashlahat ketika perang tidak dilaksanakan. Maka boleh tidak melaksanakan jihad dalam rangka gencatan senjata. Karena Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dulupun membuat perjanjian damai dengan kaum Quraisy selama dua puluh tahun dan menunda peperangan terhadap mereka sampai mereka sendiri yang membatalkan janjinya, beliau juga menunda perang terhadap para 202 kabilah Arab tanpa adanya gencatan senjata. Jika satu tahun diperlukan perang lebih dari satu kali, hal itu wajib dilaksanakan; sebab itu adalah fardhu kifâyah, sehingga wajib dilaksanakan kapan diperlukan. Dan sebagaimana ditetapkan para ulama, jika mu‘ahadah lebih dari batas waktu yang ditentukan, batallah sisa waktu yang lebih tersebut. 3. Perjanjian itu adalah perjanjian mengenai perkara haram, maka tidak ada kata mendengar dan taat di dalamnya, yang bernilai haram di sana adalah penihilan jihad dan penghapusan pilar penegak Islam dengan alasan menjaga perdamaian dunia. 4. Tetap berlangsung tidaknya perjanjian ini sangat tergantung dengan konsekwen tidaknya salah satu fihak, yaitu ia tidak melanggarnya. Faktanya, Amerika telah melanggar semua perjanjian dan ikatan. Bahkan ia tidak mengenal selain kata khianat dan melanggar janji! “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin.”245 “Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Alloh dan rosulNya dengan orang-orang musyrikin) padahal jika mereka menang terhadap kamu mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak pula (mengindahkan perjanjian). Mereka menyenangkanmu dengan mulut-mulut mereka sedangkan hatinya menolak dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”246 “Mereka tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula (mengindahkan 245 246 At-Taubah: 7 At-Taubah: 8 203 perjanjian). Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”247 5. Kalaulah kita setuju akan adanya perjanjian khusus satu negeri Muslim dan penguasanya dengan Amerika, maka para mujahidin yang berada di selain negara yang menjalin ‘perjanjian palsu’ tadi tidak terikat janji apapun dengan Amerika seperti yang dinyatakan Amerika sendiri. 6. Berdasarkan ijma‘, boleh membatalkan janji dari suatu kaum dengan syarat dikhawatirkan kaum itu akan mengabaikannya. Alloh berfirman: ‫ﺐ‬  ‫ﺤ‬ ِ ‫ﻳ‬‫ﷲ ﹶﻻ‬ َ ‫ﺁ ٍﺀ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬‫ﺳﻮ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻧ ﹰﺔ ﻓﹶﺎﻧِﺒ ﹾﺬ ِﺇﹶﻟ‬‫ﺎ‬‫ﻮ ٍﻡ ِﺧﻴ‬ ‫ﻦ ﻣِﻦ ﹶﻗ‬ ‫ﺎﹶﻓ‬‫ﺗﺨ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭِﺇﻣ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺂِﺋِﻨ‬‫ﺍﹾﻟﺨ‬ “Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Alloh tidak suka orang-orang yang berkhianat.”248 7. Kemudian, bagaimana mungkin memberikan jaminan keamanan kepada orang kafir yang memerangi dan menjajah negeri Islam sementara ia selalu melakukan pelanggaran keamanan dan perjanjian ini setiap masa. Maka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan kepada orang seperti ini ibarat orang yang mengucapkan sesuatu hal sekaligus mengucapkan lawan katanya dalam satu waktu, dan seperti orang yang memberikan jaminan keamanan kepada orang yang menyembelih, merampok dan menodai kehormatannya, kemudian setelah itu mengatakan kepadanya, “Kejahatan seperti apapun yang 247 248 engkau lakukan terhadap hak-ku, engkai tetap aman menurut fihak saya; adapun engkau –hai musuh yang menyerang—engkau mendapatkan kebebasan sebebasbebasnya untuk menodai kehormatanku dan merampok hasil negeriku, bagaimana dan kapan saja kamu mau.” Tindakan seperti ini tentu saja tidak benar baik secara akal maupun syar‘i. Dan tidak ada seorangpun –yang memiliki akal dan din walau seberat biji dzarroh— menyatakan kebenaran akad dan perjanjian seperti ini dan keharusan untuk menghormatinya. Umat ini belum pernah mengenal perjanjian dan akad seperti ini kecuali di zaman kita sekarang, di mana banyak sekali putera-putera Umat Islam yang mengekor dan “menuhankan” Amerika serta negeri kekafiran dan keangkaramurkaan lainnya, merasa ridho dengannya. 8. Islam melarang memberi tempat, melindungi, menyelamatkan atau memberi keamanan kepada ahli bid‘ah yang seharusnya dijatuhi hukuman atau had. Islam menganggap perbuatan seperti itu termasuk dosa besar. Terdapat riwayat shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Barangsiapa yang berbuat bid‘ah di Madinah, atau melindungi pelakunya, maka ia menanggung laknat Alloh, para malaikat dan semua manusia, tidak ada alasan lagi bagi dia.” Walaupun hadits ini khusus bagi orang yang memberi tempat berlindung pelaku bid‘ah di Madinah, namun ia mengandung celaan mutlak bagi orang yang menjadi tempat lari orang yang menjadi ahli bid‘ah kemudian ia melindungi dan menyelamatkannya serta menghalangi antara dirinya dan pelaksaan qishosh hak dan keadilan. At-Taubah: 10 Al-Anfal: 58 204 205 Jika hukum orang yang memberi tempat, melindungi dan mengamankan orang Muslim yang melakukan bid‘ah saja seperti ini, lantas bagaimana dengan orang yang menyelamatkan dan memberikan keamanan kepada orang kafir harbi yang terus melancarkan makar dan memeranginya sebelum, ketika dan setelah ia beri jaminan keamanan dan perlindungan? Tidak diragukan lagi orang seperti ini lebih berhak mendapatkan ancaman, laknat dan kejauhan dari rahmat Alloh. Dia juga merupakan serikat dari orang kafir ini dalam kejahatan dan permusuhannya yang terus menerus tiada henti. Sebagaimana firman Alloh ta‘ala: ‫ﻴﹶﺌ ﹰﺔ‬‫ﺳ‬ ‫ﻋ ﹰﺔ‬ ‫ﺷﻔﹶﺎ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺸ ﹶﻔ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬ ُ ‫ﻧﺼِﻴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻳﻜﹸﻦ ﱠﻟ‬ ‫ﻨ ﹰﺔ‬‫ﺴ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻋ ﹰﺔ‬ ‫ﺷﻔﹶﺎ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺸ ﹶﻔ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣﻘِﻴﺘ‬ ‫ﻰ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛ ﱢﻞ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻭﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻣ‬ ‫ﻪ ِﻛ ﹾﻔ ُﹸﻞ‬ ‫ﻳﻜﹸﻦ ﹶﻟ‬ “Barangsiapa memberi syafaat yang baik, niscaya akan memperoleh bagian pahala daripadanya. Dan siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dosa dari padanya. Dan Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.” 249 Terdapat riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohih Muslim—bahwa beliau bersabda, “Siapa yang menyimpan barang hilang, maka ia sesat selama ia tidak mengumumkannya.” Hadits ini berbicara mengenai orang yang menyimpan serta menyembunyikan hewan hilang. Lantas bagaimana dengan orang yang memberi tempat orang kafir harbi dan tidak menghentikan perang dan penjajahannya, kemudian malah menyembunyikan, membantu dan menghalangi antara dirinya dengan pedang-pedang kebenaran untuk bisa mencapainya? tidak diragukan lagi, ini lebih berhak mendapat predikat jahat dan sesat.! Bukti keterangan dari penjelasan tadi adalah: Siapa saja yang seperti ini keadaannya –yaitu melakukan penjajahan dan perang yang terus menerus—maka dalam kondisi apapun tidak boleh mendapatkan jaminan keamanan atau diselamatkan. Dan siapa yang memberi tempat, menyelamatkan atau melindunginya, maka ia dosa dan penjahat. Jaminan keamanannya tidak berlaku, tidak boleh dan tidak mengharuskan seorangpun dari umat ini memenuhinya. Syubhat Syubhat Kesembilan: Kesembilan: Jihad Kita Terhadap Orang Kafir Yang Menyerang Adalah Jihad Tholab Jawaban: Mengenai syubhat ini, kami tidak bisa mengatakan apaapa selain: ‘Selamat hai kafir Yahudi dan Nashrani. Selamat hai anak cucu kera dan babi, para penyembah thoghut; telah lahir dari umat La ilaha illalloh, telah lahir dari umat jihad, yang mengatakan bahwa negeri-negeri dan kehormatan kami adalah negeri dan kehormatan kalian.’ Jihad tholab, sebagaimana telah dijelaskan, adalah menyerang dan memerangi musuh di negeri mereka.250 Jadi, semua negeri kaum muslimin yang dinodai tentaratentara najis itu adalah negeri mereka. Dan..La haula wa la quwwata illa billah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Alloh saja. 250 249 Lihat Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah milik Ibnu Taimiyah, tahqiq Al-Fiqqi terbitan Darul Makrifah hal. 309. An-Nisa’: 85 206 207 ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺒ ﹶﻄ‬‫ﻢ ﹶﻓﹶﺜ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎﹶﺛ‬‫ﷲ ﺍﻧِﺒﻌ‬ ُ ‫ﻩ ﺍ‬ ‫ﻭﹶﻟﻜِﻦ ﹶﻛ ِﺮ‬ ‫ﺪ ﹰﺓ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﺍ ﹶﻟ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ﺝ َﻷ‬  ‫ﻭ‬‫ﺨﺮ‬  ‫ﻭﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﺍﺩ‬‫ﻮ ﹶﺃﺭ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻊ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻋﺪِﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻭﻗِﻴ ﹶﻞ ﺍ ﹾﻗ‬ Kami tidak mengerti, berapa kiblat lagi yang mereka inginkan untuk ternajisi supaya perang ini berubah menjadi difa‘î? Berapa kali lagi tempat Isro Nabi Kita yang mereka inginkan untuk dirampas musuh, berapa darah kaum muslimin yang ingin tertumpah dengan murah yang tidak ada tangisan di sana sehingga jihad ini menjadi difa‘i? Berapa ribu lagi yang mereka inginkan agar anak-anak ‘haram’ lahir dari rahim wanita-wanita muslimat yang suci setelah mereka diperkosa251 supaya jihad ini menjadi difa‘î? Wahai para penghalang dan pelemah semangat semangat jihad, Bangsa musyrik penyembah batu yang sesembahannya adalah Budha252 diperintah perang kemudian merekapun perang dan rela anak keturunannya terbantai hingga beberapa generasi sebelum akhirnya musuh terusir, sementara umat yang Alloh wajibkan syariat untuk berperang sampai-sampai Nabinya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengendarai hewan tunggangannya untuk berperang padahal usianya sudah 60 tahun lebih253, orang-orangnya yang mengaku dirinya sebagai ulama malah mengatakan kepada para pemeluknya di sana: ‘Perang kalian melawan orangorang kafir di negeri kalian adalah jihad tholab!! Dan tidak sempurna kecuali dengan syarat ini…itu…!! “Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk.”254 Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para shahabatnya. Akhir doa kami adalah, Al Hamdu lillaahi Robbil ‘Alamin, segala puji hanya milik Alloh robb semesta alam. Risalah ini ditulis bersandarkan kepada beberapa rujukan, antara lain –setelah Kitab Alloh yang mulia dan buku-buku hadits dan catatan kakinya— adalah: 1. Kitab Al-‘Umdah Fi I‘dadil ‘Uddah tulisan Syaikh Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz. 2. Ath-Thoriq ila Isti’nafi Hayaatin Islaamiyyatin wa Qiyami Khilafatin Rosyidah ‘Ala Dhou’il Kitabi Was Sunnah, Syaikh Abdul Mun‘im Mushthofa Halimah, Abu Bashir. Alloh ta‘ala berfirman: 3. At-Ta’shil Li Masyru‘iyyati Ma Hashola Li Amrika min Tadmir milik Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Jarbû‘. 251 Telah lahir ribuan anak dari rahim wanita muslimat setelah mereka diperkosa oleh tentara penjahat Serbia di Bosnia, Wa La haula wa la Quwwata illa billah. 252 Yakni Vietnam. 253 Semua perang yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah setelah usia 50 tahun, beliau berangkat perang ke Tabuk padahal usia beliau sudah 60 tahun lebih. Duh, merugilah kalian wahai yang berusia dua puluhan dan tiga puluhan tahun! 208 4. Al-Harbus Sholibiyyah Al-Jadidah tulisan Sang penakluk Salibis, Sholahuddin Al-Ayyubi [Syaikh Yusuf Al-‘Uyairy]. 5. Marohilu Tasyri‘il sebelumnya. 254 Jihad At-Taubah: 46 209 edisi revisi dari cetakan DAFTAR ISI Keempat: Kapankah Hak Diberikan Kepada Rakyat? Mengangkat Pemimpin Mukaddimah Pasal kedua: Kata pengantar Pembahasan Pertama: Hukum Asal Darah Orang Kafir Pasal Pertama: Pembahasan ke Satu: Definisi Jihad, keutamaan serta dorongan untuk melaksanakannya Pembahasan Kedua: Status Amerika Terhadap Kaum Muslimin Definisi Jihad Pembahasan Ketiga: Muslimin Hari Ini Keutamaan Jihad Pasal Ketiga: Pembahasan Kedua: Ringkasan Tahapan Disyari‘atkannya Jihad Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat Yang Menjadi Ajang Perdebatan Seputar Masalah Jihad Pembahasan Ketiga: Jenis dan Syarat-syarat Jihad serta Persiapan (I‘dad) ke Arah Sana Syubhat pertama: Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad kecuali bersama Khalifah…” artinya, umat ini tidak boleh berjihad dan melawan kezaliman dan permusuhan sebelum adanya khalifah. Jihad ada Dua Macam: Jihad Tholab (Ofensive) dan Jihad Difa‘ (Defensive) Syarat-Syarat Wajibnya Jihad Apakah yang Maksud I‘dad Imani (persiapan iman) ? Pembahasan Keempat: Tentang Imaroh (Kepemimpinan) Pertama: Imaroh adalah Wajib Kedua: Pengangkatan Pemimpin Dipercayakan Kepada Pemimpin yang Menjadi Penanggung Jawab, Jika Ada Ketiga: Pemimpin Boleh Mengangkat Beberapa Pimpinan Secara Berurutan 210 Hukum Jihad Atas Kaum Masalah: apakah ada perbedaan antara jihad difâ‘ dan jihad tholab dari sisi pensyaratan adanya imam dan khalifah, ataukah kedua jenis jihad itu bisa dijalankan tanpa adanya imam/ pimpinan umum? Syubhat kedua: Tidak ada jihad sebelum menuntut ilmu Syubhat ketiga: Apakah sifat adil termasuk syarat di dalam jihad? Syubhat keempat: Apakah persenjataan (syaukah) dan kemampuan menjadi syarat dalam jihad difa‘î (defensif)? 211 Syubhat kelima: Kita harus menahan diri tidak berperang dulu karena kaum muslimin masih lemah seperti yang terjadi pada fase Mekkah Syubhat keenam: Orang kafir itu terlindungi darah dan hartanya jika kaum muslimin belum memiliki persenjataan (syaukah) dan kekuatan. Sebab Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerangi memerangi seorang musyrikpun di Mekkah dan tidak menghalalkan harta dan darah mereka Syubhat ketujuh: Tidak boleh membunuh orang Amerika dengan cara menyergapnya (ightiyâl), berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak selayaknya seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.” Syubhat kedelapan: Barangkali ada yang mengatakan, ‘Kalaulah kami terima pendapat kalian ini, maka sesungguhnya ini berlaku ketika dalam kondisi perang, sedangkan antara kita dan Amerika adalah kondisi damai, sebab urusannya adalah urusan mu‘ahadah (adanya perjanjian) yang harus dipenuhi Syubhat kesembilan: Jihad kita terhadap orang kafir yang memerangi kita adalah jihad tholab 212